Mohon tunggu...
sastrabiru
sastrabiru Mohon Tunggu... GURU -

Pak Guru. kurang piknik, kelebihan ngopi.~

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Merci Eder, Félicitations Ronaldo! (Sebuah Catatan Suporter Layar Kaca)

14 Juli 2016   14:41 Diperbarui: 14 Juli 2016   16:09 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Minggu, 10 juli 2016. Hingga sesampainya esai ini mencapai paragraf ke delapan, sungguh badan saya belum menyentuh tilam yang memulas istri dalam lelap menjelang senin pagi, bahkan dalam tempo sedetikpun.

Sengaja saya membunuh seperempat hari sejak dzuhur hingga matahari diredam malam dengan tak melakukan kegiatan-kegiatan yang berujung peluh dan kelelahan. Semisal pergi ke pantai yang sedang padat dikunjungi manusia-manusia yang butuh piknik di hari ke-4 (empat) lebaran.

Memilih santai dan tidur-tiduran edisi kalini, tentu adalah sikap jelas; untuk menjaga seluruh indra agar senantiasa siap-siaga dihadapan layar kaca malam hingga pagi esoknya. Lolos dari godaan kantuk yang terkutuk, biar siap memasang badan sebagai saksi sejarah pertarungan puncak empat tahunan sekali di Stade De France. Portugis, Negeri asal Alfonso de Albequerque, yang siap menantang dengan tak main-main, Perancis, Negeri yang diberikan mandat untuk sibuk berdandan sebagai tuan rumah.

*

Malam selepas isya. Agar final kali ini tak hambar terasa, saya memerlukan bumbu-bumbu referensi untuk memperkuat wawasan dan mengatasi rasa penasaran agar tak sebatas jadi penonton awam. Maklum, sejak Euro edisi kali ini digulir, saya lebih tertarik dengan Negeri Tiga Singa (The Three Lions), yang gagap didedap Islandia dan pamit duluan saat fase 16 besar. Jadi wajarlah jika ensiklopedia mengenai Perancis dan Portugal luput dari perhatian. Paling-paling permukaannya saja yang sering digembar-gemborkan media; semacam Produktivitas Griezman, Payet yang baru muncul ke permukaan setelah sekian lama dilupakan, Ronaldo yang sempat frustasi hingga membuang microphone milik seorang jurnalis ke sebuah empang tak berdosa atau Portugal yang mencapai puncak Euro kali ini (katanya) penuh dengan bantuan sihir Dewi Fortuna.

Dengan kondisi jaringan tri yang menyedihkan ditambah kuota yang pas-pasan, saya mengunjungi beberapa portal daring untuk membaca beberapa sajian prediksi dan segala macam bentuk ulasan yang ditulis dengan teliti dan kadang sedikit mengada-ada para pandit sepakbola. Dari yang mencantumkan data dan fakta, hingga yang sebatas spekulasi. Perjumpaan Portugal vs Perancis memang sedang ngetrend, jadi dagangan laris dan cukup seksi untuk diulas dan diwartakan, dibanding gembar-gembor soal macet-macetan arus balik paska mudik yang selalu sama dan tak menarik itu. Wajarlah jika di hampir seluruh media --di maya maupun nyata--, memajang sejoli Negeri di benua biru ini sebagai headlines yang dramatis.

*

Dua Orang Tamu

Pukul 21.00 WITA. Malam yang lenggang di dusun kami dan hawa dingin yang selau sama. Saat lenggang, entah itu malam atau siang, saya sengaja membiasakan diri untuk membaca buku. Buku yang mendapat giliran dijamah pada lenggang malam kali ini adalah kumpulan tulisan Orwell yang terbitkan salah satu penerbit Indie asal Jogja berjudul "Bagaimana si Miskin Mati". Sedang khusyuk menyelami esai-esai Orwell yang selalu khas dengan anti-imperialisme beserta paragraf yang panjang, saya kedatangan sepasang tamu. Dua karib saat bocah dulu ternyata; saat masih doyan bermain lumpur dan mandi di sungai, di kaki gunung. Keduanya adalah sahabat kecil yang beberapa tahun terakhir hidup di perantauan, Epen & Dandy. Epen melewati hampir selusin tahunnya di Papua, Bandung dan beberapa kota di Jawa dan Sulawesi. Sedangkan Dandy adalah Mahasiswa semester 13 disalah satu kampus swasta Gorontalo yang jarang pulang kampung karena terlanjur sibuk menggiati dunia Aktivis.

Pertemuan kami berlangsung hangat disakisan kepulan asap tembakau, kue-kue kering lebaran yang ringkih dan beberapa botol minuman bersoda berlabel Amerika yang dituang setengah-setengah, di gelas-gelas kaca. Obrolan panjang digelar. Soal masa-masa bocah dulu, kampus, pemuda, budaya, hingga yang mengada-ngada. Syukur, gumamku dalam hati; begadang menanti final Euro kali ini tak perlu dilewati dengan semedi ataupun tirakat disamping istri yang selalu tak acuh dengan sepakbola, sembari menjaga-jaga alarm berbunyi disamping telinga. Tentu, menunggu bola paling tak asik untuk seluruh suami dimuka bumi ini, adalah menjadi satpam disamping lelap istri yang tak hobi bola.  

Percakapan kami terus berlanjut. Malam berangsur larut menuju ufuk di batas dini hari. Malam yang diam-diam mengupingi obrolan saya dan sepasang bujangan tentang kebajikan-kebajikan yang belum kami tunaikan, juga kenangan-kenangan yang tak boleh diabaikan. Saya menengadah ke arah jam dinding. Jarum pendek menuding angka dua. Yap, sedikit lagi tirai sejarah akan dibuka, menjawab penantian manusia-manusia penikmat sepakbola di seantero jagad raya.

*

Ruangan Televisi

Pukul 02.15 WITA. Saya menginisiasi diri bergeser ke ruangan televisi, diikuti Epen & Dandy tanpa perlu instruksi. Bapak sedang lelap di kursi panjang, "bangun pak! Laga akan segera di mulaikan!", pekikku dalam Mongondow.

Sebelum laga dimulai, saya menggelar karpet tepat didepan televisi, juga menyempatkan mengambil telepon genggam yang di charge diatas printer sejak percakapan panjang dengan Epen & Dandy terjadi. Sengaja untuk memantau socmed, daripada mendengar ceramah komentator lokal yang selalu tak asyik sejak jaman Bung-Kus, terkecuali ulasan Bung Towel atau Bung Ropan. Ketika jaringan seluler On, Dus, bersamaan dengan itu pula keran updeta-an status sekitar Portugis-Perancis tumpah ruah di facebook dan recent update bbm; dari yang ngajak taruhan recehan hingga jutaan, juga segala macam psywar murahan, bertebaran semacam polusi di Kota-Kota sibuk. Netizen seakan lupa segala peristiwa yang terjadi, ya hanya dua negeri ini yang patut dibicarakan. Yang lainnya, lupakan dulu!

*

Tak ingin diganggu satu setanpun, saya mengambil posisi tepat didepan televisi berukuran 24 inci. "Ya pemirsa, kita akan segera menuju Stade De France untuk menyaksikan laga yang dinanti-nantikan oleh para penikmat bola di seluruh dunia. Selamat menyaksikan!", sembur komentator lokal yang berbusa-busa dan keseringan kalap di beberapa potongan kalimat.

Layar 24 inci kini berisi landskap Stade De France. Riuh gemuruh penonton terdengar membahana, bertalu-talu, menggetarkan cakrawala biru diatas tanah kelahiran The Lion of Europe, Napoleon Bonaparte! Tampak bendera Portugal dan Perancis berkibar-kibar diatas lautan manusia yang memadati tribun penonton. Replika Trophy Henry Delauney dalam ukuran raksasa tampak menjulang tinggi tepat di tengah stadion. Disekitarnya para relawan dan penari terlihat seukuruan semut, berbaris rapi, terpola menempati beberapa titik. Jersey replika Portugis dan Perancis dalam ukuran raksasa dibentangkan para relawan yang tiba-tiba muncul dari lorong-lorong dibawah tribun, serentak, mengapit trophy raksanan Henry Delauney yang tegap jumawa ditengah-tengahnya.

Sorotan kamera berpindah. Lelaki paruh baya, gondrong, brewok, dengan setelan galibnya yang casual --dan tentu modis-- sedang melangkah gagah, sesekali rambut bagian belakangnya yang terurai menyentuh pundak, terayun-ayun diterpa angin. Ia menuju tengah lapangan ke arah trophy raksasa dipasung, menyusuri garis putih yang membentang vertikal diatas rumput Stade De France yang hijau segar, melewati barisan orkes dan orkestrasi yang harmoni, yang diantaranya terdiri dari seorang perempuan yang menggendong Accordion, beberapa perempuan yang sedang memainkan biola, dan para peniup terompet emas berseragam militer Perancis. David Guetta nampaknya. DJ berkebangsaan Perancis itu segera mengambil tempat tepat dibawah replika trophy raksasa yang menunggunya tak sabar. Didepan panggung kecilnya tiba-tiba sekelompok manusia bermetafora membentuk sebuah kata dalam balutan dua warna merah dan biru membentang, MERCI, yang bermakna terima kasih! Disusul kemudian seorang perempuan muda berambut emas, dengan pakaian berwarna perak mirip penari balet, Zara Larrson, siap menemaninya mempertunjukkan sihir musik modern! Theme Song Euro 2016, This One's For You berkumandang tegas, menggema menghampar ke seluruh dunia. Seketika bulu kuduk merinding, serentak, sebuah pertunjukan maha akbar sedang berlangsung. Closing Ceremony kali ini dipandu kolaborasi David Guetta & Zara Larrson!

sumber: www.gettyimages.com
sumber: www.gettyimages.com
Lampu-lampu latar dari beberapa sudut atap stadion tiba-tiba hidup dalam warna-warni, berpendar, menyambar setiap ruang dan tumpukan manusia yang berjejal memadati seisi Stade De France yang angkanya mencapai 75.868 jiwa (yang tentu mengalahkan jumlah DPT Kabupaten Bolaang Mongondow Timur, tempat saya sedang menonton malam itu). Kadang bersaling-silang persis lightening panggung konser MUSE. Gemuruh, riuh, semua penonton bernyanyi mengiringi suami dari Cathy Guetta yang diapit remaja putri asal Skandinavia kelahiran 16 desember 18 tahun silam. Seketika Closing Ceremony final Euro kali ini lebih mirip Tomorrow Land. Luar biasa! Sebuah pertunjukan yang rapi, total menghibur, tanpa cacat, bahkan secuilpun bung!

*

Closing ceremony yang hanya seumuran durasi theme song euro itu pun usai kala 24 pemain dari dua eks Negeri koloni itu memasuki lapangan.

Portugal mendapat kesempatan pertama untuk menumandangkan lagu kebangsaan, A Portuguesa. Konon lagu ini adalah hasil gubahan Alfredo Keil dan lirik yang ditulis oleh Henrique Lopes de Mendonça selama kebangkitan gerakan nasionalis yang katanya dipicu oleh ultimatum Britania tahun 1890 terhadap Portugal mengenai koloni-koloninya di Afrika.

Sorotan kamera kini berubah close-up, bergeser pelan menyoroti satu persatu keduabelas pemain. Para hero, dengan air muka yang memancarkan kebanggaan sekaligus bercampur optimis dan pesimis, jika-jika de Javu final menghadapi Yunani 12 Tahun lalu terulang. Ditengah-tengah perjalanan lagu, Epen tiba-tiba menyela, "Kapan ya kira-kira lagu Indonesia Raya bisa dinyanyikan di partai final seperti ini?"

"Tunggu ayam kencing dulu." Sahut Dandy, secepat petir yang menyambar dan merobohkan pohon beringin tua. Saya tak menggubris.

A Portuguesa pun usai dikumandangkan. Sorak-sorai tak jelas bersambut, menggemuruh dari para pendukung Portugal yang membanjiri Stade De France dengan pemandangan merah tua.

Giliran Perancis mendapat kesempatan berikutnya. La Marseillaise kini mengudara, diiringi orchestra yang berbaris dibelakang kedua kesebelasan. Ada yang unik dari cerita sejarah lagu ini. Konon judul lagu ini sebenarnya bukan sebagaimana yang tertulis diatas. Le Chant de Guerre pour l'Armée du Rhin adalah judul sebenarnya yang dimaksud Roguet De Lisle, penulis liriknya sekaligus orang yang pertama kali menyanyikannya di rumah Dietrich, Walikota Strasbourg.

Singkat cerita;

26 April 1792, lagu Le Chant de Guerre pour l'Armée du Rhin diserahkan kepada Marshal Nicolas Luckner (petugas dari Cham). Atas perintah dari Barbaroux, pada tanggal 2 Juli 1792, pasukan dari Marseille berderap menuju kota Paris untuk berperang. Seorang pemuda bernama François Mireur yang sebelumnya telah mengetahui lagu tersebut, menyanyikannya dengan penuh khidmat saat ia bergabung dengan para prajurit dari Marseille. Saat itulah, para prajurit tersebut mendengar dan merasakan semangat nasionalisme yang tinggi dari lagu Le Chant de Guerre pour l’Armée du Rhin. Mereka pun menirukannya bernyanyi sepanjang perjalanan ke kota Paris. Sesampainya di kota tujuan, penduduk Paris pun mendengar lagu yang dikumandangkan. Mereka turut menyanyikan lagu tersebut, dan memberi judul “La Marseillaise”, sesuai dengan tempat para prajurit berasal.

