10 tahun terakhir ini, komoditi life style menjamur di kota manado, peradaban yang menjanjikan yang dinilai banyak orang elegan. Rupanya tanpa kita sadari, fenomena bisnis yang kian mantap, telah mengikis ekosistem alam, bahkan tata ruang wilayah teluk manado. Reklamasi pantai yang kian "menggila" membuat dinamika kawasan perbelanjaan semakin tersohor, ditengah kerlap-kerlip lampu malam yang membuat hatiku tergores... ...Pukul 17.00. disaat mataku mulai menengadah dalam balutan keindahan kota Manado. Perlahan namun pasti, setiap keindahan sunset dibendung dengan lampu hias kota Manado yang semakin "vulgar". Mengedepankan riak riak kota yang menyajikan produk yang menyenangkan jiwa. Aku mengalihkan mataku ke meja kerja, yang setiap saat menemaniku, dalam menikmati sunset diruangan kecil di Puncak Bumi Beringin. Mencari secarik kertas putih yang belum ternoda dengan tulisan tangan. yang terkadang menggelembungkan kemarahan hari, dan kebencian jiwa. Pena tua itu kuraih dari tempat "duduknya" yang megah, meski kali ini tertutup debu-debu pasca terjadi erupsi, gunung Soputan dan gunung Lokon yang berada jauh di tanah Minahasa. Sejenak mulai memikirkan, kata-kata yang tepat untuk ku tuliskan dalam kesempurnaan kertas putih ini. " Teluk manado, bunaken dan matahariku..." "Teluk manado".... kian menyusut, terkikis oleh kecanggian mesin penenggelam batu, besi dan material lainnya. Wajahmu kian tercabik dengan kemegahan mall dan pusat perbelanjaan yang menyiratkan kekuasaan "kapitalisme modern", apakah engkau akan menjadi "virgin" seperti dulu lagi? tentunya tidak, kesempurnaanmu kian terhimpit, oleh penguasa-penguasa dunia, yang condong mengedepankan kekayaan materi daripada kekayaan alam. Aku tersentuh...... "Bunaken".... koran pagi kota ini menyajikan tulisan mengagetkan. Ribuan kubik sampah organik dan plastik tersalurkan dari setiap warga masyarakat dan akhirnya menumpuk di sana. Apakah ini tanda keeksotisanmu akan tertutup bahkan tenggelam dengan keelokan pesisir laut di raja ampat? dimana keajaibanmu selama ini? apakah engkau akan terus bertahan dengan kemolekanmu, keseksianmu, yang membuat seluruh manusia di dunia terkagum dan merintih nikmat karenamu? "Matahariku", posisi tenggelammu kulihat berubah sore ini. engkau lebih condong menyembunyikan diri diatas ranting-ranting kering tempat hinggap burung-burung tua pemakan cacing. Engkau bersembunyi disaat hati ini benar-benar merindukan sentuhan hangatmu, mendambakan cahaya sore yang menyilaukan perbuatan jahat, dan menidurkan kemarahan yang menggerogoti jiwa. Engkau sembunyi hari ini disaat aku merindukan perhatian titik-titik merah yang engkau punya, meskipun memiluhkan selaput-selaput kulit tanganku. Aku tau, besok kita pasti bertemu lagi dengan sejuta harapan, impian, kerinduan dan haru yang menggumpal dalam segalon air kasih sayang. "teluk manado, bunaken, dan matahariku", terima kasih telah mengilhami rasa dalam diriku.. rasa benci, kecewa, dan sakit dikarenakan perbuatan waktu yang menghantar kita pada perpisahan. Mungkin ini adalah secuil kerinduan, yang terbalut dalam perban waktu. Tapi aku harus menyadari, bahwa tanpaku, kalian tidak akan pernah merasa sendiri......
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H