Oleh: Vicky Puspa Melati
“Aku berpikir maka aku ada . . .” (Rene Descartes)
Penelitian merupakan hasil intelektual civitas akademika. Semakin tinggi mutu penelitian, maka semakin tinggi pula pamor universitas tersebut. Sehingga, berbagai universitas di dunia berlomba-lomba untuk mengadakan penelitian. Sama halnya dengan Indonesia, universitas negeri ataupun swasta berbondong-bondong melakukan penelitian.
Penelitian itu sendiri dilakukan mengingat adanya masalah-masalah krusial yang tidak bisa dipecahkan dengan mudah oleh masyarakat khususnya masyarakat terpencil, di wilayah terpencil Indonesia masih banyak permasalahan yang sangat klasik seperti belum tersedianya aliran listrik, minimnya air bersih, hingga tercemarnya lingkungan akibat aktifitas industri tak bertanggungjawab.
Disini, peran peneliti menjadi sangat penting untuk penyelesaian masalah-masalah tersebut. Civitas akademika yang dianggap memiliki pengetahuan yang maha agung dan tertinggi sudah sewajarnya mereka mampu menyelesaikan masalah semacam ini dibanding masyarakat terpencil yang minim akses pendidikan.
Para peneliti yang terjun ke lapangan biasanya berasal dari kalangan dosen, walaupun tidak menutup kemungkinan mahasiswa turut ikut serta di dalamnya. Dengan berbekal masalah dan sejumlah dana untuk penelitian para peneliti ini berpikir dan berinovasi melakukan hal baru dalam penyelesaian masalah yang dihadapi.
Berbekal Tri Dharma Perguruan Tinggi poin yang ketiga yaitu Pengabdian kepada Masyarakat Berbasis Kearifan Lokal, salah satu universitas di Jawa Tengah mengaplikasikannya terhadap masyarakat yang memerlukan. Layaknya jasa penelitian oleh sebuah minimarket atau supermall megah, disediakanlah lembaga yang mewadahi penelitian-penelitian tersebut yang kemudian diabdikan kepada masyarakat.
Peran lembaga penelitian pun sangat penting, antara lain memfasilitasi penelitian dan mendanai penelitian yang akan dilakukan. dan ternyata, ada kasta-kasta tertentu untuk penggelontoran dana penelitian. Hal ini dilakukan untuk keadilan jabatan. Dosen muda akan mendapat lebih sedikit dana sedangkan dosen senior atau guru besar yang sudah ahli melakukan penelitian akan mendapatkan sebaliknya. Tanpa memandang masalah yang dihadapi dan pentingya masalah tersebut terselesaikan. Kriteria peneliti ini hanya ditentukan oleh lama da barunya ia terjun ke ranah penelitian.
Setelah penulis telusuri, begitu banyak arsip penelitian yang masuk dalam katalog penelitian lembaga tersebut. Tetapi sayangnya aplikasi kepada masyarakat belum penulis temuakan. Setelah berbincang dengan ketua lembaga, penulis mendapatkan jawabanya.
“Lembaga ini hanya menyediakan fasilitas penelitian saja, masalah pengabdian diserahkan kembali kepada dosen yag bersangkutan”, jawaban yang cukup mengejutkan yang keluar dari ketua lembaga ini. Pasalnya nama lembaga ini saja penelitian dan penabdian masyarakat tetapi tidak menangani pengabdian kepada masyarakat.
Yang lebih mengejutkan lagi, pengabdian yang dimaksudkan adalah kejamasama dengan industry dengan program CSR Corporate Social Responsibility. Dan penelitan yang diberikan kepada masyarakat sudah dipatenkan. Sehingga, masyarakat tidak boleh menggunakan penelitian tersebut dengan gratis kecuali melewati industry tadi.
Pengetahuan untuk semua tiadak berlaku lagi. Bahkan kini pendidikan sama halnya dengan barang-barang dagangan yang berjajar rapi di supermarket. Tanpa uang masyarakat tidak dapat membelinya, apalagi menikmatinya dengan gratis. Kalaupun gratis kualitas yang didapatkan tidak sama baiknya jika sudah masuk ke pintu industri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H