Mohon tunggu...
Vidia Hamenda
Vidia Hamenda Mohon Tunggu... Ahli Gizi - pegawai

suka nulis dan jalan jalan

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Mencetak Santri Berjiwa Enterpreneur

14 Februari 2016   11:50 Diperbarui: 14 Februari 2016   12:25 336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="beliindonesia.com"][/caption]Pesantren, tidak hanya menjadi tempat untuk menuntut ilmu keagamaan. Pesantren juga menjadi tempat untuk menggembleng para santri, untuk menjadi pribadi yang mandiri. Pribadi yang tangguh dan kreatif. Harapannya, setelah lulus dari pesantren, para santri tidak hanya kuat dari sisi religiusnya, tapi juga lebih matang dalam hal berwirausaha. Sehingga, kemandirian ekonomi akan terwujud. Kita tahu, salah satu sumber rejeki bisa didapat melalui berdagang. Rasulullah merupakan seorang pebisnis sukses. Karir bisnisnya, sudah dimulai sejak usia 12 tahun. Bahkan, Rasulullah SAW pun memberikan panutan, bagaimana cara berdagang yang benar secara Islam.

Berdagang, merupakan salah satu cara agar kita bisa mandiri secara ekonomi. Sadar atau tidak, pesantren berpotensi untuk mencetak santri-santri mandiri. Misalnya, jika dalam pesantren ada 2000 santri, dan setiap santri diwajibkan memelihara 5 pot berisi tanaman produktif, untuk urusan makan di pesantren akan bisa terpenuhi. Jika ini bisa dilakukan, makan dalam beberapa tahun kedepan kemandirian pesantren akan bisa terwujud.

Namun, para santri ini masih perlu mendapatkan pengetahuan, agar bisa mengembangkan bakat wirausaha. Bekal pendidikan akhlak yang didapatkan di pesantren, diharapkan bisa melahirkan para wirausaha muda yang bisa dipercaya. Saat ini, mulai banyak pesantren entrepreneur, yang mengajarkan para santri untuk berani menjadi wirausaha sejak dini.

Dengan kemampuan entrepreneur ini, bisa menghasilkan santri-santri yang mandiri secara ekonomi. Sehingga, alasan klasik seperti ekonomi, yang menyebabkan orang bergabung dengan kelompok radikal, karena iming-iming perbaikan ekonomi bisa diminimalisir. Artinya, jika hal ini bisa dilakukan, setidaknya kita bisa memutus salah satu rantai penyebaran paham radikalisme di masarakat.

Dengan berwirausaha, santri dituntut untuk menjadi kreatif, inovatif, dan pantan menyerah. Contoh kecil, seperti yang dilakukan oleh Ismail. Awalnya, Ismail berjualan es teller pada 2012 lalu. Setelah 6 bulan berlalu, Ismail memutuskan berhenti dagang, karena takut nilai sekolahnya anjlok. Dia akhirnya mulai menawarkan jasa mengajar private dari rumah ke rumah. Setahun kemudian, dia dan teman-temannya mendirikan lembaga belajar private. Lembaga ini pun terus berkembang dengan tiga cabang, dengan 42 karyawan tetap, dan 1.500 siswa.

Contoh lain adalah Muhammad Aminul Wahib. Dengan modal awal Rp 700 ribu dan mesin pendingin pinjaman, Aminul memulai usaha esk krim durian. Sempat berkali-kali tutup, namun dia tetap berusaha. Kini, bisnis yang telah dimulai sejak 2014 ini, telah berkembang dengan 210 stan di 15 kota. Bayangkan jika seseorang seperti Bahrun Naim, yang diduga menjadi dalang bom di khawasan Thamrin, berwirausaha seperti Ismail dan Aminul. Mungkin dia tidak akan tergoda bergabung dengan kelompok garis keras.

Sebuah fakta yang cuku membuat kita miris, para pelaku bom bunuh diri yang selama ini terjadi, rata-rata masih berusia muda. Harapan dan impiannya ketika masih kecil, selesai ketika bom meledakkan tubuhnya. Jika mereka bisa berwirausaha, tentu akan lebih bermanfaat. Setidaknya untuk keluarganya. Mereka bisa membantu adiknya, temannya, atau tetangga yang membutuhkan pertolongan. Bahkan, jika usahanya sukses, akan mampu merekrut tenaga kerja dan mengurangi angka pengangguran.

Apalagi, saat ini sudah masuk dalam masyarakat ekonomi ASEAN, dimana persaingan antar negara kian ketat. Menciptakan santri dengan kemandirian ekonomi, tidak hanya mampu menangkal tindakan radikalisme agama, tapi juga bisa menciptakan santri-santri yang bermental wirausaha.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun