Salwa hanya membisu, duduk di pusara, terdiam menatap dingin dalam suara angin malam. Siapa lagi yang akan menemaninya melewati dunia ini? Kekasihnya telah direnggut oleh kekuasaan dan kebengisan. Darah hanya dikorbankan untuk kepentingan sebagian kelompok borjuis. Tidak ada keadilan bagi yang benar dan lemah. Dia hanya bisa menangis dalam hati. Air mata sudah habis untuk dipikul sendiri olehnya.. Dia tidak akan sanggup hidup tanpa kekasihnya, Ali.. Yang sekarang terbujur kaku di pusaranya., sendiri dalam kegelapan….. **** Terik di Khurasan sangat menyengat kulit, menyilaukan pandangan sejauh mata memandang. Siang itu lebih terik dari sebelumnya, matahari yang terbiasa berada pada 40 derajat celcius, sekarang menjadi 45 derajat celcius. Sebagian ibu – ibu dan anaknya yang melewati pasar atau anak muda yang sekedar keluar masuk kedai minuman tidak kuat menahan paparan sinarnya. Debu berterbangan menusuk mata. Tapi tidak bagi dua insan ini, salwa dan ali.. Ali, seorang anak yatim, ibu dari seorang penjual gandum pasar Baighan Pemuda gagah berkulit kuning emas, cerdik dan pintar berdagang. Pemuda yang memiliki suara lantang membela kaum yang lemah. Seorang Pejuang dengan segala pemikirannnya yang arif. Sedang Salwa gadis berambut merah bata, bermata indah dengan bibir merah kecil yang membuatnya menjadi gadis tercantik di kota Nishapur. Apa yang membuat mereka sama? Mereka tumbuh di daerah dan tanah yang sama. Apa yang membuat mereka serasi? Pandangan mereka terhadap keadilan dan cara hidup penuh kasih.yang membuat mereka berbeda adalah status sosial ! ya, status sosial. Salwa seorang anak dari kaum borjuis, ayahnya adalah penguasa tanah khurasan, kekuatannya meliputi hingga India Selatan, sedang ibunya seorang pengasih yang memiliki jiwa halus seperti salma, menikah dengan suami yang arogan. Mereka tumbuh bersama di zaman dimana antara si miskin dan si kaya yang memiliki jurang, dimana penindasan hak – hak orang proletar di renggut. Ali dan salwa melewati itu semua, kehidupan yang gersang, tandus karena tidak ada cinta melingkupi negaranya, kotanya, tanahnya,bahkan nenek moyangnya sekalipun. Hidup diantara orang – orang yang penuh konspirasi saling menjatuhkan. Yang lantang menegakkan keadilan, tidak akan pernah hidup merasakan kedamaian. Seperti itulah mereka memperlakukan Ali, kekasihnya yang tercinta… “ ali, sudah berapa kali kubilang kepadamu, kau berteman dengan gadis itu sama saja kau mengantar nyawamu nak. Kau tidak lihat perlakuan ayahnya kepada kaum seperti kita? Aku harap kau hanya sekedar berteman, tidak ada rasa cinta. Itu saja sudah cukup membuat ibumu ini was – was setiap kau bertemu dengannya.” “ aku tidak melanggar peraturan, mencintai seorang gadis tidak ada larangan dalam undang – undang, tidak mencelakakannya, jadi ibu tidak perlu khawatir seperti itu.” “ anakku ali, cara pandangmu seperti itu tidak akan berlaku di kota ini, kau tidak sadar sudah berapa kali mereka melarangmu untuk bertemu denagn gadis itu? Sudah berapa kali kalian mengendap – endap dalam taman sore hari itu? Kau pikir ibumu ini buta? Apa kau akan berhenti ketika pedang prajurit penjilat itu menghampiri lehermu?” “ aku tidak tahu lagi harus bagaimana melarangmu nak. Satu – satunya pilihan kita harus keluar dari kota ini.” “ itu akan sia –sia, percuma memisahkan aku dengan salwa, dia kan mencariku sampai di ujung samudera inipun sekalian. Kami saling mencintai, tidakkah mereka mengerti? Walaupun aku seorang yang miskin, mereka tidak meragukan lagi kelihaianku dalam berdagang dan memanah. Kalau mereka tidak menyukaiku, kenapa mereka memanggil dan membutuhkanku ibu? Aku rasa mereka tahu hubunganku dengan salwa.” Ali meyakinkan ibunya. “ anakku ali, kau terlalu naif untuk hal ini. Mereka itu hanya memanfaatkan kemampuanmu nak, tapi tidak pernah menyetujui hubunganmu dengan gadis itu !” “ dia memiliki nama bu, bukan gadis itu. Dia salwa, gadis yang penyayang dan penuh kasih. Aku yakin bisa meluluhkan hati ayahnya, jadi kita akan tetap disini. Ibu tidak perlu khawatir akan hal ini.” “ ibu sudah lelah dengan pikiranmu itu. Cinta membuatmu buta untuk melihat kenyataan. Aku hanya berdo’a agar Tuhan segera membuka mata hatimu. Cintamu itu akan membawamu dalam kepahitan nak.”
Dia sama sekali tidak mendengar perkataan ibunya. Dia akan berusaha mati – matian untuk bersama salwa, karena dia yakin, cinta dan kasih sayang bisa mengalahkan segala bentuk diskriminasi, penindasan dan meruntuhkan jiwa – jiwa yang haus akan kekuasaan. Malam itu dia pun mengadu pada bulan, dalam gelap cahaya bintang, kekasihnya yang kini sedang lelap tertidur, dia pun berdendang:
O bulan, tidakkah ada yang menyamai rupa kekasihku, salwa? Bahkan kaupun kalah jaunhya jika kubandingkan dengannya. Jiwanya begitu lembut, bersinar melalui celah – celah pujian katanya. Apa yang ingin diambil dari mereka? Biar badai dan pedang – pedangnya sekalipun menusuk tenggorokanku, Tidak ada yang dapat mencegah cintaku kepada kekasih jiwaku salwa. Tubuhku mungkin akan remuk redam olah kebencian dan Pedang – pedang algojo mereka, Tapi cintaku akan abadi terdengar dalam pikiran dan ingatan mereka. O Tuhan, tidak ada satupun yang kekal di dunia ini selain cintaku dan keabadian jiwa sang penyair
Belum sempat selesai pujian untuk kekasihnya, dari semak terdengar suara gaduh rumput liar, “psst..psst..” suara bisikan memanggil. Ali mencermati siapa yang memanggil, dan dia melihat salwa, kekasihnya.. “ salwa, kenapa malam – malam begini kau keluar? Bagaimana bisa kau melewati ayah dan penjagamu?” ucap ali terheran sekaligus bahagia melihat wajah kekasihnya dalam sianara bulan. “ aku pura – pura tidur dan, aminah membantuku ali. Tenang saja, aku hanya sebentar karena ada sesuatu yang ingin kuberitahu.”
Dengan perlahan ali mendekati kekasihnya. Sebelum salwa bicara, dia cium tangan kekasihnya dia pandangi bingkai bunga lily yang tersemat diantara rambut kekasihnya yang harum itu.
“ apa yang ingin kau sampaikan salwa? Aku harap ini sebuah berita bagus.”
“Besok ayah dan para pengawalnya akan pergi bertugas ke perbatasan Haret, mereka akan menginap beberapa hari. Aku ingin kau datang ke taman yang biasa kita singgahi tepat pukul 7 malam.”
“Aku akan menunggumu ali. Kita harus menyusun rencana masa depan kita. Karena sedikit harapan untuk kita bersama di Nishapur ini. Kita akan keluar dari khurasan, bila perlu jauh dari pengawasan mereka. Bagaimana menurutmu?”
“ aku bisa saja ikut denganmu, lalu bagaiman dengan ibuku? Atau kita bawa saja, karena ibuku juga tidak ingin tinggal di kota yang penuh kebengisan ini.” “ bukannya aku tidak mau, tapi ibumu pasti melarang sayang, kau tahu kan dia tidak menyukaiku karena kekuasaan ayahku.” Kini salwa mendesah sedih.
“ aku akan meyakinkan, aku tenang saja salwa. Sekarang kau pulang, kita tidak ingin pertemuan ini terlalu mencolok.” Diciumnya tangan salwa yang emnit kemudia telah menghilang. Tanpa mereka sadari, sepasang mata mengawasi mereka. Ghafur, lelaki hasil dari perjodohan ayahnya salwa,. Hasil hubungan dari pihak – pihak saling menguntungkan dalam perdagangan. Ya, salwa hasil dari pertukaran kekuasaan. Dan ghafur tidak tinggal diam atas rencana mereka. ****
Malam itu sesuai perjanjian, jam 7 malam, dua insan yang sedang dimabuk cinta memilih takdir dan nasib mereka. Salwa menunggu cemas, kenapa kekasihnya belum juga muncul. akhirnya pria yang dicintanya datang, dan seperti biasa mengecup kedua tangan kekasihnya itu, begitu lama dan tidak biasanya.. Mereka tidak saling berhenti menatap, tersenyum dan saling mencurahkan rasa rindu yang terbelenggu.