Satu dekade ini, peta demokrasi kita serasa sangat gaduh. Mulai dari Pilpres 2014 lalu Pilkada Jakarta 2017 dan kemudian Pilpres tahun 2019 nyaris didominasi satu hal yang sama : politik identitas.
Politik identitas yang berkembang di Indonesia cenderung menyingkirkan kelompok atau golongan yang berbeda. Kita bisa melihat pada Pilkada Jakarta , politik identitas begitu sangat dominan dan mempengaruhi 90 % dari ruang informasi publik. Sehingga selama beberapa waktu orang hanya bisa mendengar makian dan cacian orang terhadap golongan lain. Hal yang layak dicatat adalah perang narasi penuh kebencian satu kelompok terhadap kelompok lain itu tercatat di benak generasi muda alias bocah yang belum punya hak untuk memilih.
Hasilnya bisa ditebak: politik identitas yang dipakai untuk meraih kekuasaan 5 tahunan ini memperuncing polarisasi, menggerus demokrasi dan merusak nilai-nilai Pancasila. Dan yang sering dilupakan adalah politik identitas yang mengatasnamakan demokrasi ini adalah legacy buruk bagi generasi muda Indonesia.
Yang juga menyedihkan adalah bahwa politik identitas yang dipakai untuk 'mengasah pisau' kemenangan dalam pilkada diinisiasi oleh kaum elite. Mereka berkilah bahwa penggunaan politik identitas antara lain dengan melakukan  "kampanye terselubung" di masjid-masjid nyaris setiap subuh dan saat salat Jumat adalah hal wajar. Mereka mencontohkan partai FIS di Aljazair yang masih berumur dua tahun sat Pemilu Aljazair berlangsung namun bisa meraih kemenangan besar melawan partai oposisi yang sebelumnya adalah partai tunggal. FIS memakai masjid sebagai kendaraan untuk menyebarkan dan mengembangkan ideologi parta mereka yang berbasis agama konservatif.
Peniruan model kampanye seperti ini tentu saja merupakan hal yang sangat buruk dan bisa saya katakan tak bermoral. Elite dengan sengaja menafikan dasar negara Pancasila yang menerima semua perbedaan yang ada di negara ini. Jelas tidak mungkin negara yang terbentang dari Sabang sampai Merauke ini memaksakan diri menjadi satu warna.
Rakyat seakan menderita dis-orientasi ideologi karena fenomena itu ditawarkan dimassifkan oleh elit politik. Pemerintah kerepotan menghadapi isu SARA dalam pilkada DKI dan melahirkan instabilitas politik.
Pilpres mendatang mungkin  kita harus menghadapi fenomena itu lagi, karena sejak masa-masa ini politik identitas kembali dimunculkan lagi sebagai  'pisau iris' untuk menkritisi kebijakan pemerintah, untuk menunjukkan fenomena yang terjadi di masyarakat dll.
Yang perlu diingat adalah politik identitas semacam ini adalah hal yang sangat buruk bagi Indonesia. Ini adalah legacy buruk bagi politik generasi Z dan alpha Indonesia. Karena itu kita harus terus mengkritisinya; tak lelah menngingatkan soal ideologi Pancasila yang sudah terbukti ampuh untuk melawan banyak tantangan di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H