(Wikipedia, 2016)

Sorotan kamera juga berlaku sama, close-up menyoroti wajah-wajah para punggawa Ayam Jantan. Melihat deretan wajah-wajah para pemain Perancis memang sarat pluralisme, mengingatkan pada semangat Liberte, Egalite, Fraternite. Sissoko, Amtiti, Pogba, tak ada beda dengan Giroud, Lloris, Griezman sekalipun kontras soal warna kulit. Tampak mereka direkat oleh seragam yang sama, seragam untuk mereka dari ras manapun dan bentuk rambut model terserah, yang penting nasionalisme dan patriotismenya tak setengah-setengah.

Saya sendiri cukup khidmat mendengarkan La Marseillaise. Ditambah para punggawa Perancis yang menyanyikannya penuh bangga dan bersemangat sekali. Seakan menegaskan semangat Napoleon kala menaklukkan beberap Negeri didaratan Eropa! Ditambah nada dan komposer lagu ini yang kalau diperhatikan agak kembaran dengan salah satu lagu nasional kita, Maju Tak Gentar! Coba diperhatikan lagi.

Sesi menyanyikan lagu kebangsaan usai. Laga akan segera dimulai!

Ronaldo & Lloris berdiri kaku sebagai Panglima tim didepan sang pengadil, Mark Cluttenburg (sekilas mirip nama pendiri Facebook), yang diapit 2 asistennya. Menunggu lumpatan koin yang dilemparkan ke udara oleh Cluttenburg untuk kembali jatuh di telapak tangannya, memberikan pilihan kepada dua captain ini, bola atau tempat! Sesi remeh-temeh ini usai. Portugal mengambil sisi kiri dan Perancis di sisi kanan dari arah layar kaca penonton.

Paska tiga singa (The Three Lions) tumbang, sisa-sisa pertarungan di Paris dan sekitarnya jadi kurang menarik perhatian. Saya memang agak menyukai Inggris, selain komposisi pemainnya, juga pertimbangan terhadap Sir Thomas Stamford Raffles dan George Orwell. Pun begitu kala Euro mencapai final. Sebagai bagian dari orang-orang yang kemput selera dan kehabisan opsi kala jagoannya tumbang, saya cenderung bias ke Negeri berinduk Paris itu.

Alasan sejarah. Saya termasuk orang yang mengagumi beberapa tokoh Perancis termasuk sejarah Negerinya; runtuhnya Bastille; tegaknya slogan liberte, egalite, fraternite; Cogito Ergo Sum-nya Rene; Orang-orang semacam Sartre, Foucault, Voltaire; dan tentu buah tangan monumental Eugene Delacroix (Liberty Leading The People, 1830) seorang romantisisme yang melukis penaklukkan Bastille dengan gambar seorang perempuan yang telanjang dada sembari mengibarkan bendera tiga warna ditengah-tengah kecamuk perang. Alasan mahal dan tak main-main tentunya, bukan ikut-ikutan pasar taruhan, apalagi sebatas ajakan istri tersayang. Duhhhh...

sumber: blog.themecloud.io
sumber: blog.themecloud.io
*

Peluit dari mulut Mark Cluttenberg dibunyikan, perang dimulai, Allez France! Saya mendukung Perancis, sekaligus menegaskan beda selera dengan Bapak yang tergila-gila sama CR7 & Luis Nani. Juga Epen & Dandy yang baru ketahuan mendukung Portugis, alasan dendam, karena Der Panzer jagoan keduanya ditumbangkan Perancis dengan sadis!

Laga berlangsung sengit sejak Fracas (bola yang dipakai menggantikan "Beau Jeu" sejak 16 besar) digulirkan. Komposisi Perancis sedikit berubah kali ini. Amtiti mengisi posisi Rami yang baru saja merayakan lebaran. Sementara posisi Kante sebagai gelandang pengangkut air, digantikan oleh Sissoko yang malam itu tampil cemerlang sehingga orang-orang tak menyesali keputusan Deshcamps sebagai juru racik yang cerdik.

10 menit awal Perancis tampil dominan. Beberapa kali percobaan menggempur jantung pertahanan yang dikawal Fonte cs. terbilang cukup membahayakan. Trisula, Payet, Griezman & Giroud kelihatan berapi-api. Sementara Portugal tampak dibekap gugup yang berlebihan. Passing dan umpan-umpan panjang yang dikirimkan ke CR7 & Nani, beberapa kali kandas ditengah jalan. Jangankan melewati Amtiti & Koscielny, menembus tiga jangkar (Pogba, Matuidi & Sissoko) pun membuat Sanchez cs. cukup kewalahan.

Tangisan Cristiano

Pertarungan berjalan sebagaimana partai final biasanya. Alot, sengit, keras, dan tentu bertensi tinggi. Terbukti pada menit ke 16 buah dari tensi tinggi itu terjadi. Ronaldo yang sedang membelakangi Evra untuk mengamankan Fracas, tiba-tiba mendapat tabrakan keras dari sisi kiri oleh Dimitri Payet, dengan posisi kuda-kuda yang tak siap menghindari tackle horror gelandang West Ham itu. Dus, lutut bagian kanan depan Payet menghujam keras di lutut kiri bagian luar Ronaldo. Peraih Ballon d'Or empat kali itu pun tumbang terkapar diatas rumput hijau Stade De France. Meringis sembari memeluk erat persendian lutut kirinya yang dihantam tanpa ampun oleh Payet!

Cluttenberg menghampiri pria 31 tahun yang sedang terkapar itu. Pun begitu dengan para pemain kedua tim; Nani, Pepe, Gomez diikuti Matudi dan Payet datang mengerubunginya. Payet tampak memohon maaf atas perbuatan dosanya barusan. Laga dihentikan sementara. Penonton serentak senyap, gemuruh seisi stadion yang sebelumnya bak huru-hara perang dunia II (dua) semacam dibius ringisan Ronaldo diatas bentangan lapangan hijau. Ronaldo tak percaya, juga seluruh penggemar setianya, mengapa hantu cedera terlalu pagi menghampirinya di pesta semegah ini! Kaca-kaca yang tertahan di matanya pecah, menjadi bulir-bulir air mata putus asa.

sumber: www.bola.com
sumber: www.bola.com
Dua orang petugas medis dari bench Portugal berlari menuju tempat sang mega bintang terkapar. Yang satu terlihat tua dan dingin dengan tabungan pengalaman yang cukup meyakinkan, yang satunya paruh baya berpostur gempal dengan duffle bag menggantung di lengan kanan, keduanya gapah-gopoh. Sekilas mirip bapak-bapak yang sedang mengejar bis terakhir untuk mudik. Sesampainya kedua petugas medis itu segera menangani kaki kiri Ronaldo. Sebuah spray disemburkan, semacam mantra modern, kemudian mengurut-ngurut persendian dibagian kiri lutut Ronaldo. Harapan seluruh dunia kini hinggap di pundak kedua tenaga medis itu.

