Ada yang masih ingat dengan survey Microsoft beberapa tahun lalu yang menyatakan bahwa netizen Indonesia adalah netizen paling tidak sopan se- Asia Tenggara. Perusahaan terkemuka dunia itu rupanya berpegang pada beberapa indicator, salah satunya terkait dengan konten negative seperti hoaks dan ujaran kebencian. Netizen Indonesia rupanya paling banyak membuat dan menyebarkan hoaks dan ujaran kebencian.
Bukan itu saja. Secara kualitatif beberapa media asing khususnya Eropa menilai bahwa orang Indonesia sangat ekspresif dalam mengemukakan pendapat via media dan media sosial.Â
Ekspresif di sini dalam konteks negative, karena kita terkesan sangat suka mengkritik tanpa memberikan solusi kepada pihak lain. Dalam pandangan mereka, kita bisa terus menerus tanpa henti mengkritik bahkan menghujat pihak lain. Tidak peduli pagi, siang, sore atau malam.
Dua hal ini adalah contoh, bagaimana masyarakat global menilai kita. Kita seperti "hilang kendali" saat mengalami masa reformasi. Kebebasan berpendapat yang selama orde baru sangat dibatasi, menjadi terbuka luas karena reformasi mengubah banyak tatanan masyarakat terutama soal hak warga negara. Hal ini ditambah dengan berkembangnya teknologi.
Yang paling membuat kita prihatin adalah pada dua decade ini, politik menunggangi kebebasan berekspresi.Kita bisa melihat saat Pilpres 2014, Pilkada Jakarta 2017 dan Pilpres 2019, dimana nuansa keterbelahan masyarakat sangat terlihat. Keterbelahan ini karena ada "bensin" yang bernama politik identitas yang menyasar ranah-ranah privat seseorang semisal agama, suku, budaya dan lain sebagainya.
Pada masa itu sampai masa kini pun, dengan mudahnya kita melukai perasaan seseorang. Narasi-narasi yang kita tulis di media sosial, sering tidak peka dan melanggar norma bermasyarakat dan berbangsa. Contoh yang paling dekat adalah mantan pejabat yang melakukan tindakan yang dikatagorikan ujaran kebencian terhadap agama tertentu dan symbol negara dalam hal ini presiden RI.
Kita terlambat sadar dan mungkin terjebak pada situasi yang sebenarnya tidak sehat sebagai sebuah bangsa yang ditakdirkan dengan keberagaman. Tak bisa dipungkiri bahwa ujaran kebencian tantangan terbesar negara demokrasi. Inilah yang menjadikan ujaran kebencian sangat mudah dijumpai satu decade ini. Ini juga yang "ditangkap" oleh survey Microsoft beberapa tahun itu.
Mungkin saatnya berbenah. Tak usah menunggu ada Pilpres lagi dan kita bernarasi sopan. Pada saat ini kita sudah seharusnya menyaring dulu apa yang harus kita tulis (bukan ingin kita tulis). Dengan begitu kita tidak di-cap lagi sebagai bangsa yang paling tidak sopan di media sosial. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H