Perjalanan panjang dalam menjadi dokter tentu bukan rahasia yang tidak ketahui oleh banyak orang. Kuliah kurang lebih selama enam tahun, magang di rumah sakit, pendidikan spesialis yang memakan waktu hingga enam tahun lagi, dan masih banyak yang harus dilalui seseorang untuk menjadi dokter. Tentu hal ini akan terasa berat apabila orang itu menjalaninya dengan terpaksa, bukan karena panggilan untuk melayani sesama. Satu hal yang akan kita temukan dalam profesi kita yang ampu adalah risiko yang bertentangan dengan segala rencana kita. Sebagai contoh, sulitnya mengambil libur saat Lebaran atau Natal karena harus melaksanakan tugas di rumah sakit.
Kasus penganiayaan ketua koas di Palembang yang sempat menghebohkan dunia maya Indonesia membuat saya kembali merenungkan pilihan hidup saya. Namun, sebelum itu, ada pentingnya mengulas kronologi kejadian ini sebagai latar belakang tulisan singkat saya.
Kejadian ini berawal dari masalah sederhana, yaitu pembagian jadwal piket jaga di RS Siti Fatimah Palembang. Salah satu koas dari Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya bernama Lady Aurellia Pramesti merasa keberatan dengan jadwal jaga. Berdasarkan bukti percakapan yang beredar, jadwal jaga koas ini sudah diganti sebanyak tiga kali karena ketidakpuasan Lady. Padahal, teman-teman lainnya sudah sepakat dengan jadwal jaga yang ditetapkan oleh Luthfi, ketua koas stase anak. Menurut kesaksian yang dijelaskan oleh pengacara Lady, Titis Rachmawati, Lady mengalami stress karena beban kerjanya yang berat. Kondisi ini disadari oleh Sri Meilina selaku ibu kandung Lady. Awalnya, Lina ingin menemui Luthfi untuk membahas terkait pembagian jadwal jaga ini, tetapi Lady menolak dan meminta Lina untuk tidak menemui Luthfi.
Meskipun Lady melarang, Lina tetap memutuskan untuk bertemu dengan Luthfi di sebuah kafe di kawasan Demang Lebar Daun, Palembang. Pertemuan itu bertujuan untuk membahas kesalahpahaman antara Lady dengan Luthfi supaya terdapat solusi yang saling menguntungkan terkait jadwal jaga koas. Namun, situasi memanas akibat adanya kesalahpahaman antara supir keluarga Lady dengan Luthfi. Puncaknya, Luthfi menerima pukulan bertubi-tubi dari supir keluarga Lady dan harus dirawat di RS Bhayangkara Palembang . Kejadian ini membuat keluarga Luthfi memilih jalur hukum untuk penyelesaian masalah.
Kasus ini menimbulkan banyak pertanyaan dalam benak saya, hingga di tahap dimana saya merenungkan pilihan saya sebagai mahasiswi jurusan kedokteran. Komentar seperti, "Kalau waktu mahasiswanya aja masih sering kaya gini, mending gausah lanjut jadi dokter dek", membuat saya semakin merenungkan keputusan saya. Â Seperti yang sudah saya singgung di awal, setiap pekerjaan pasti memiliki risiko dan manfaat bagi orang yang melakukannya. Satu hal yang harus kita sadari adalah pekerjaan itu diambil berdasarkan keputusan kita. Inilah mengapa semua pekerjaan tidak dapat dilakukan untuk memakan ego dan gengsi kita semata, tapi harus berdasarkan niat baik kita. Ketika kita memiliki niat baik dan tekad yang kuat, semua masalah pasti dapat dilewati dengan baik.
Kasus ini juga menyadarkan saya mengenai satu hal, yaitu stres. Meskipun topik stres ini sudah dibincangkan dimana-mana, saya ingin mengungkit hal ini karena sangat relevan dengan semua orang, khususnya mahasiswa kedokteran. Melihat situasi Lady Aurellia, saya jadi bertanya-tanya, "Apakah saya juga akan menghadapi tekanan sebesar itu?". Kekhawatiran saya hilang ketika saya membaca buku Filosofi Teras milik Henry Manampiring. Henry menjelaskan bahwa terdapat banyak hal yang dapat kita kontrol dan tidak dapat kita kontrol. Masalah akan datang berlalu lalang tetapi hal yang harus kita atur adalah persepsi kita terhadap masalah itu. Persepsi yang salah akan menimbulkan stres dan mengarahkan kita pada solusi yang salah.
Adanya kasus ini membuat saya sempat khawatir mengenai masa klinis yang akan saya jalani dalam beberapa tahun lagi. Pertanyaan seperti, "Bagaimana kalau nanti saya tidak bisa pulang dan bertemu dengan keluarga saat natal?" ini sering menghantui benak saya, ditambah dengan fakta saya merupakan anak rantau. Namun, saya kembali dengan keputusan saya untuk mengambil jurusan kedokteran. Keputusan yang telah saya ambil menandakan bahwa saya telah mempertimbangkan risikonya dengan sungguh-sungguh. Saya pasti akan merasa kesepian, tetapi saya percaya saya mampu untuk melalui masa-masa itu.
Mengakhiri tulisan singkat ini, kasus ini juga menjadi pengingat bagi saya. Dalam setiap pekerjaan, akan ada dua sisi yang berlawanan. Dengan memahami mana hal yang bisa kita kendalikan dan mana yang tidak, saya berharap dapat menghadapi tantangan ke depan dengan lebih kuat dan penuh kesadaran. Tidak hanya itu, kasus ini mengingatkan saya untuk tetap mempertanggungjawabkan keputusan yang telah diambil.
Referensi:
1. Tarigan, Salomo. (2024, December 13). Muncul Nama Lady Aurellia, Isi Chat Kronologi Awal Mula Terjadinya Pemukulan Dokter Koas Luthi. Tribun-Medan.com. https://medan.tribunnews.com/2024/12/14/muncul-namalady-aurellia-isi-chat-kronologi-awal-mula-terjadinya-pemukulan-dokter-koas-luthi
2. Manampiring, Henry. (2018). Filosofi Teras. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H