Penonton tegang menyaksikan situasi ini. Termasuk bapak yang mencak-mencak terhadap Payet karena ulah durjananya itu. Doa, harap, keluh, kesah, juga gaduh, semuanya menyatu diatas langit, seragam menginginkan Ronaldo tetap melanjutkan laga final kali ini. Tentu, jika laga ini kehilangan Ronaldo terlalu pagi, sisa laga ini hanya menyisakan kutukan dan penyesalan dari seluruh pendukungnya diatas bumi. Selebihnya, Payet yang tertawa dalam hati dan tentu dikutuk Presiden Portugal!

Ronaldo digotong ke pinggir lapangan. Belum ada aba-aba atau kode dari tim medis untuk menyuruh menggantinya. Laga tetap dilanjutkan. Portugal tanpa sang kapten. Ditepi lapangan Ronaldo sedang berjuang melawan sakit dan keyakinannya sendiri. Penonton tentu tak menyaksikan laga yang sedang berlangsung tanpa ayah angkat Martinus itu. Melainkan mengintip-intip penuh penasaran di tepi lapangan; apakah Ronaldo akan melanjutkan perjuangan atau berhenti ditengah peperangan yang sedang berkecamuk!

*

Plong, legah. Doa seluruh pendukung Portugal diterima Sang Khalik! Ternyata Ronaldo masih bisa menlanjutkan laga, sekalipun kali ini lutut di bagian kirinya dilingkari perban, semacam mumi dati timur tengah, untuk meredakan sakit yang bermukim di persendian lutut kirinya. Laga tetap lanjut. Semua masih menantikan apakah tak ada masalah dengan Ronaldo paska tragedi Payet itu.

Bola masih dikuasai pasukan Deschamps. Saya tak memperhatikan lagi siapa yang menguasai pertandingan, melainkan memata-matai pergerakan Ronaldo sendiri. Beberapa menit berlalu, Ronaldo kini menguasai bola. Tapi tak lama menggiringnya, bola kemudian ia oper kembali ke Sanchez. Ronaldo kewalahan, tergapah-gopoh, kaki kirinya tak lagi kuat sesaat sebelum dinodai Payet. Laga masih tetap berlanjut. Doa masih terus menyerang langit, "ya Tuhan tolong stabilkan Ronaldo!". Kesempatan kedua, Ronaldo kembali mendapat umpan dari sisi kanan, ia melumpat mengontrol bola. Tapi sayang ketika ia jatuh menyentuh rumput hijau, bersamaan dengan itu pula segala keyakinan dan kemampuannya hilang ditelan tanah. Ronaldo terduduk, menangisi kenyataan, mengutuk persendian lutut kirinya, dan tentu mengutuk Payet yang memaksanya meninggalkan teater megah yang disediakan untuknya, terlalu pagi, saat belum ada apapun yang terjadi!

*

De Javu 1998

De Javu 2004 tentang Yunani memang tak terjadi, tapi De Javu Ronaldo botak pada 1998 di stadion yang sama, dan lawan yang sama, betul-betul berulang. Peristiwa final piala dunia 1998 di Stade De France yang mempertemukan Brazil vs Perancis, tentu masih hangat didalam ingatan kita. Luiz Nazario De Lima, Ronaldo yang kala itu sedang hot-hotnya sebagai anak muda berusia 21 tahun, tiba-tiba anti-klimaks saat berlaga di final. Entah cedera apa, yang pasti sihir-sihir fantastiknya sejak penyisihan hingga semifinal tiba-tiba lenyap. Semacam Samson Betawi yang kehilangan bulu keteknya, lantas menjadi tulalit. Brazil tumbang 3-0. Konon katanya Ronaldo sakit menjelang laga final tersebut. Namun tetap dipaksakan hingga tampak semacam bukan Ronaldo yang biasanya.

sumber: www.gettyimages.com
sumber: www.gettyimages.com
Kejadiannya sama, sekalipun beda dalam runut ceritanya. Kali ini Ronaldo bernama depan Cristiano yang jadi tumbalnya. Semua tahu, final kali ini semacam panggung yang disediakan khusus untuknya. Untuk pembuktian apakah tuah-nya di klub bisa tertular juga ke tanah kelahirannya? Atau ia akan bernasib sama dengan Leo, satu-satunya pemain yang bisa menandingi kebintangannya, yang baru saja terdakwa kasus penggelapan pajak, juga makan hati dan minta mundur diri dari tim Tango akibat kalah terus di "final"?

Payet, kerikil tajam yang merusak segala-galanya, terlalu pagi, saat waktu baru berumur 16 menit!

*

Dalam keadaan pasrah dan putus asa, Rolando melepas ban kapten yang melingkar dilengan kanannya. Ia memberi sinyal ke Santos yang berdiri cemas ditepi lapangan dengan gerakan tangan yang memintanya untuk segera digantikan! Orang-orang kaget! Termasuk bapak, juga saya sendiri! Ronaldo bahkan tak bisa mengangkat badannya sendiri, kaki kirinya tak bisa lagi diajak kompromi. Ia menangis, tersedan-sedan, semacam anak kecil yang apes karena es-krim kesayangannya dirampas bapaknya sendiri. Ia hanya menangis, hingga kupu-kupu kecil yang terbang didepan matanya seakan datang untuk menghiburnya. Sekaligus memantik pertanyaan dalam hati, ada pertanda alam apa ini? Kehancuran kah, atau kemenangan?

Sebelum digotong untuk kedua kalinya keluar lapangan, ia sempatkan memakaikan bak kapten ke lengan kanan Nani sembari membisikkan sepatah kata, yang entah apa. Ronaldo pun digotong, pendukung kecewa, putus asa menjadi-jadi. Hanya ada dua kata yang keluar dari mulut seluruh penonton bersamaan digotongnya sang Bintang yang redup ke bagian dalam Stade De France, "Selesai pertandingan", "GAME OVER!".

Mafia Sisilia

Sejak Ronaldo tumpas, laga kali ini seakan sudah menemukan kesimpulan dan jawaban yang terlalu pagi. Tak lagi menarik. Bapak mencak-mencak mengutuk Payet! Final tak lagi ideal, jadi teringat kasus GP2016 saat race di mugello yang tak lagi menarik paska Rossi tumbang ditengah-tengah balapan, saat ingin menujukkan pembuktian didepan jutaan pendukungnya. Kecuali untuk pendukung Marquez, kecuali untuk pendukung Perancis! Final serasa kecut. Gak ada Ronaldo, Gak Asik! Payet seketika dipuja, juga seketika menjelma sosok antagonis yang hina-dina dan terkutuk lahir batin! Prasangka pun tumbuh subur didalam dada, apa memang cedera Ronaldo terlalu pagi ini adalah skenario yang Deschamps inginkan? Sebuah strategi perang konvensional yang old sekali begini? Membunuh panglima perang adalah bentuk meng-gameover-kan kekuatan lawan perang? Mencederai Ronaldo adalah meremukkan Portugal?

