Mungkin dari kita ada yang pada masa lalunya akrab dengan lagu-lagu Koes Plus atau Deep Purple. Bukan soal pasti sudah tua atau sepuh, tapi warga dunia yang lahir dan besar di zaman itu merasakan banyak hal dibanding masa kini.
Pertama mungkin soal perasaan. Remaja pada zaman itu lumrah mengungkapkan perasaan cintanya kepada pujaannya melalui surat. Sebagian menerima balasan melalui surat juga sebagian lain mungkin menerima melalui sikap. Pada proses itu ada perasaan yang terasa.
Begitu juga persahabatan atau kekerabatan yang terpisah oleh jarak. Dua sahabat pena; satu di Surabaya dan satu di Australia misalnya, di masa lalu hubungan mereka diperkuat dengan surat menyurat yang mungkin saja membawa kesan mendalam. Begitu juga dengan kekerabatan. Jika ada sesuatu mendesak dan tidak ada telepon, maka telegramlah jadi solusi.
Kedua mungkin soal hubungan sosial, dalam hal ini bertetangga di sekitar lingkungan rumah atau komunitas atau pertemanan lainnya. Pada saat Idul Fitri dulu, para tetangga berjejer di gang untuk saling memberi selamat Idul Fitri, atau pada saat Natal para tetangga mendatangi dan mengucapkan selamat kepada warga Kristiani. Â Begitu juga dengan komunitas atau pertemanan lingkup lainnya. Rerata semuanya dekat dan akrab.
Kini sebagian dari kebiasaan baik diatas, tidak kita jumpai lagi. Tergantikan oleh teknologi. Melalui WA, orang dengan gampang mengucapkan selamat Idul Fitri atau Natal tanpa harus bertemu. Dua sahabat pena tak lagi perlu berkirim surat dan menunggu selama beberapa hari untuk menerima balasan karena ada videocall; suatu aplikasi di handphone yang memungkinkan orang bertemu secara virtual.
Memang terlihat hebat dan membuat semuanya mudah. Terlebih berhubungan dengan bisnis yang perlu cepat, mudah dan murah maka teknologi adalah jawaban dari bisnis yang lancar dan berhasil.
Di balik segala kemudahan dan kehebatan itu, ada yang hilang, yaitu perasaan dan rasa empati; satu bentuk keterikatan manusia dengan manusia lain sebagai pribadi atau sosial. Rasa menghargai dan empati (merasai apa yang dirasakan oranglain) menjadi hal yang sulit ditemukan lagi. Akibatnya bisa fatal; orang tega untuk menghabisi orang lain demi rupiah atau orang tega memusnahkan Gedung sekaligus menghabisi manusia lain dengan bom karena faham tertentu.
Namun jangan putus asa. Rasa empatif itu bisa ditumbuhkan melalui keluarga dengan membatasi sang anak bermain gadget atau memperbanyak pengajaran tentang nilai-nilai kehidupan yang baik kepada anak-anak dan anggota keluaga lain. Rasa solidaritas, empati, tepo seliro sampai toleransi agama inshaalah dapat membendung pengaruh buruk dari serbuan teknologi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H