Bulan Juni ketika pemerintah menetapkan besarnya kisaran Kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) yang mulai berlaku per 1 Juli 2010 sudah dapat diketahui siapa yang paling merasakan dampaknya. Ya, mereka adalah golongan masyarakat yang hidup di garis kemiskinan, yang penghasilannya Rp 20.000,- per hari (standar World Bank). Namun saat itu perhelatan Piala Dunia di Afrika Selatan sejenak menyingkirkan pembicaraan tersebut dari ruang komunikasi rakyat.
Sesungguhnya kenaikan TDL hanya mengurangi subsidi sebesar Rp 4,8 Triliun, namun seperti sebuah efek domino kontroversi pasca kebijakan ini mulai berlaku terus merebak menyentuh setiap sektor, terutama pangan. Sektor tenaga kerja pun akan merasakan dampaknya. Reformier Institute memprediksi, kenaikan TDL sebsar 10 persen dapat mengurangi permintaan tenaga kerja industri sebesar 1,17 persen. Kenaikan TDL ini juga akan menurunkan daya saing industri kecil menengah. Eksistensi pedagang makanan informal, warung tenda dan pedagang kaki lima juga tak kalah strategis dalam perekonomian khususnya sektor informal. Mereka adalah penyedia makanan bagi sektor informal atau pun sektor non formal. PHK massal dipabrik-pabrik pun diperkirakan akan terjadi. Beban listrik yang naik dalam operasional perusahaan akan menjadikan besarnya biaya listrik perusahaan untuk melakukan efisiensi pekerja. Yang kena imbasnya kembali adalah mereka yang tidak memiliki keahlian lain selain bekerja dipabrik-pabrik. PHK terjadi, penghasilan berhenti. Lalu bagaimana dapat mengkonsumsi?
Sudah menjadi rahasia umum jika kenaikan TDL adalah akibat salah kelola sumber daya energi di negara ini. Tingginya biaya produksi listrik, yang diperkirakan sebesar Rp 1.100 per kilowatt-jam, diakibatkan oleh bauran energi primer yang tidak optimal. Biaya pembelian BBM menyumbang sekitar 60 persen total biaya bahan bakar PLN, apadahal listrik yang dibangkitkan dengan BBM hanya 20 persen dari seluruh listrik. Fatalnya, gas alam yang banyak terkandung didalam tubuh negeri ini justru dijual murah ke negara lain. Gas alam Tangguh yang di jual ke China salah satunya. Pemerintah telah diingatkan bahwa pemakaian gas alam jauh lebih efektif dalam memproduksi listrik dibanding BBM. Kegagalan program percepatan pembangunan pembangkit listrik batu bara tahap pertama yang dimulai sejak tahun 2006 mengakibatkan krisis listrik kian tambah parah di negeri ini.
Kenaikan TDL ini membuat perhatian hampir semua pihak terfokus pada bahan makanan lainnya, khususnya sembako. Ini tidak dapat disepelekan, karena ini menyangkut kebutuhan dasar jutaan manusia di Indonesia untuk mempertahankan hidupnya. Dapur ibarat pengatur denyut kehidupan rumah tangga. Ketika kenaikan harga sudah menusuk hingga ke dapur, para ibu rumah tangga yang menjadi korban dipaksa untuk berpikir keras mengatur keuangan. Tak apa bagi mereka yang memiliki keuangan yang lebih, namun hal sebaliknya justru dirasakan oleh mereka yang kian terhimpit beban ekonomi. Penghasilan yang tidak menentu ditambah kian merangkaknya harga komoditas pangan membuat tak sedikit diantara mereka yang mulai mengibarkan bendera putih di dapur.
Belum lagi faktor musiman, yakni bulan puasa dan Hari Raya Idul Fitri kedepannya. Ini semua adalah momentum kenaikan harga kebutuhan pokok dan memicu spekulan untuk berspekulasi jauh diatas kewajaran dengan mengeluarkan salah satu alasan bahwa semua naik karena TDL naik. Sehingga wajar saja jika para ibu mengeluhkan tentang hubungan antara cabai merah keriting dengan kenaikan TDL.
Efek yang jauh lebih berbahaya kedepan akan dirasakan oleh mereka yang golongan ekonomi lemah. Tak sedikit orang tua akan memilih memutuskan pendidikan anaknya hanya karena beban pangan yang kian besar. Untuk makan saja susah, apalagi untuk melanjutkan pendidikan. Satu generasi rentan kedepan. Maka tak dapat dipungkiri jumlah orang miskin dinegara ini kian meningkat.
Carut marutnya pengelolaan produksi listrik adalah Pekerjaan Rumah (PR) besar bagi pemerintah dan anggota dewan. Mereka telah terpilih oleh karena suara rakyat. Politisi dan pemerintah yang peka akan melihat bahwa prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab telah membumi dalam masalah rakyat dalam kehidupan sehari-hari. Kalau orang berbicara tentang perikemanusiaan yang adil dan beradab di negara Republik Indonesia, maka pemerintah seharusnya semakin peka ditengah himpitan ekonomi, bukan sebaliknya dengan memberlakukan kebijakan tanpa memperhitungkan dampaknya secara luas. Dengan mencabut subsidi negara justru semakin melegitimasi lepasnya tanggungjawab negara pada rakyatnya. Selayaknyalah pemerintah memperbaiki pengelolaan kelistrikan negara ini dengan tidak tergantung lagi pada asupan BBM seperti yang selama ini didengung-dengungkan sebagai alasan fundamental mengapa listrik layak untuk dinaikkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H