Terserah, yang pasti bapak terlanjur naik pitam dengan kelakuan Payet yang ndak asik itu.

Sebuah strategi Mafia dari Sisilia sepertinya baru saja dipamerkan, dan itu berhasil!

Grazie, Payet!

*

Ronaldo dan Kebintangannya

Laga tetap dilanjutkan. Nani kini menjadi pemimpin pasukan di lapangan menggantikan Ronaldo. Saya yang sebelumnya mendukung Perancis, karena rasa iba terhadap tragedi Ronaldo, tiba-tiba tanpa "tedeng aling-aling" jadi berbalik mendukung Portugal. Aneh memang, tapi asli, sejak tangisan Ronaldo dan kedatangan kupu-kupu kecil itu, saya jadi suka Portugal. Menjadi sama selera dengan bapak, juga Epen, juga Dandy. Entah ada suatu apa, saya juga tak acuh.

Harus diakui, sisa-sisa laga tanpa Ronaldo adalah semacam ritus menghitung mundur Perancis mengangkat piala, menghitung mundur kehancuran Portugal. Semacam memutar kembali mesin waktu menuju kasus yang sama di De Dragao 2004 silam. Laga final yang tak lagi menarik, hanya gegara Ronaldo kandas!

Kebintangan Ronaldo memang magis, cedera yang menimpanya bahkan mampu menyulap suasana! Lebih dari cukup untuk meredupkan asa dan harapan pendukung fanatik maupun yang karbitan bin musiman semacam saya dan bapak, dan jutaan orang yang sama diseluruh dunia. Entah ada berapa orang yang tiba-tiba pasrah dengan jutaan rupiahnya yang terlanjur dijudikan atas dasar alasan Ronaldo dan segala kebintangannya. Atau berapa anak kecil yang kecewa padahal sudah menggadai jam tidur hanya untuk menyaksikan bintang idolanya menjadi ketakutan tersendiri untuk Deschamps dan pasukannya. Ronaldo seketika menyulap sepakbola menjadi matematika dalam satu malam dengan rumusnya sendiri, semua orang menyepakati rumus, "Portugal - Ronaldo = Kalah!". Padahal sepakbola bukan Matematika, padahal laga bahkan belum usai babak pertama. Tapi kenapa segala prasangka dan curiga tanpa dasar begitu mudah disepakati dan diaminkan? Ah, sepakbola. Ah, Ronaldo!

*

Jujur, saya tak lagi khidmat apalagi khusyuk menyaksikan sisa-sisa pertandingan yang ada. Usai babak pertama, Bapak & Epen menyeduh kopi untuk menghangatkan ruangan yang tak lagi cair paska Ronaldo cedera. Waktu berjalan serasa lambat. Saya ingin segera menjumpai akhir laga untuk mengetahui bahwa memang Portugal yang bakalan tumbang. Keyakinan semakin kuat ditambah serangan Perancis yang semakin lupa diri dan seakan-akan tinggal mencari menit yang tepat untuk menggetarkan jala gawang Rui Patricio yang laris akan ancaman itu. Perduli setan! Kalaupun Perancis menang, saya harus tetap banting tulang untuk tabungan membangun rumah, giat mencari nafkah buat peralatan dandanan istri, dan tetap fokus untuk program pembuatan anak pertama.

Karena laga yang tak lagi asik, kadang saya ingin tidur saja. Manalagi tugas mengantar istri ke kantor saat pagi datang. Tapi ndak masalah, nonton saja, toh ndak juga dibayar. Laga terus berlanjut, dalam suasa tak masyuk, Perancis menggempur tanpa henti sekalipun Portugal juga tak mau diam. Serang-menyerang. Kartu kuning yang laris. Payet yang ditarik keluar digantikan Coman. Semacam karma, paska menghantam Ronaldo hingga lumpuh, Payet semacam bermain penuh beban. Tak lagi Payet yang penuh kejutan sebagaimana dilaga penyisihan. Mungkin beban moril cederanya Ronaldo yang terlanjur membuatnya Baper, entahlah. Giroud digantikan Gignac. Dan diakhir babak ke-2 Gignac membuat saraf-saraf saya kembali tegang. Tendangan mendatarnya setelah mengelabui bek Portugal, meluncur bebas ke sisi kanan gawang Rui Patricio. Bola berjalan pelan menggiling rumput hijau, penonton terbelalak dalam gagu, Deschamps sedang menyiapkan selebrasi, "tiiingggg", bola hanya menyambar tiang kiri yang berdiri pasrah dibelakang Rui yang mati langkah. "Huuuuu", riuh penonton pecah. Santos legah, tak ada lost time berdarah semacam Final Euro 2000, wasit meniup peluit babak ke-2 usai, dan perang masih berlanjut di extra-time!

*

Ekstra Time, Ekstra Tegang

Babak tambahan dalam tempo 2x15 menit tak boleh gagal fokus apalagi sampai ketiduran, pekikku memantik diri sendiri.

Para pemain kedua Negara membentuk lingkaran didepan bench mereka masing-masing. Rehat ekstra-time memang hanya cepat, tak sampai 15 menit, sehingga pemain tak perlu ke ruang ganti. Saya tak memperhatikan apa yang terjadi dikumpulan berbentuk lingkaran para pemain Perancis. Saya lebih memperhatikan Portugal, karena CR7 tampak kelihatan lagi di permukaan. Kali ini dengan sepatu Nike tanpa gigi, dan memakai sepasang seragam training. Terlihat ia turut memberikan masukan kepada teman-temannya.

Laga akan segera dimulaikan lagi dan seluruh saraf pun ikut tegang lagi. Ekstra Time memang soal Ekstra Tegang!

15 menit pertama; Perancis menyerang bak kesetanan. Beberapa peluang dihasilkan. Sayang tak ada sebijipun gol yang tersarang. Saking tegangnya, 15 menit pertama terasa begitu cepat sampai-sampai tak ada momentum menarik yang terekam jelas didalam otak. Hanya tandukan Pepe dari umpan korner yang di blok Llloris yang berhasil lolos dari kepikunan.

Jedah, strategi di asah lagi, perang masih berlanjut hingga tetes keringat terakhir!

15 menit kedua; Perancis masih tetap kesetanan. Salah satunya yang paling berbahaya adalah tandukan Griezman yang hanya melambung beberapa inci saja diatas gawang Rui Patricio. Tipis sekali, sungguh! Portugal membalas, kali ini Nani yang berhasil menyisir sisi kanan Perancis, berlari bebaas menuju pedalaman vital pertahanan Perancis. Di dalam Kotak berdiri Eder yang baru dimasukkan, bersiap menunggu kiriman umpan dari kaki Nani. Nani mengangkat bola kedalam kotak 16, Lloris yang mengira bola kiriman Nani akan menuju Eder, ternyata berubah arah dan menuju sisi tengah bagian atas gawang Lloris. Sekilas ingatan di Korsel & Jepang pada 2002 silam, secepat kilat menyambar ingatan, kala umpan silang Ronaldinho ternyata menjadi gol ajaib yang menipu kiper veteran sekelas David Seaman. Gol ajaib bantuan angin. Untungnya kali ini Lloris tak se-slowly Seaman, sehingga bola umpan ajaib versi Nani kali ini berhasil ia tonjok dan melayang melewati ubun-ubun gawang. Aman, Ayam Jantan masih perawan!

Petaka Eder; Menit '109'

Tiba menit ke-109. Kali ini Eder, pemain yang baru masuk di masa ekstra time, mendapat sodoran bola dari Moutiho. Ia berlari menggiring bola dari sisi kanan Perancis, lolos dari hadangan Koscielny, terus menggiring Fracas hingga berada dalam posisi lepas, sekitaran 2-3 meter didepan kotak 16. Dua benteng Perancis, Amtiti dan Koscielny yang tersisa menjaga kotak 16 tak melakukan perlawanan sedikitpun terhadap Eder yang sedang bebas sendirian menghimpun kekuatan sebelum melepaskan petaka di ujung babak tambahan. Tanpa hitungan ketiga, diluar duga-duga Amtiti, Eder, dengan kaki kanannya, melepaskan tembakan keras yang berjalan datar dari luar kotak 16 ke sisi kanan gawang Lloris. Bola berjalan cepat, datar, hanya memantul dua kali menyentuh bumi, melewati Amtiti yang pasrah, sebelum kemudian menghujam keras ke jala gawang Lloris yang perawan sejak awal pertandingan. Golllll! Lloris jatuh dalam timing yang tak pas, jala terlanjur bergetar, Lloris masih tak percaya melihat Eder berlari melakukan selebrasi dengan berapi-api menuju kolega-koleganya di bench Portugal yang dibekukkan tegang selama 109 menit sebelumnya, tak jauh dari tempat ia dipecundangi. Bangun lloris, ini bukan mimpi!

sumber: www.bbc.com
sumber: www.bbc.com
Ruangan televisi pecah, bapak berjingkrak-jingkrak kegirangan, persis kelakukan bocah yang menang sendirian mendapatkan layang-layang yang jatuh di ladang tak bertuan. Kecewaannya terhadap Ronaldo dibalas tuntas oleh gol Eder di menit kritis. Epen dan Dandy berlaku sama, dendam Der Panzer terbalaskan, ekspresi pun tak tertahankan. Saya juga, berteriak-teriak "gooolllll" dalam beberapa kali ulangan hingga Ibu yang tak suka bola pun bangun terhentak dari kasur dan melebur dengan empat orang lelaki yang sedang girang karena Portugal mencetak gol!

Stade De France bergetar, gonjang-ganjing mengikuti sorak-sorai euforia yang barusan pecah dari ribuan pendukung Portugal! Bumi Perancis gagu dalam bisu, Eiffel serasa ingin roboh karena masih tak percaya. Para pendukung tuan rumah terbungkus diam sembari memelototi euforia para pendukung Portugal yang tampak berlangsung sangat lama dan penuh bahagia, mengiris-ngiris batin mereka tanpa meneteskan darah. Pogba tertangkap kamera sedang membentak-bentak Sissoko yang tak bertanggung jawab terhadap wilayahnya, awal petaka Eder mengoyak Perancis di rumahnya sendiri. Disamping bench Portugal yang sedang riang gembira, Deschamps tampak menyiapkan striker muda setan merah, Martial, sembari menginstrusikan para pasukan agar jangan dulu patah arang.

10 Menit & Pesan Voltaire Soal Waktu

Pertandingan yang masih menyisakan 10 menit, tampak semakin alot dan tegang. 10 menit yang menjadi relatif dalam dua tafsir berbeda; menjadi waktu yang sangat lama untuk Portugal dan menjadi sesuatu yang singkat dan sangat buru-buru untuk Perancis! 10 menit yang menjadi begitu berharga dan tak tak berharga sekalipun! Waktu, waktu, waktu, sesuatu yang kadang terabaikan, kini menjadi sesuatu yang penting diatas segala-galanya! 10 menit yang berjalan mundur, menyita segala ketegangan, saraf-saraf serasa membeku, karena waktu! Luar biasa ciptaan Tuhan yang satu ini, waktu!

Seketika jadi teringat ceramah Voltaire, filsuf berkebangsaan perancis sendiri, tentang betapa berharganya waktu;

"Taka ada yang lebih panjang dari waktu, karena ia abadi; tak ada yang lebih pendek darinya karena segala rencana kita selalu kekurangan waktu; tak ada yang lebih lamban daripada waktu bila kita sedang berbahagia; ia menghampar tanpa batas; tapi dalam ketidakterbatasannya kita menjadi bagian-bagian yang amat kecil; kita semua menyia-nyiakannya, tapi kita semua juga merindukannya ketika ia sudah lewat; tak ada yang kita bisa lakukan tanpanya; ia membuat kita melupakan semua hal yang sepele di masa lalu, dan ia mengabadikan semua hal yang hebat."

(Voltaire; Zadig; hal. 127; Oak, 2015)      

10 menit kian sosot menajdi pecahan-pecahan angka yang lebih kecil. Membawa segalanya menuju kenyataan baru, menuju sejarah baru. Waktu memang yang paling tahu, siapa yang patut berbahagia sebagai pemenang, dan siapa yang harus berasabar dalam duka kekalahan!

Angka sepuluh kini dipecah dua, menjadi angka lima yang kian berharga dan tak berharga sekalipun. Ditepi lapangan, Ronaldo yang angkat kaki terlalu cepat dilaga ini, kini berdiri tegang sembari memekikkan semangat kepada rekan-rekannya ditengah lapangan. Ronaldo kini mengambil posisi yang lebih tinggi dari Santos sebagai pelatih kepala, ya, Ronaldo menjadi motivator dadakan yang berjalan pincang di sisa-sisa waktu penghabisan. Sesekali ia menunjuk pergelangan tangannya sendiri, mengingatkan kepada para pejuang yang tersisa agar jangan sampai lengah disisa-sisa waktu yang kian kritis itu. Tentu, Ronaldo tak ingin pesta perayaan sejarah yang sudah didepan mata menjadi utopia yang sia-sia. Semuanya harus menjadi nyata!

Laga masih berlangsung, gempuran Perancis masih berkobar, sementara tabel waktu sengaja disembunyikan oleh pemegang hak siar. Dari pinggir lapangan, seorang asisten wasit mengangkat papan digital bertulis angka dua berwarna hijau. Oh No! Sejarah akan segera dituliskan kurang dari 120 detik ke depan! Sorotan kamera terus memelototi Ronaldo. Air mukanya sedang menahan sesuatu yang mengendap selama 12 tahun sejak tragedi De Dragao silam, cita-cita menggondol Trophy Henry Delaneuy, sedikit lagi menjadi kenyataan, tinggal sedikit lagi!

Akhirnya, prittttttttttttttt, priitttttttt, priitttttttttttt....!!! Waktu tambahan usai, dan waktu pula yang mendaulat Portugal sebagai pemenang lotre kali ini, Bung!

Mark Cluttenber, Pria asal Britania bertubuh ceking itu meniup peluit, pertanda kita baru saja menjadi saksi lahirnya sejarah baru di benua biru, di sebuah stadion bernama Stade De France yang pernah menampung tangis kekalahan Mario Zagallo dan pasukan samba di tahun 1998, di sebuah Negeri yang pertama kali mengagungkan derajat kemanusiaan dan kebebasan, Perancis!

Duarrr, para pemain dan tim official Portugal yang tak sabar menunggu peluit sejarah dibunyikan, tumpah ruah menyerbu lapangan, Eder menjadi sasaran pertama dikejar massa sebagai orang yang mencatatkan satu-satunya nama di papan skor dan sekaligus menjadi sejarah yang akan selalu hidup di dalam ingatan bahagia para pendukung Portugal diseantero dunia, juga mimpi buruk yang butuh waktu lama untuk hilang dari dalam kepala Deschamps dan pasukannya! Ronaldo tak kuasa membendung air mata bahagia yang tumpah dari sepasang bola matanya. Malam yang paripurna untuknya, malam bersejarah yang akan dikenang kelak hingga ia menjadi kakek-kakek. Lencana dipundaknya bertambah, kini ia memenangkan Trophy dambaan seluruh negeri di daratan kontinental Eropa! Sekaligus menegaskan bahwa ia bukan Messi yang menang banyak trophy di klub tapi tak pernah membanggakan bangsanya di pentas benua! Adios Messi! CR7 kini paripurna sebagai raja sepakbola dunia, lencananya kini bertmbah trophy Delaneuy yang mahal itu! Inilah malam yang dimenangkan bangsa Portugal, tapi panggung yang terlanjur diistimewakan untuk Ronaldo seorang!

Sementara pasukan Ayam Jantan tampak loyo tak berdaya diatas rumput Stade De France, memendam sekaligus perasaan kecewa, marah, malu dan tak percaya! Tentu pengalaman paling horror dan tak sedap rasa adalah menyaksikan orang-orang dari Negeri seberang berpesta-pora di rumah sendiri. Beberapa bangku stadion tiba-tiba kosong melompong ditinggal keloyor tanpa tenggang rasa para pendukung yang kecewa di rumah sendiri. Deschamps kehilangan kata-kata, biasanya ia memompa semangat para pemainnya, kini bahkan untuk menyemangati dirinya sendiri pun ia tak mampu, atau mungkin lupa. Matuidi tersedu-sedan masih tak percaya. Griezman tampak mengalami goncangan psikologis, ia masih terlalu muda untuk menderita dua kekalahan di partai puncak dalam selang waktu berdekatan; kekalahan bulan Mei di San Siro dan tentu kekalahan barusan di tanah kelahirannya sendiri! Dan dua-duanya menghadapi si penguasa panggung malam ini, Cristiano Ronaldo!

*

Tato Baru Trophy Henry Delaunay; PORTUGAL

Di lorong stadion, tampak trophy Henry Delaunay edisi ke-16 sedang tertidur pasrah menyaksikan seorang pandai besi mengukir tato baru dibagian dadanya. Tato baru yang hanya tediri dari 8 kata membentuk horizontal; PORTUGAL! Pita warna biru yang sebelumnya menggantung di kuping kirinya, kini digantikan pita berwarna hijau  yang bersanding pita merah tua disebelah kanannya. Trophy Henry Delaunay itu kini siap dengan dandanan barunya. Terlihat gagah terikat pita merah hijau dikuping kiri dan kanannya, dan tentu tatto baru bertulis, PORTUGAL!

Sebuah panggung kecil dibagian tribun VIP sedang disiapkan untuk penyerahan medali dan piala. Replika Trophy Henry raksasa yang sempat digotong ke pinggir lapangan, kini muncul ke permukaan lagi, menemui kembali tempatnya semula dipasung gagah menjulang kelangit malam kota Saint Denis.  

Panggung kecil sudah disiapkan. Ronaldo tampak girang, hukum yang selalu sama untuk setiap pemenang. Ia kini mengenakkan kembali jersey merah tua bernomor punggung tujuh, yang hanya merasakan keringat badan kekarnya selama 16 menit. Dibeberapa sudut, beberapa kali kamera menangkap aneka rupa air muka manusia. Seorang bocah masih diliputi air mata, hingga lukisan bendera Perancis di pipi kiri-kanannya menjadi redup mengandung lara. Matuidi masih tersedan-sedan menanggung duka kekalahan. Pogba yang tak lagi ceria. Griezman menatap kosong entah kearah mana, masih tak percaya dengan nasibnya. Dan para pendukung Portugal yang tak mau beranjak diposisi tempat mereka berdiri. Diselimuti euforia kemenangan, lautan manusia yang sedang berbahagia, siap memasang mata menjadi saksi sejarah secara langsung tanpa sekat layar kaca, bagaimana Ronaldo cs. menggangkat Trophy yang dirindukan keatas udara!

Detik-Detik Menuju Podium

Perancis mendapat giliran pertama sebagai urutan kedua untuk menaiki podium yang berada di sisi kanan VIP --yang sebelumnya didahului oleh Cluttenberg dan dua asistennya nuntuk menerima medali penghargaan dari UEFA. Para pemain menaiki anak tangga, dipimpin Griezman dibagian depan, terlebih dahulu melalui barisan pemain Portugal yang membentuk lorong sembari memberi jabatan dan pelukan atas nama sportifitas dan respect, kemudian melalui anak tangga yang dikerubungi para penonton yang berdiri hanya sejingkal dijalur para gladiator yang masih bau kekalahan itu berlalu. Matuidi masih menangis, mungkin karena cadangan air matanya yang berlebihan. Satu-persatu pemain dan seluruh bagian tim ayam jantan dengan wajah berduka, berdiri mengantri menunggu giliran dikalungkan medali perak dari tangan para pejabat teras UEFA. Ritus ini berlalu kaku dan sarat nasihat bijak soal sabar dan tabah tentang kekalahan dari kumpulan orang-orang besar yang berbaris menunggu di podium. Kekalahan, dimanapun, memang tak selalu menyenangkan, terlebih di tanah kelahiran sendiri. Tapi begitulah sepakbola dan segala hukumnya.

Giliran Portugal dipanggil pemandu acara untuk bersegera menuju podium yang menunggu tak sabar sang juara. Fernando Santos mendahului rombongan dengan scarf portugal berawarna merah melingkar di tangan kirinya. Quaresma tepat berada dibelakangnya, orang yang dua kali berandil besar dilaga kontra Kroasia dan Polandia. Santos tampak berjalan pelan, disela-sela menaiki anak tangga, ia sempatkan melayani jabatan tangan dari beberapa orang yang menyela untuk memberinya penghormatan. Pun begitu ketika diatas podium, ia dipeluk erat oleh seluruh pejabat teras UEFA, pelukan dan jabatan tangan untuk jerih payah otaknya sebagai juru taktik. Para pemain juga mendapat sambutan hangat, sambutan yang selalu sama untuk para jawara. Medali mulai dikalungkan satu persatu dileher para pemenang yang masih basah dengan keringat perjuangan. Santos mendapat lebih, selain dikalungkan medali, ia juga mendapat sebuah piagam berawana perak. Penonton mencari-cari, ada yang hilang dari deretan rombongan. Dimana sang pemilik panggung malam ini, Cristiano Ronaldo?

Ternyata Ronaldo mengambil posisi paling buntut dari deretan rombongan. Mungkin sengaja, agar menjadi perhatian khusus, atau Pahlawan memang harus belakangan? Ia tepat berada dibelakang Eder si pembawa petaka untuk tuan rumah. Seorang penonton yang berdiri disamping anak tangga mereka berlalu, tampak memberinya bendera Portugal berukuran (-+) satu setengah meter yang kemudain ia gantungkan dipundaknya. Sebuah gambaran kecil bagaimana ekspektasi rakyat Portugal digantungkan dipundaknya, dan kini segalanya sesuai cita-cita! Ia masih berjalan gapah-gopoh menaiki anak tangga. Ia berlajan pelan, melewati barisan manusia yang beruntung bisa memelototinya hanya dari jarak yang tak lebih dari 20 inci. Sebuah kesempatan langkah tentunya! Stade De france masih gegap gempita, menampung bahagia puluhan ribu pendukung Portugal, bahagia yang sedang mekar diatas tanah yang berduka. Ya, Portugal akan berpesta di Avenue du President tak jauh dari Arc de Triompe (sebuah benteng untuk menghormati jasa Napoleon Bonaparte), dintip diam-diam oleh menara Eiffel yang menanggung malu sendirian dari ketinggian 324 Meter di tepi sungai Seine, Paris!

Ke-23 pemain sudah berada di podium selebrasi, tinggal menunggu Sang Kapten yang berjalan pelan dalam gapah-gopohnya. Tentu, yang berhak menerima piala adalah sang kapten tim, bukan Eder si pencetak gol. Para pemain membentuk barisan tak beraturan diatas podium, saling merangkul dan berjingkrang-jingkrak diikuti para pendukunng setia mereka, sekilas Stade De France juga ikut melonjak-lonjak, durhaka! Eder sempat mengangkat Iphone dari lengan kirinya, ia mangajak para pasukan untuk ber-selfie-ria, para pemainpun kompak membelakangi kamera televisi dan berpaling ke arah kamera depan handphone yang berada didalam genggaman tangan Eder. Dus, Ronaldo akhirnya tiba. Seorang kakek berambut putih tanpa ragu menyodorkan piala dengan kedua tangannya yang disambut Ronaldo dengan penuh hati-hati. Ronaldo membawa trophy Henry delaunay generasi ke-14 sendirian, ia berjalan muncul dari belakang, melalui lorong yang disediakan oleh kolega-koleganya. Ia kini berada tepat dibagian paling depan podium dengan cita-cita yang kini berada digenggaman kedua tangannya.  

Mencapai hitungan ketiga, trophy pun diangkat dari tangan sang Jawara, menjulang ke udara, meninju langit malam penuh sejarah di utara kota Paris! Penantian setengah abad lebih bangsa Portugal, pecah di Stade De France, menjadi air mata bahagia, air mata bangga, air mata suka cita. Inilah air mata kemenangan! Sembari mengayun-ayunkan trophy berwarna perak itu, Ronaldo berteriak, berseru-seru mengulang-ulang satu kata yang sama, "Vamos! Vamos! Vamos!", yang bermakna ayo, ayo, ayo kita nikmati malam yang bersejarah ini. Seketika potongan pita berwarna-warni menyembur dari sisi podium, menghujani barisan para pemenang yang berjingkrak-jingkrak diatas podium. Gayung bersambut, letusan kembang api menyembur dari beberapa sisi stadium, menyemburat, pecah dan tumpah ruah menjadi keping-keping cahaya penuh warna, persis beling-beling dari pecahan piring kaca. Bau mercon dari sisa-saia letupan kembang api, menusuk lubang pernafasan manusia-manusai ditengah gegap gempita, orang-orang tak peduli, kemenangan dan perayaan kadang melupakan segala macam kepahitan!

Pesta yang paripurna!

*

Merci Eder, Felicitations Cristiano Ronaldo!

Sebuah malam yang panjang baru saja digelarkan, sebuah peristiwa sejarah yang sukar dilupakan, dan selalau membanggakan dalam bingkai kenangan. Sebuah perayaan mahal atas nama sepakbola, atas nama gengsi eropa! Portugal baru saja mengukir nama dideretan para jawara Eropa, Eropa bung! Bukan Amerika Latin, Asia, apalagi Afrika! Dan tentu, Ronaldo baru saja menambah lencana pialanya. Setelah La Decima dan La Undecima yang fenomenal itu, kini trophy Henry Delaunay yang mahal itu, telah resmi ia catutukan kedalam buku sejarahnya. Bukan mimpi apalagi utopia, ini semua nyata!

Memang di Sepakbola abad 21 ini, Ronaldo berdiri bak menara gading, menepuk dadanya sendiri, menjulang sebagai bintang yang paripurna diangkasa Sepakbola. Menutupi kebintangan Messi bersama tato dilengan kanan dan betis kirinya, beserta kasus penggelapan pajaknya, dan anti-klimaks disetiap laga puncak saat membawa nama bangsanya!

Akhirnya, MERCI Eder, berkat tendangan kurang ajarmu itu, Ronaldo berjumpa cita-citanya!

Selamat Portuguesa, Felicitations Cristiano Ronaldo!

 

(Bongkudai, 14 juli 2016)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun