Mohon tunggu...
Deus Salvator
Deus Salvator Mohon Tunggu... Freelancer - Deus

tak perlu sedu sedan itu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pemenuhan Ekspektasi Semesta

12 Januari 2022   12:10 Diperbarui: 12 Januari 2022   12:20 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebermula hanyalah pesisir. Tawaran debur ombak seirama, dibalut dengan nyiurnya angin yang membuatku terpana akan ketenangannya, menghantarkanku pada kesungguhan untuk pergi jauh mencari makna hidup. Aku yakin untuk berlayar bersama kapalku ke Lautan Merto yang tak kupahami tubuhnya. Belum jauh aku berlayar, aku kehilangan segala. Tapi, aku masih penasaran. Barangkali lautan inilah yang mampu menempaku. Membantu diriku untuk menemukan siapa sebenarnya aku.

Di dalam Lautan Merto aku tak sendiri. Satu per satu wajah asing dengan kapalnya berdatangan. Aku pikir mereka adalah perompak yang hendak merampas kapalku. Ternyata inilah salah satu harta karun di Lautan Merto. Ia menyediakanku rekan seperjalanan. Mungkin agar aku tak kesepian? atau justru untuk merayakan kesepian bersama? Pertemuan tak selamanya mulus. Ideologi, kekeraskepalaan, serta keegoisan setiap diri pelaut itu mengiringi tiap debur ombak. Seiring berjalannya waktu, kami mulai merapatkan barisan kapal membentuk sebuah pola yang menjadikan kami sebagai armada. Berlandaskan percaya, kami meyakini bahwa kami akan bahu membahu bersama mencapai labuhan abadi.

Aku bukanlah seorang kapten kapal yang hebat dan gagah berani menerabas lautan. Aku hanyalah seorang penakut yang ingin menerjang lautan yang penuh dengan ketidakpastian. Rasa takut ini yang akhirnya terus melekat dalam diriku. Aku menciptakan diri serta kapal yang ideal di mata semesta. Agar semesta mau menerimaku. Aku begitu senang dipandang dengan segala kemegahan dan keelokanku. Aku begitu senang memenuhi pandangan semesta.

Di tengah lautan luas itu aku menemukan pulau. Di sana aku menemukan penghuni yang terpikat dengan keelokanku dan kapalku. Mereka mengikuti berlayar,dan aku begitu bahagia. Tapi tak semuanya mampu bertahan. Ada yang memaksa untuk turun, dan ada juga yang diam-diam mengambil alih kemudiku. Nyatanya semua itu hanyalah kebahagiaan semu. Dengan menjadi apa yang mereka suka hanyalah menjauhkanku dari tujuan awal, menemukan aku.

Ketika badai guntur yang mengerikan datang, aku menjadi sangat lemah. Aku justru semakin tidak mampu untuk mengenal apa yang aku butuhkan dan kemana aku harus pergi. Pemenuhan ekspektasi semesta justru menjadi kelemahan terbesarku. Di tengah badai ini, aku terombang-ambing ombak besar, dan kilat membutakanku. Aku terhempas, dan yang kulihat hanyalah gelap. Aku tak lagi mampu merasakan tubuhku. Aku mati...

*

 

Sang Surya menyinari mataku dan dengan hangat-Nya merengkuh tubuhku. Apakah ini labuhan abadi? Aku melihat beberapa wajah admiral yang mecoba menyadarkanku. Diberikannya aku segala hal yang sekiranya cukup membuatku pulih. Membantuku memperbaiki kapalku yang nyaris karam. Kupandangi Sang Surya, Ia hanya tersenyum menyiratkan pesan bahwa aku tahu apa yang harus kulakukan selanjutnya. Sejenak hening. Aku memulai percakapan dengan Sang Surya dan menghina-Nya. "Mengapa Kau tinggalkanku?". Sang Surya terkekeh, Ia sudah menemaniku sejak awal pelayaran ini dimulai. Tapi aku saja yang buta dan menjadikan pusat semesta ini hanya tentang aku. Sekarang aku kembali memegang kendali itu dan tahu kemana aku harus berlayar tanpa memperdulikan segala pandangan semesta kepadaku.

Sebuah pergolakan hebat dalam linimasa hidup, proses penemuan aku yang begitu panjang. Membawa pada pemaknaan akan kerapuhan diri yang layak dan sepantasnya di ubah. Terima kasih lautan. Terima kasih telah membantuku menemukan aku. Terima kasih telah menyadarkan bahwa aku memiliki kehendak bebas, dan kebebasan itu adalah upaya mendorong diri sendiri untuk naik. Menjadi versi terbaik dari diri sendiri dengan apa adanya. Perihal disukai maupun tidak biarlah menjadi tugas semesta, karena aku adalah aku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun