Suatu malam di angkringan: “Pak, tadi makan nasi 2,” “Iya, 2000.” “Gorengan 1,” “2500.” “Teh anget,” “3500.” “Sama rokok 3.” “6200 dik.”
Mendengar itu pikiran saya langsung menghitung, “(6200-3500) : 3”. Satu batang rokok harganya hampir sama dengan sebungkus nasi!
Lalu saya perhatikan orang tadi, saat beranjak pergi setelah bertransaksi dengan bapak pemilik angkringan. Berapa banyak orang yang hidupnya seperti pemuda itu? Menghabiskan sejumlah uang hanya untuk rokok. Tapi ternyata dia tidak sendiri. Ada jutaan orang lainnya yang melakukan hal yang sama. Bahkan ada banyak keluarga yang alokasi anggaran rumah tangganya cenderung dihabiskan untuk membeli rokok. Lebih besar daripada anggaran untuk makan dan pendidikan. Jadi wajar saja jika kemudian ada aturan: Orang Miskin yang Merokok akan Dicabut Jaminan Kesehatannya.
Saya pribadi tidak anti rokok. Saya tidak akan demonstrasi di bundaran HI untuk menuntut agar rokok dilarang seperti halnya narkoba, walaupun efeknya sama. Tapi saya sangat tidak suka jika ada orang merokok di dekat saya, yang kemudian mengakibatkan pakaian saya menjadi bau asap rokok dan paru-paru saya terisi limbah rokok.
Bagi yang sudah terlanjur jadi pecandu nikotin, silahkan diteruskan. Syukur bisa berhenti. Tapi jangan lalu mengajak orang lain untuk merokok. Kebanyakan saya dengar, orang yang terjun dalam dunia nikotin sebagian besar diakibatkan ajakan teman. Walaupun ada juga yang mulai karena coba-coba.
Lalu saya hanya mencoba berpikir bijak: ada tujuannya pemerintah menjelaskan bahaya rokok di tiap iklan dan bungkus rokok. Ditambah lagi aturan “18+”, yang melarang warga negara di bawah 18 tahun membeli rokok. Itu berarti pemerintah kita sadar, bahwa untuk orang yang sudah dianggap dewasa dan mengerti bahaya rokok, diberi kebebasan untuk memilih apakah akan menjadi perokok atau tidak.
Jadi pilihannya tetap kembali di tangan Anda.
Thank you for smoking.
Mungkin itulah yang diucapkan para pengusaha rokok yang duduk diatas Rolls Royce atau Mercedes Benz mereka, sebagai berkah dari usaha penjualan 'zat kimia berbahaya' (baca: rokok). Saya teringat tulisan Wisnu Nugroho, kompasianer yang menuliskan tentang hal-hal tidak penting mengenai kehidupan di istana kepresidenan. Beliau menulis:
“Hebat juga pikir saya. Dari usaha yang membuat banyak potensi celaka untuk banyak pembelinya saja pengusaha itu bisa kaya raya. Tentu saja, kaya raya di sini ukurannya adalah sedan Rolls-Royce yang diparkir di istana. Tidak tahu, apakah Rolls-Royce itu terkena fatwa haram atau tidak jika datang ke istana.
Apakah anda para pembeli dan penikmat rokok pernah menumpang Rolls-Royce seperti yang diparkir di istana? Kalau belum juga, segeralah jera karena rokok hanya membuai anda tentang fantasi nikmatnya naik Rolls-Royce.
Rokok apa yang anda hisap? Semoga saja rokok yang bisa membuat pengusaha pemilik Rolls-Royce itu dapat membeli Rolls-Royce berikutnya untuk koleksi dan membuat lebih nyata fantasi anda.
Masih juga belum jera merokok? Semua memang terserah Anda.”
Rokok memang banyak sekali manfaatnya. Selain membuat kaya para pengusahanya, rokok juga menciptakan lapangan kerja, membuat nyata Liga Indonesia, memberi beasiswa, bahkan sebagai sumber pendapatan negara. Tapi apakah ada manfaat rokok bagi konsumennya? Apa dengan merokok akan menjadikan Anda kaya seperti pemilik perusahaan rokok yang menjual produknya? Apa dengan merokok akan menjadikan Anda menerima beasiswa? Apa dengan merokok lalu Anda merasa berguna, karena mengorbankan paru-paru Anda untuk memberi pemasukan pada negara?
Lalu jika kemudian ada yang berpikir: kalau tidak ada rokok maka akan ada banyak pengangguran dan berkurangnya pendapatan negara.Benarkah? Ada sebuah komentar yang berisi sebuah perumpamaan di tulisan Wisnu Nugroho tadi, yang dapat memberi jawaban atas pemikiran itu dengan sangat baik.
Berikut ada penggalan adegan film “The Insider” yang diangkat dari kisah nyata tentang industri rokok di Amerika Serikat. Cuplikan film "The Insider" (1) Cuplikan film "The Insider" (2)
Sekali lagi, semua pilihan dikembalikan kepada Anda. Saya hanya memberikan sebuah fakta dan logika, tentang apa sebenarnya yang ada dibalik sepuntung rokok yang dijual dimana-mana, yang mungkin Anda pribadi sudah mengetahuinya.
Saya bukan perokok karena itu pilihan hidup saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H