Mohon tunggu...
Vidia Hamenda
Vidia Hamenda Mohon Tunggu... Ahli Gizi - pegawai

suka nulis dan jalan jalan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Meminimalisir Intoleransi dengan Perkuat Wawasan Nusantara

29 November 2019   08:15 Diperbarui: 29 November 2019   08:22 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada generasi X dan generasi Baby Boomers, mungkin masih akrab dengan pengenalan Pancasila ketika akan menapaki bangku kuliah alias menjadi mahasiswa baru. Kita tahu bersama, mahasiswa adalah garda terdepan generasi muda Indonesia. Sehingga diharapkan mereka bisa menjadi teladan bagi para yunior dan masyarakat umumnya.

Pengenalan dan pendalaman butir-butir Pancasila dan wawasan kebangsaan itu dirasa penting karena itu sang calon mahasiswa harus belajar berjam-jam dalam kurun waktu tertentu (ada yang 24 jam, ada yang 100 jam) sehingga diharapkan mereka paham Pancasila dan segala dinamikanya.

Program itu memang ampuh karena sebagian besar bahkan semua perguruan tinggi menerapkan penataran Pancasila itu. Setidaknya mereka paham soal butir-butir Pancasila dan implementasinya di lingkungan masyarakat.

Era berganti dan tidak ada lagi penataran P4 yang diadakan pemerintah untuk para mahasiswa itu. Hal itu terjadi sejak masa reformasi tahun 1998 sampai sekarang, yaitu sekitar lebih dari 20 tahunan. Atmosfer Pancasila hilang seperti  hilangnya zat penentu arah bangsa dan negara ini.

Kita tahu sekarang atmosfer intoleransi dominan terjadi pada masyarakat. Tidak saja pada masyarakat umum, tetapi juga pada generasi muda yang masih bersekolah. Baik di tingkat dasar sampai menengah. Diantara mereka ternyata tak mudah untuk bergaul dengan para murid yang berbeda keyakinan maupun berbeda suku.

Pada sekolah-sekolah tertentu meski masih pada sekolah umum tidak di pesantren, anak tangga untuk menuju kelas terpisah antara putra dan putri. Begitu juga tempat makan dll. Belum lagi semisal kita mengulik beberapa buku ajaran yang didalamnya ada beberapa yang mempersoalkan keragaman dan sarat dengan nuansa intoleransi. Sepeti yang berkali-kali terlihat ketika kementrian atau pemerintah melakukan pengamatan terhadap buku ajar tersebut. Kasus ini pernah ditemukan di Bogor dan beberapa daerah di Indonesia.

Mungkin fenomena ini membuat kita miris karena atmosfer pemahaman terhadap Pancasila dan keberagaman pada tataran masyarakat dan generasi muda mengalami kemunduran. Fenomena intoleransi semakin mengedepan di masyarakt yang menunjukkan bahwa pada sebagian masyarakat keberagaman tidak menjadi hal mendasar dalam berbangsa dan bertanah air.

Kita tahu bersama bahwa benih radikalisme adalah intoleransi yang dominan. Dan benih dari terorisme adalah terorisme. Sampai di sini kita harus sadari bahwa intoleransi adalah pintu masuk dari banyak hal yang berbau radikalisme.

Mungkin penataran bukan jalan utama untuk merekatkan kembali dan memperbaiki keberagaman dan wawasan kebangsaan diantara kita, namun mungkin bisa dicari alternative solusi agar kita bisa melihat sesama dengan lebih tulus dan murni. Itu hakekat keberagaman dan wawasan nusantara

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun