Oleh : Viddy Ad Daery, budayawan, novelis dan pembuat film. Tinggal di Depok, Jawa Barat.
Barangkali baru-baru ini ada seminar “Pasunda Bubat” seperti yang dilaporkan oleh Ibu Nina Herlina Lubis di Pikiran Rakyat ( PR ) Sabtu 6 April 2014. Namun jika merujuk pada laporan Ibu Nina tersebut, maka seminar tersebuttampaknya tidak tuntas membahas atau tidak imbang dalam mengupas fokus-fokus penting kasus “Pasunda Bubat” yang bagaimanapun, sudah merupakan sejarah masa lalu.
Tampak dari laporan tersebut, seminar hanya berhenti pada bahasan peristiwa perang “Pasunda Bubat” yang terjadi di sekitar tahun 1357. Seminar tidak berupaya membahas kejadian-kejadian penting pasca “Perang Bubat” , padahal sebuah seminar Internasional di Borobudur ( International Borobudur Writers and Cultural Festival 2012 ) justru sudah membahas hal tersebut, meski juga tidak terlalu terfokus hanya kepada peristiwa “Pasunda Bubat”.
Dalam seminar tersebut, salah satu pembicara, yakni budayawan Jacob Sumardjo memberi pendapat, bahwa pasca Peristiwa Bubat, sudah terjadi rekonsiliasi, yaitu serombongan agamawan Majapahit telah diutus oleh Raja Majapahit pergi ke Kerajaan Pajajaran untuk meminta maaf dan melakukan rekonsiliasi.
Jacob Sumardjo juga menyampaikan alasan dan bukti, bahwa naskah Sunda “Bujangga Manik” yang bersetting abad 15, justru mengisahkan, bahwa seorang pendeta agama Hindu Pajajaran( atau bisa jadi agama Sunda Wiwitan-vid ), yang bernama Bujangga Manik alias Ameng Layaran, melakukan perjalanan spiritual keliling wilayah Majapahit, karena saat itu, wilayah Majapahit dianggap mempunyai banyak pusat-pusat keagamaan yang wajib diziarahi.
Artinya, tidak ada lagi sisa permusuhan antara Pajajaran dengan Majapahit. Dan meski dua kerajaan itu tetap merdeka satu sama lain, antara lain karena wilayahnya dipisahkan oleh Sungai Cipamali sehingga seakan-akan menjadi dua belahan Pulau Jawa, namun masing-masing kerajaan menjalin hubungan yang harmonis , tak ada yang ingin saling menonjol. Mungkin juga karena masing-masing kerajaan itu pamornya sama-sama menyurut di abad 15 dan seterusnya.
Sungai Cipamali itu kini adalah rangkaian Sungai Brebes dari utara ke selatan yang kini tidak lagi kentara, karena debitnya yang semakin kecil, lebarnya semakin menyusut dan ada banyak jembatan yang dibangun di atasnya, sehingga pulau Jawa kini tampak menyatu.
GOTRASAWALA
Sebenarnya yang sangat penting adalah diadakannya “Gotrasawala” alias “Seminar tempo doeloe” yang levelnya sudah tingkat nasional, bahkan ada peserta peninjau dari luar Nusantara. Gotrasawala itu diadakan oleh Pangeran Wangsakerta, penguasa Keraton Cirebon di abad 17. Hasil dari Gotrasawala itu adalah ribuan naskah-naskah sejarah, yang untuk mudahnya disebut saja “Naskah Wangsakerta”.
Diinformasikan mengenai proses dibuatnya naskah-naskah tersebut, yaitu hasil dari kerja Panitia--yang dipimpin oleh Pangéran Wangsakerta--yang untuk memenuhi permintaan/amanat ayahnya, Panembahan Girilaya, agar Pangeran Wangsakerta menyusun naskah kisah kerajaan-kerajaan diNusantara.
Panitia didirikan untuk mengadakan suatugotrasawala(simposium/seminar) antara para ahli (sejarah) dari seluruh Nusantara, yang hasilnya disusun dan ditulis menjadi naskah-naskah yang sekarang dikenal sebagaiNaskah Wangsakerta.
Gotrasawala ini berlangsung pada tahun 1599Saka(1677M), sedangkan penyusunan naskah-naskahnya menghabiskan waktu hingga 21 tahun (selesai 1620 Saka,1698M).
Arti penting “Gotrasawala” itu adalah, masalah “Pasunda Bubat” dianggap masalah yang amat sangat kedaluwarsa untuk ukuran saat itu, karena Gotrasawala justru sebuah seminar nasional sekaligus rekonsiliasi nasional.
Kalau di abad 16-17 saja masalah “Pasunda Bubat” sudah dianggap masa lalu, maka sangat aneh kalau seminar di abad 21 justru ingin mengungkit-ungkit masalah “Pasunda Bubat”, apalagi dengan titik fokus yang tidak imbang dalam bahasannya.
Dalam kasus kebaikan hati Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi yang ingin membiayai penelitian “Pasunda Bubat” , akan lebih bijaksana kalau dana itu dialihkan untuk membiayai penelitian “Gotrasawala” dan naskah-naskah yang dihasilkannya.
Sebab naskah-naskah Wangsakerta adalah harta karun budaya yang belum tuntas dikupas habis, padahal justru naskah-naskah itu membicarakan episode-episode sejarah Nusantara yang jarang dibicarakan, karena konon kekurangan sumber data. Hal itu terjadi, karena sampai sekarang para cerdik cendekia Indonesia cenderung hanya “menyanggong” alias menunggu kebaikan hati sarjana asing memberi belas kasih data.
Seakan-akan data dari sarjana asing pastilah valid, padahal belum tentu. Beberapa sarjana asing, sejak de Graaf dan Pigeaud sampai kini Arysio Santos dan Stephen Oppenheimer, justru mempercayai kitab-kitab Nusantara sebagai sumber sejarah yang cukup valid.
Bagaikan peribahasa mengharap guntur di langit, air tempayan didiamkan saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H