Mohon tunggu...
Victor Hasiholan
Victor Hasiholan Mohon Tunggu... lainnya -

Introvert. Detil. Kadang dianggap perfeksionis. Suka mengamati orang, tapi gak suka dekat sama orang. Sering menganggap dirinya sebagai duta merek McDonald's. Ya, gitu aja.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Tentang Fiksi Mini (@Fiksimini)

16 Oktober 2010   21:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:23 335
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

[caption id="attachment_292101" align="alignnone" width="293" caption="follow: @fiksimini"][/caption]

Rasa takut ditolak lebih buruk daripada penolakan itu sendiri. [Nora Profit]

Ketika pertama kali menulis buku, draft sebuah buku tepatnya, saya pikir saya sudah gila. Apalagi saya langsung mengirimkannya ke sebuah penerbit besar di Indonesia.

Saya menceritakan hal tersebut kepada beberapa kawan. Berbagai reaksi yang saya dapatkan.

Bagus Vic, nekat itu perlu.

Hahaha... paling naskah bukumu cuma dibiarin numpuk di meja editor.

Gramedia? Kenapa gak penerbit yang dekat-dekat aja?

Dan berbagai macam reaksi lainnya. Saya hanya diam, ikutan nyengir, atau ikut tertawa. Walaupun dalam hati tidak yakin juga kalau naskah buku saya bakal dicetak.

Kira-kira 3 bulan kemudian, surat mengerikan itu datang. Isinya sebuah penolakan. Syok? Tentu saja. Walaupun selama 3 bulan itu sudah mempersiapkan diri, tapi rasa-rasanya masih tidak bisa menerima apa yang terjadi.

Udah Vic, gak apa-apa. Naskah Harry Potter aja ditolak 4 penerbit sebelum akhirnya jadi best seller. Mungkin emang semua buku nasibnya harus gitu.” Kata seorang teman di suatu hari Minggu.

Sampai saat ini, naskah itu masih tersimpan di laci. Saya terlalu trauma untuk mencoba mengirimkannya ke penerbit yang lain. Hingga kemudian seorang teman menyarankan saya untuk follow Fiksi Mini di twitter. “Nanti kamu bisa belajar bagaimana menghadapi penolakan.

Sudah 1 bulan saya ikutan bikin sebuah fiksi mini. Puluhan fiksi yang saya ingin ceritakan sudah saya tuliskan, hanya dengan 140 karakter atau kurang. Disinilah tantangannya. Membuat cerita fiksi yang panjang ternyata lebih mudah daripada membuat cerita fiksi yang lebih singkat dari isi sebuah SMS (160 karakter). Berikut beberapa diantaranya:

  • fiksimini RT @vic_hasiholan: SUDAH SIAP MATI? "Halo?" | "Ria?" | "Ya, saya sdr. Ini sapa?" | "Saya Ria. Inkarnasimu. Sebentar lg saya ke bumi."
  • fiksimini RT @vic_hasiholan: MEMBUNUH DEWA. "Knp baru mengaku skrg?" | "Stlh melihat dia membusuk, sy bru yakin telah benar2 membunuhnya."
  • fiksimini RT @vic_hasiholan: KORAN MASA DEPAN. Hari ini aku akan mati. Aku baca beritanya di koran pagi tadi.

Seingat saya sudah tujuh (7) cerita yang di”RT” oleh admin Fiksi Mini hingga hari ini. Dari sini saya belajar tentang apa arti penolakan, dan bagaimana merasakan sebuah kegembiraan karena tulisan saya dibaca banyak orang.

Awal-awalnya memang sempat kesal karena tulisan saya tidak kunjung di”RT” oleh admin Fiksi Mini. Tapi entah kenapa, saya selalu tertarik untuk menuliskan fiksi mini setiap hari. Rasanya seperti menulis sebuah sinopsis cerita fiksi, agar pembacanya menjadi penasaran lalu berimajinasi.

Saya melihat Fiksi Mini seperti ini: setiap tweet cerita fiksi yang saya tuliskan (kirimkan), ibarat saya mengirimkan sebuah artikel, cerpen, atau naskah buku ke sebuah majalah, koran, atau perusahaan penerbitan. Lalu dibaca oleh seorang editor (admin Fiksi Mini), yang kemudian untuk dipertimbangkan apakah layak untuk dimuat/diterbitkan (di”RT”).

Hasilnya? Ternyata imajinasi saya tidak jelek-jelek amat. Buktinya beberapa “lolos sensor” untuk kemudian diteruskan kepada semua follower @fiksimini [sekitar 40000 ribu pengguna twitter].

Lewat pengalaman menuliskan fiksi mini, saya mendapat pelajaran untuk bagaimana menerima penolakan itu sendiri. Saya juga memperoleh pelajaran berharga yang lain, yakni untuk tidak meragukan kemampuan diri sendiri. Sehingga kini saya lebih percaya diri.

Sekarang saya kembali aktif menulis naskah buku kedua saya. Naskah buku yang pertama akan tetap saya simpan sebagai kenang-kenangan. Sebagai pengingat bagaimana bersikap untuk sebuah penolakan. Trauma itu sudah hilang, dan saya bisa kembali menuliskan apa saja mulai sekarang.

Saya juga punya semacam keyakinan baru saat menuliskan sesuatu: semua karya seni itu bagus, termasuk sebuah tulisan. Hanya saja akan terlihat bagus atau tidaknya tergantung pada suasana hati penikmatnya (pembacanya). Tapi itu urusan mereka. Yang penting bagi seorang seniman (penulis) adalah terus berkarya. Dengan sepenuh hati tentunya.

Terima kasih Fiksi Mini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun