Mohon tunggu...
Humaniora Pilihan

Orang Rimba di Jambi

13 Desember 2017   14:20 Diperbarui: 13 Desember 2017   14:31 982
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pertengahan Oktober silam saya diajak tim Robinson Journey berkeliling Jambi selama delapan malam. Ini merupakan kesempatan langka buat saya, karena saya belum pernah menyentuh Pulau Sumatera sebelumnya. Jadi saya berangkat pagi hari Minggu, 15 Oktober 2017, bersama Anindya Putri, Sang Puteri Indonesia 2015 yang terkenal sangat aktif dalam kegiatan olahraga.

Setelah menghabiskan dua hari di Kota Jambi, kami melanjutkan perjalanan ke luar kota pada hari Selasa, tanggal 17 Oktober. Dikawal Bang Yomi dan Bang Fadli dengan ambulans four-wheel-drive, kami memasuki daerah Sarolangun dan sampai di Desa Sungai Jernih lewat tengah malam. Kami bermalam di rumah salah seorang warga transmigran, keluarga Pak Paryan, yang membuka rumahnya untuk kami berlima belas. Ditambah tim sukarelawan dari WARSI, Bang Prabu dan Bang Maknun--lalu Mas Fitra Eri dari OtoDriver dan asistennya yang datang jam 2 dini hari--total tamu malam itu ada 21 orang.


saya disupiri Anindya Putri!

Dalam kesederhanaan rumah beruang lima berlantai vinylitu, para kru tidur dalam sleeping bag di ruang tengah (dan kami perempuan dapat tidur di atas kasur di kamar.) Rumah ini merupakan rumah yang dipakai untuk shooting film Sokola Rimba tahun 2013 silam, hanya sudah mengalami banyak perbaikan dan penambahan ruang. Pagi hari di desa terujung sebelum hutan itu terasa cukup dingin, dan kami semua bergantian mandi dengan air dingin karena tidak sempat membasuh diri malam sebelumnya. Sembari menunggu giliran, saya ikut nongkrong di dapur berlantai tanah bersama Bu Pariyan (iya, Bu Pariyan yang karakternya muncul sebagai perempuan yang membuka rumahnya untuk Butet Manurung mengajar) dan para sukarelawan WARSI.

Pagi itu saya diajak sutradara tim, Kang Yaya, untuk ikut bertandang ke kantor kepala desa untuk melaporkan kunjungan kami. Setelah itu kami bertemu dengan kelompok Sako Nini Tuwo, sebuah 'klan' kelompok kecil dari 13 keluarga dari 12 ketumenggungan dengan total 3600 jiwa yang ada di Bukit Dua Belas. Kelompok yang kami temui ini menyebut diri mereka Orang Kubu, Orang Rimba, atau Suku Anak Dalam.

Suku ini adalah salah satu dari ratusan suku asli Indonesia yang 'belum' tersentuh budaya asing. Di hutan hujan tropis di Jambi, mereka hidup semi-nomaden secara turun-temurun hanya dengan memanfaatkan apapun yang tersedia di alam. Mereka tidak suka memakai baju, karena itu mengganggu sistem kekebalan tubuh mereka. Di foto-foto di post ini mereka mengenakan pakaian hanya karena kami sedang berkunjung. Beberapa yang tidak pakai baju menyingkir dari bidikan kamera selama kunjungan kami. 


begini bentuk tenda yang menjadi puskesmas darurat Orang Rimba ini

Beberapa puluh tahun terakhir, dengan invasi ladang kelapa sawit, keberadaan mereka semakin terancam karena pepohonan rumah mereka berganti jenis dan kini ada pemiliknya. Seringkali mereka terlibat perkelahian berujung darah karena dianggap mencuri hasil panen milik perusahaan. Dan invasi ini membuat mereka mengenal uang dan kendaraan. Mereka diiming-imingi mobil untuk ditukar sekian ratus meter persegi lahan. Tentu, hal ini awalnya menggiurkan, tetapi berakhir buruk. Mereka tidak siap menerima gaya hidup modern kita. Akhirnya mereka memutuskan untuk menutup diri dari 'dunia', berpikir kita semua hendak menipu mereka.

Karena itulah teman-teman dari WARSI mendedikasikan diri untuk membantu mereka baca-tulis-hitung. Setidaknya supaya mereka tidak lagi dibodohi kalau sudah bisa berkomunikasi dengan baik dengan dunia modern. Sebenarnya ini adalah concernsaya, betapa kita merusak gaya hidup mereka yang seringkali kita anggap 'primitif'. Padahal, menurut saya, kita saja yang tidak paham dan menganggap diri sudah beradab. Saya suka melihat mereka apa adanya, tanpa harus menjadi seperti kita.

Untungnya prinsip kawan-kawan di WARSI sejalan dengan pemikiran saya, yaitu mereka tidak mau mengubah suku ini, persis seperti prinsip Butet Manurung. Bedanya, Butet Manurung berasal dari Kota Bangko, sementara kelompok WARSI dari Kota Jambi. Mereka hanya ingin menjadi jembatan yang bisa mengakomodasi kehidupan mereka, sebagai 'pengganti' apa yang telah diambil oleh 'kebun kelapa sawit' ini dari mereka. Begitu hebatnya dedikasi kawan-kawan WARSI, mereka menjadwalkan 2-3 minggu per bulan untuk ikut hidup bersama satu kelompok secara bergilir dan 1 minggu sisanya pulang ke Kota Jambi. Dengan total 13 kelompok di ketumenggungan ini, artinya tiap kelompok baru bisa bertemu dengan tim WARSI setelah 1 tahun 1 bulan. Lama juga, ya!


Bang Prabu (paling kiri), Kang Yaya (baju merah), dan Suku Anak Dalam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun