Mohon tunggu...
Videlya Esmerella
Videlya Esmerella Mohon Tunggu... Lainnya - https://redrebellion1917.blogspot.com/

Always unique. Never boring. A Feminist www.twitter.com/videlyae www.instagram.com/videlyae

Selanjutnya

Tutup

Politik

Partikularisme Politik

18 September 2010   12:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:09 700
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tindakan memberi sedekah kepada pengemis dinilai melanggar Perda (di beberapa provinsi tentu nomornya berbeda) Tentang Ketertiban Umum. Argumentasinya, kehadiran pengemis merupakan akibat dari warga yang masih memberi sedekah kepada mereka. Logika semacam ini dengan mudah dapat dianggap sebagai sebuah kesesatan berpikir. Yang kelihatan jelas adalah kegamangan mengukur mengukur variabel paling dominan yang memperkuat arus pengemis ke tengah keindahan kota. Pengemis adalah “cerita kecil” tentang pandemi kemiskinan yang masih mengurung kehidupan kita. Pertanyaan fundamentalnya, benarkah para pengemis yang masih merayap dikeramaian kota dan warga yang mengulurkan tangan memberi recehan rezeki adalah representasi “kejahatan” yang sudah sepantasnya mendapat hukuman dari negara?

Menyebut perlindungan konstitusi terhadap warga miskin tetap merupakan hal penting. Ini merujuk keberanian politk mempertahankan kebijakan pembangunan yang membela kelompok yang tidak pernah beruntung. Jalanan yang masih dipadati pengemis tentu hal yang tidak diinginkan. Namun, akan lebih berguna jika kita memanfaatkan kenyataan semacam ini sebagai laboratorium paling jujur untuk menguji klaim negara atas kesejahteraan dan kemakmuran semua warga. Hal ini penting dikerjakan sebab politik sering tidak pernah adil untuk semua orang, tidak pernah bersahabat untuk rakyat miskin. Konstitusi yang menegaskan perlindungan bagi rakyat terjerembab dalam praktik politik partikularistik. Pola politik yang sedemikian sistemik hanya memihak dan melindungi kepentingan sebagaian orang, kelompok “atas”. Maka para pengemis yang terus memadati jalan-jalan kota merupakan salah satu problem konstitusional paling serius. Dengan begitu, sebenarnya bukan hanya tindakan mengemis yang mengganggu, tetapi terutama kemiskinan yang menjadi basis paling dalam dari tindakan itu. Kemiskinan yang terus membelenggu akan mengirim makin banyak warga ke jalan sebagai pengemis. Struktur politik, sosial, dan ekonomi yang terus mengabadikan ketidakadilan akan memperkuat kenyataan ini.

Kerumunan pengemis di jalanan, di satu pihak dan warga yang memberi sedekah di pihak lain, merupakan bentuk “protes” terbuka pada ketidakadilan perlindungan negara kepada warganya. Mereka sedang menegosiasikan posisi politiknya sebagai bagian yang sah dari negara ini. Mereka menagih jatah hasil pembangunan. Mengemis adalah satu bentuk negosiasi yang ditunjukkan warga sah negara ini, sementara memberi sedekah merupakan kritik atas ketidakberdayaan negara menerjemahkan hal yang tertuang dalam konstitusi. Yang pertama kali diperlukan untuk memusnahkan pengemis bukan dengan menertibkan warga pemberi sedekah, tetapi menyusun program program pembangunan yang bisa memberi penghidupan kepada semua warga. Sebuah keberanian untuk membongkar struktur pembangunan yang telah menimbulkan jarak yang kian lebar antara kelompok kaya dan miskin.

Kesejahteraan dan kemiskinan niscaya mendefenisikan seberapa dekat atau jauh akses warga (miskin) negara terhadap “madu” pembangunan. Kemiskinan menggambarkan hilangnya “keterhubungan” hajat hidup dengan hasil-hasil terbaik pembangunan. Sementara, kesejahteraan merupakan apresiasi atas prinsip kesetaraan dan keadilan yang dinikmati semua orang. Negara harus memberi penegasan sekaligus perlindungan akses yang adil bagi semua warga dalam program pembangunan. Negara harus memiliki pandangan yang menyeluruh, lengkap, dan integral terhadap persoalan dan kebutuhan warganya.

Manakala bangsa ini berani dan mau meluputkan keluruhan konstitusi terhadap mekanisme partikularisme politik yang kejam, kita akhirnya tidak perlu menyusun aturan untuk menangkap sesama warga yang mempunyai dorongan moral untuk membantu sesama yang belum beruntung secara ekonomis. Kita juga akan menyaksikan sebagian dari keluarga bangsa ini harus menahan terik dan pengap dijalanan demi recehan yang tumpah sebagai remah kemewahan kota.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun