Mohon tunggu...
Victor Simpre
Victor Simpre Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hari Kemenangan Atau Perasaan Menang?

6 Juli 2016   13:01 Diperbarui: 6 Juli 2016   13:10 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sudah 71 tahun kita ummat Islam di Indonesia telah merayakan hari kemenangan. Hari yang kita sebut dengan hari raya Idul Fitri, hari kemenangan bagi ummat Nabi. Kita yakin telah menang dari peperangan melawan rasa haus dan lapar serta melawan hawa nafsu. Selama 30 hari kita sudah berpeluh berjuang di medan tempur dengan berbagai serangan yang luar biasa, mulai dari terik matahari, warung makan yang buka sepanjang hari, pemandangan yang menyeronokkan birahi hingga pusat-pusat perbelanjaan yang setiap hari menanti untuk dikunjungi. Kini setelah 30 hari yang melelahkan itu kita yakin telah mampu mengalahkan musuh-musuh abadi yang selalu mengganggu kita setiap hari. Tidaklah berlebihan jika pada hari kemenangan ini kita rayakan secara bersama-sama dengan meriah, sebagai wujud sukacita kita.

Demikianlah deskripsi umum yang setidaknya mewakili suasana kebatinan yang hidup ditengah-tengah ummat muslim Indonesia dalam memaknai selesainya ibadah Ramadhan. Puasa adalah satu ibadah ritual yang penting (rukun Islam) disamping syahadah, sholat, zakat dan haji. Jadi Idul Fitri bermakna sebagai simbol kemenangan karena telah menaklukkan haus, lapar dan nafsu syahwat. Gembira perasaan kita setelah mampu melaksanakan perintah Tuhan untuk berperang melawan setan selama 30 hari.

Benarkah kemenangan dalam Idul Fitri adalah sekedar simbolik? Ya tentu saja sekedar simbolik belaka. Sebagai bukti, dimanapun ummat Islam berada sekalipun di kutub utara dan seorang diri kemudian melaksanakan puasa Ramadhan setelahnya dia pun merayakan hari kemenangan meski seorang diri. Di negeri kafir sekalipun kita bisa merayakan Idul Fitri tanpa larangan penguasa. Bahkan banyak negara-negara yang jelas beda agama justru mengucapkan selamat atas ‘kemenangan’ ummat Islam. Bahkan pimpinan perusahaan yang tidak beragama, memberi tumpangan mudik gratis pada saat Idul Fitri kepada karyawannya yang akan merayakan Idul Fitri di kampung halamannya.

 Tidak sedikit mereka yang beda agama justru ikut merayakan bersama Idul Fitri. Para bandit sekalipun dibalik jeruji bisa merayakan hari kemenangan pada saat Idul Fitri. Banyak koruptor yang belum tertangkap pun bisa dengan khusuk merayakan Idul Fitri, duduk sholat paling depan. Pendeknya, bagi siapa saja dan dimana saja tidak ada batasan dalam merayakan hari kemenangan. Anehnya dalam perayaan ini yang mampu merayakan dengan sempurna hanyalah para pejabat, dan orang kaya saja. Sebab merekalah yang dapat membuat acara perjamuan-perjamuan yang dapat mengundang orang banyak makan di rumahnya sebagai bukti menang besar. Jadi jelaslah bahwa kemenangan yang dimaksud dalam Idul Fitri adalah kemenangan simbolik.

Kemenangan simbolik artinya ‘kemenangan’ yang dirayakan tersebut adalah kemenangan yang semu alias tidak nyata. Kemenangan Idul Fitri hanyalah kemenangan yang ada dalam perasaan ummat Islam belaka. Lebih tepatnya kita sebut ‘perasaan menang’. Sudah ratusan tahun perayaan kemenangan dilakukan terhadap musuh yang sungguh tidak jelas dan dapat dijelaskan. Kalaupun musuhnya bisa kita buktikan adalah setan, namun kelihatan si setan tidak kunjung kalah malah semakin tahun semakin rame membludak. Kelihatan setannya justru bertambah licik dan pintar berstrategi dalam menaklukkan ummat beragama. Kelihatan setan sangat berhasil dalam membangun suasana ‘perasaan menang’ di dalam kesadaran ummat. Kelihatan juga si setan sukup berhasil menyelinap dan menutupi kejahatannya dengan simbol-simbol surgawi mulai dari pakain, gaya bahasa, dan penampilan yang serba gamis.

Kemenangan simbolik juga bermakna kemenangan tanpa dampak dan pengaruh dalam kehidupan ummat. Lebih mending kita merdeka dari Belanda, sebab setelah menang kita bisa mengatur diri kita sendiri dan berdaulat punya tanah air. Bayangkan dengan perayaan kemenangan hari ini, negara kita semakin kere saja sebab semuanya tahun demi tahun semakin banyak saja yang kita gadai dan jual kepada ‘Belanda’ kembali. Setelah perayaan justru kondisi ummat banyak yang semakin hidup dalam ketertindasan yang sungguh menyedihkan.

 Sudah umum jika puasa selama 30 hari (1 bulan) maka perayaan kemenangan pun selama 30 hari (1 bulan) pula. Ada pula keyakinan bahwa pendapatan 11 bulan itu wajib dihabiskan selama 30 hari. Setelah itu segala sesuatu berlaku dan berjalan seperti biasa. Bagi mereka yang korup dan jahat tetap bisa meneruskan profesinya demikian pula profesi lainnya. Banyak ulama mengatakan bahwa setelah ummat lulus uji selama 1 bulan penuh mestinya ummat tahan untuk hidup mulia selama 11 bulan berikutnya. Namun faktanya, sebaliknya yang banyak terjadi. Banyak orang merasa bebas berbuat apa saja selama 11 bulan penuh, kemudian yakin akan bisa dihapus selama 1 bulan di bulan Ramadhan. Jadi kondisi dosa setelah berakhir Ramadhan ‘0’, kosong alias tidak ada, alias bersih sama sekali. Masuk akal jika banyak orang memohon maaf kepada siapa saja tanpa tau apa salahnya.   

Hidup Tanpa Petunjuk Tuhan

Hari ini semua kondisi kehidupan manusia mengalami degradasi semakin parah dari waktu ke waktu, tahun ke tahun. Mengapa kehidupan manusia di dunia semakin kehilangan nilai-nilai Ketuhanan? Mengapa kita hidup semakin memperturutkan hawanafsu kita? Mengapa dari tahun ke tahun, kita tidak juga mampu keluar dari masalah yang melanda kehidupan kita? Mengapa bukan kondisi berkat yang kita dapatkan padahal kita sangat yakin kita mengikuti petunjuk  Tuhan? Mengapa semua tempat menjadi seperti neraka yang sangat panas membuat kita cepat marah dan konflik dengan amarah yang menyala-nyala? Sudah tidak adakah lagikah tempat yang sejuk dan menyejukkan di muka bumi ini? mengapa kita yang selalu beribadah memohon petunjuk Tuhan tetapi seolah Tuhan tidak mendengar permohonan kita?

Hari ini kita seolah hidup tanpa petunjuk dari Tuhan. Hal ini terbukti sebab semua ummat beragama yakin bahwa Tuhan tidak akan lagi menurunkan petunjukkanya (wahyu/ilham) bagi ummat manusia. Sebab tugas Tuhan menunjuki jalan kebenaran bagi manusia sudah berakhir sejak masa nabi-nabi berakhir. Ummat Jahudi yakin bahwa wahyu terakhir Tuhan turn kepada Musa, sementara ummat Nasrani yakin wahyu terakhir turun kepada Yesus sementara ummat Islam yakin wahyu terakhir turun kepada Muhammad. Setelah nabi terakhir yang mereka yakini masing-masing memperoleh wahyu Tuhan maka Tuhan kemudian ‘pensiun’ untuk memberi petunjuknya kepada ummat manusia.

Lantas dimanakah petunjuk Tuhan dapat ditemukan ummat, jika wahyu sudah tidak ada lagi? Semua agama kemudian membuat fatwa yang sama, bahwa petunjuk Tuhan hanya ada di dalam kitab suci masing-masing. Siapa yang mengimani dan berpegang teguh pada kitab sucinya maka ia akan selamat dunia dan akhirat. Petunjuk Tuhan hanya dapat ditemui pada kitab suci saja, disitulah wahyu (firman-firman Tuhan) sudah dicatatkan (dituliskan) yang berisi petunjuk kepada jalan yang benar. Kondisi ini tentu saja bertentangan dengan semua permohonan ummat kepada agar mereka ditunjuki jalan yang benar. Sebab mereka bermohon kepada Tuhan yang mereka yakini sudah tidak mau lagi ‘berbicara’ dan memberi petunjuk kepada mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun