Mohon tunggu...
Victor Hasiholan
Victor Hasiholan Mohon Tunggu... lainnya -

Introvert. Detil. Kadang dianggap perfeksionis. Suka mengamati orang, tapi gak suka dekat sama orang. Sering menganggap dirinya sebagai duta merek McDonald's. Ya, gitu aja.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Negara Agama dan Tentangannya

13 Oktober 2010   16:03 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:27 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_288696" align="alignnone" width="248" caption="Pancasila"][/caption] Pancasila justru berarti, karena ia tidak 'sakti'. Para pembela ide 'Negara Islam' gemar mengatakan, mereka lebih baik memilih dasar Islam karena Islam datang dari Allah, sedang Pancasila itu bikinan manusia.Tapi justru karena Pancasila adalah bagian dari ikhtiar manusia, ia tak mengklaim dirinya suci dan sakti. Dengan demikian ia adalah 'inspirasi' untuk sebuah kehidupan bersama yang mengakui dirinya mengandung 'kurang',karena senantiasa bergulat antara 'eka' dan 'bhineka'. [Goenawan Mohamad -Menggali Pancasila Kembali- pada pidato peluncuran politikana.com] Akhir-akhir ini beberapa orang ingin membuat Indonesia menjadi negaraTeokrasi, yakninegara yang pemerintahannya dipegang oleh pemimpin agama, dan berdasarkan kepercayaan bahwa Tuhan lah yang langsung memerintah negara, sehingga hukum negara yang berlaku adalah hukum Tuhan.Dalam hal ini, Indonesia ingin diubah menjadi negara Islam, sehingga yang berlaku adalah Syariat Islam. Orang-orang ini tidak percaya pada ideologi Pancasila.Mereka, yang mencita-citakan berdirinya negara Islam, percaya bahwa jika hukum Tuhan diterapkan, maka akan membawa kepada kehidupan bangsa dan negara pada sebuah kehidupan sosial yang tanpa cacat. Tetapi, para penganjur ide negara Islam lupa bahwa agama selamanya menjanjikan kehidupan alternatif: di samping yang 'duniawi' yang kita jalani ini, ada kelak yang 'ukhrowi' yang lebih baik.Maka sebuah negara Islam yang tak mengakui ketidak-sempurnaannya sendiri akan salah secara akidah. [Goenawan Mohamad] Sejak merdeka, kita bangsa Indonesia, sudah menerapkan ideologi Pancasila sebagai dasar negara.Jadi, keinginan mendirikan sebuah negara agama sudah salah secara hukum yang ada.Meskipun dalam usulan pertamanya, sila ke satu berbunyi: Ketuhanan Yang Berdasarkan Syariat Islam, dan akhirnya diganti menjadi: Ketuhanan Yang Maha Esa.Bung Karno menganjurkan agar 'pihak islam' menerima berdirinya sebuah negara yang 'satu buat semua, semua buat satu', yang dalam artian: Bung Karno menolak 'egoisme-agama'.[Goenawan Mohamad] Beberapa cendekiawan muslim juga pernah secara terang-terangan menolak berdirinya negara Islam, untuk menggantikan ideologi Pancasila, seperti (Alm) Nurcholish Madjid (Cak Nur) dan (Alm) KH. Abdurachman Wahid (Gus Dur). ********/******* Berdasarkan sejarah dunia, negara agama tidak pernah membuat kehidupan penduduknya menjadi lebih baik.Bahkan cenderung membuat orang mengalami "krisis kepercayaan", karena meragukan teologi agamanya yang sudah menjadi komoditi pemuka agama dan organisasi keagamaan. Agama Protestan adalah salah satu hasil dari sebuah negara Teokrasi.Sebuah tindakan protes yang dilakukan Martin Luther saat melihat organisasi keagamaan menjadi sesat dan tak ber-Tuhan lagi. Hal ini disebabkan saat pembesar dan pemuka agama Katolik menjual indulgensia, yakni surat penebusan dosa, yang dijual sangat mahal, sehingga membuat orang-orang miskin merasa bahwa diri mereka tidak akan masuk ke surga karena tidak pernah ditebus dosanya.Sejatinya bisnis indulgensia sudah salah secara agama, karena Tuhan pasti akan mengampuni semua dosa umatNya tanpa perlu membeli surat penebusan dosa. Tetapi karena saat itu Luther hidup di sebuah negara agama, maka kemudian Luther dijadikan musuh negara. Dia didakwa melakukan penistaan agama oleh para penjual indulgensia, yakni para pemuka-pemuka agama Katolik yang saat itu berkuasa.Karena mereka memberlakukan hukum Tuhan, maka mereka menganggap bahwa hukum yang mereka berlakukan tidak pernah salah. Siapa yang tidak sependapat dianggap sesat. Ketika Amerika Serikat dikuasai oleh gereja, organisasi-organisasi gereja kemudian menjadi tuan tanah, mengklaim diri mereka sebagai utusan Tuhan, dan yang melawan dianggap sebagai musuh gereja yang berarti juga musuh negara. Terjadi kesewenang-wenangan dalam menjalankan aturan. Biar bagaimanapun juga, organisasi keagamaan adalah refleksi kehidupan dalam keanggotaannya. Sehingga ketika ada politik kulit berwarna (apartheid), gereja-gereja Protestan juga melarang orang-orang kulit hitam untuk masuk ke dalam gereja.Hal ini sebenarnya sudah salah dalam konteks agama Protestan, karena Tuhan menerima semua orang untuk beribadah kepadaNya tanpa membedakan warna kulitnya.Tetapi karena organisasi keagamaan berkuasa, dan menganggap diri mereka adalah utusan Tuhan, maka hukum yang mereka berlakukan dianggap tanpa cacat.Orang yang menentang hukum itu akhirnya dianggap sesat dan menjadi musuh negara. Undang-undang di negara demokrasi selalu bisa diubah sesuai perkembangan jaman. Tetapi undang-undang di negara Teokrasi sudah tidak bisa diubah lagi. Tidak bisa ditawar lagi. Karena itu dianggap sebagai hukum Tuhan yang tanpa cacat dan cela.Hal inilah yang membuat negara Teokrasi cenderung kaku dan tidak dinamis.Pemuka agama yang menjadi kepala pemerintahan bisa saja seenaknya menjalankan kepentingannya dengan berlindung pada "hukum Tuhan". Tetapi kepala pemerintahan di negara demokrasi tidak bisa seenaknya menjalankan kepentingannya karena hukum yang ada masih bisa diubah dan diperbaharui. Oleh karenanya, negara agama sebenarnya tidak pernah membuat kehidupan menjadi lebih sejahtera.Biar bagaimanapun juga, para pemuka dan pemimpin agama tetaplah manusia. Bahwa mereka salah menafsirkan isi kitab suci bisa saja terjadi. Dan hal ini bisa saja membuat agama itu sendiri menjadi terpecah belah, karena perbedaan penafsiran dan pemikiran antara kelompok pemuka agama yang satu dengan yang lainnya, walaupun mereka membaca isi kitab suci yang sama.Hal ini pun, tidak lepas dari politik kepentingan yang menunggangi mereka. Saya kira, gerakan mendirikan negara agama hanyalah keinginan para pemuka agama untuk memonopoli kekuasaan saja.Negara agama juga sejatinya tidak bisa menjamin kesejahteraan manusianya. Tuhan memang memberi perintah agar manusia menegakkan kebenaran agama. Tetapi masalahnya, kebenaran itu ada banyak versinya. Disinilah kita diajarkan agar tidak mudah mengkafirkan orang yang tidak sepaham. Baiknya sebuah negara demokrasi yang berdasarkan hukum buatan manusia adalah karena tidak ada yang mutlak salah atau benar.Karena hukum buatan manusia selalu mempunyai cacat dan cela, yang berarti tidak sempurna.Kalau negara berdasarkan hukum agama, tidak akan pernah mengenal adanya pengacara. Semua aturan mutlak keputusan para pemimpin agama. Padahal pemimpin agama sejatinya juga manusia biasa. ********/******* Pada akhirnya, kita membutuhkan Pancasila kembali karena kita seakan-akan telah kehilangan bahasa untuk menangkis 100 tahun kekerasan yang tersirat dalam sikap sewenang-wenang yang juga pongah:sikap mereka yang merasa mewakili suara Tuhan dan suara Islam, meskipun tak jelas dari mana dan bagaimana 'mandat' itu datang ke tangan mereka;sikap mereka yang terbakar oleh 'egoisme-agama' dan menafikan cita-cita Indonesia yang penting, agar tiap manusia Indonesia 'bertuhan Tuhannya sendiri' - hingga agama tak dipaksakan, dan para penganut tak besembunyi dalam kemunafikan. Kita membutuhkan Pancasila kembali karena kita perlu bicara yakin kepada mereka yang mendadak merasa lebih tinggi ketimbang sebuah Republikyang didirikan dengan darah dan keringat berbagai penghuninya - Islam, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu, ataupun atheis -- perjuangan yang lebih lama ketimbang 60 tahun. Kita membutuhkan Pancasila kembali karena ia merupakan proses negoisasi terus menerus dari sebuah bangsa yang tak pernah tunggal, tak sepenuhnya bisa 'eka', dan tak ada yang bisa sepenuhnya meyakinkan bahwa dirinya, kaumnya, mewakili sesuatu yang Maha Benar.Kita membutuhkan Pancasila kembali: seperti saya katakan di atas, kita hidup di sebuah jaman yang makin menyadari ketidak-sempurnaan nasib manusia. [Goenawan Mohamad] *) tulisan ini hanya interpretasi penulis padanaskah pidato Goenawan Mohamad **) sebagian besar isi tulisan ini hanya copas dari naskah pidato tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun