Mohon tunggu...
Vidia Hamenda
Vidia Hamenda Mohon Tunggu... Ahli Gizi - pegawai

suka nulis dan jalan jalan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Persatuan dan Keberlangsungan Bangsa Kita

14 Agustus 2024   22:27 Diperbarui: 14 Agustus 2024   22:30 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Kemerdekaan negara kita sudah mencapai 79 tahun atau nyaris delapan dekade. Sebuah angka yang sebenarnya belum tua untuk sebuah bangsa. Kita tahu sebuah kerajaan bernama Majapahit pernah berumur panjang yaitu sekitar 300 tahun. Negara Amerika Serikat juga nyaris mendekati angka itu.

Artinya , sebagai sebuah negara kita sedang berproses. Persoalannya, kita diberi wilayah yang sangat luas, nyaris seluas Majapahit dengan berbagai macam perbedaan yang memang ada sejak dulu. Namun sama dengan Majapahit, kita tidak bermasalah untuk bersatu sebagai sebuah bangsa dan negara. Perbedaan itu malah membuat kita unik dan punya kekayaan budaya yang sangat kaya tanpa mempersoalkan perbedaan itu.

Hanya sayangnya, dalam usia yang masih muda ini, tantangan perpecahan menggoda kita. Berawal dari semakin banyaknya intoleransi di sekitar kita menandakan bahwa persatuan kita ada masalah. Intoleransi itu muncul saat beberapa pihak sering bertindak sewenang-wenang karena merasa mayoritas. Sebaliknya, kelompok minoritas semakin tidak berdaya apalagi di beberapa daerah , pemerintah daerahnya membuat peraturan daerah yang seakan mendukung intoleransi itu.

Atas nama mayoritas juga, intoleransi juga merambah dunia pendidikan. Banyak sekali contoh soal ini.  Soal-soal ujian yang mendukung intoleransi, banyak ditemukan dan diekspose oleh media. Belum lagi guru-guru yang punya pemahaman ideologi transnasional, yang mengajarkan idelogi itu kepada sang murid. 

Ada juga ekstrakulikuler yang mendukung intoleransi dan yang paling mengerikan dari semuanya itu adalah peraturan daerah yang mendukung intoleransi, seperti pemakaian jilbab untuk siswi sekolah meski dia non muslim. Tak cukup itu saja, kini menjamur cluster-cluster khusus untuk agama tertentu, dimana pembelinya adalah salah satu agama tertentu, dan fenomena itu merebak di banyak daerah di Indonesia.

Nyatanya itu memang tidak berdampak positif. Kita tahu ada seorang pelajar yang masih sangat belia ditangkap densus 88 karena disinyalir akan melakukan bom bunuh diri di dua tempat ibadah di Malang. Dia hidup bersama orangtuanya di sebuah cluster bertema agama di Balu Malang.

Sehingga, kita memang harus mendefinisikan ulang soal persatuan pada masa ini. Secara historis persatuan ada dan hidup di tengah warga bangsa kita sejak dulu dan kita mengharapkan persatuan itu diperkuat. Dengan begitu nama Indonesia sebagai bangsa dan negara lebih panjang dari kerajaan Majapahit. Semoga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun