Mohon tunggu...
Adolf Sinaga
Adolf Sinaga Mohon Tunggu... wiraswasta -

Katanya sih ADHD dan INTP.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

The Act of Killing: Menuntut Permintaan Maaf Terbuka Presiden

2 November 2012   00:39 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:06 4363
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_221199" align="aligncenter" width="588" caption="The Act of Killing/Admin (theactofkilling.com)"][/caption]

Kemarin malam, sekitar seratus orang ikut menonton pemutaran perdana (di Indonesia) dari film controversial besutan sutradara kelahiran Texas yang mempunyai nama belakang sama persis dengan salah satu fisikawan penemu bom atom. Film karya Joshua Oppenheimer ini sudah tayang perdana lebih dahulu di beberapa Negara eropa dan amerika utara termasuk di Festival Film Toronto (TIFF 2012) yang termasyur itu. Dan menuai banyak pujian dari kritikus film di antaranya: lima bintang dari The Guardian, pujian dari sutradara ternama seperti Werner Herzog dan Eroll Morris. Tanpa bermaksud mendahului media dalam negeri (setelah kejadian di Bogor kemarin menarik dilihat apakah media berani menulis ulasan yang independen dan objektif) ataupun memberikan spoiler berlebihan saya akan coba sedikit ulas gambaran besarnya dengan srimpilan pendapat pribadi.

Perlu diingat, selain mencoba menerka-nerka dari judul, tapi karena saya juga tahu judul film kerap menipu, saya pergi menonton film ini tanpa ekspetasi apapun. Saya bahkan tidak tahu sama sekali film ini akan menceritakan apa.

The Act of Killing dibuka dengan sebuah adegan yang cukup absurd dengan latar belakang Danau Toba dan sebuah air terjun (jika harus menebak: Air Terjun Sipiso-piso), di mana sejumlah wanita keluar dari patung ikan mas raksasa lalu menari dengan koreografi yang acak-acakan. Dapat saya pastikan absurditas tidak akan berhenti di sini, malah sebaliknya. Betul-betul di luar bayangan terliar saya bahwa yang saya saksikan ini adalah adegan pembuka sebuah film documenter sejarah.

Film yang banyak mengambil lokasi di Medan dan Sumatera Utara ini memang menyoroti perjalanan hidup seorang preman senior asal Medan, Anwar Congo. Di film ini Anwar bercerita tentang perjalanan hidupnya dari seorang preman bioskop ecek-ecek lalu menjadi seorang algojo bagi pemerintah lalu sekarang menjadi figur yang dihormati bahkan dianggap sebagai pahlawan bagi sebagian orang.

Joshua menantang (atau meminta) Anwar untuk menceritakan kembali momen-momen pembantaian dan sekitarnya dengan caranya sendiri. Anwar memilih dengan cara yang sudah ia pahami betul. Dengan film. Atau mengutip kata-kata Anwar sendiri: “sebuah film keluarga”. Jadi pada dasarnya, The Act of Killing adalah sebuah film dalam film. Film yang ditulis dan dibintangi sendiri oleh Anwar Congo di dalam sebuah film documenter mengisahkan kehidupan Anwar Congo. Luar biasa beruntung dan jenius untuk dapat menangkap kesempatan ini, menurut seseorang yang ikut menyaksikan film ini di Twitter. Kadang-kadang batas antara fiksi dan non-fiksi sangatlah tipis. Tapi justru di ketipisan garis inilah di mana terbentang –salah satu- kekuatan film ini. Seperti ketika Anwar mengaku mendapatkan inspirasi dalam metode membunuh dari film-film mafia dan gangster Hollywood, selain juga mendapatkan citra rasa berpakaian dan berpenampilan yang unik. Pengakuan ini, tidak hanya ia reka ulang dalam sebuah adegan berasa non-fiksi namun juga terdapat beberapa adegannya dengan rasa fiksi.

Proses editing juga sangat cerdik. Adi Zulkadry, yang pada awalnya dipertontonkan cukup intelek, di tengah-tengah film akan menginisiasi sebuah percakapan –dengan Anwar- tentang dokter syaraf dan psikiater yang mengocok perut dan otak saya. Sebuah adegan yang luar biasa lucu dan –mungkin karena- sangat natural. Salah satu adegan terbaik dalam film berjenis apapun yang pernah saya tonton. Tak mungkin terlupakan.

Di dalam kelucuan-kelucuan, beberapa adegan-adegan absurd yang kadang mengarah ke menjijikan dan karakter-karakter unik di film ini, tersembunyi sebuah rahasia pedas yang sebenarnya bukanlah sebuah rahasia kalau kita semua mau berhenti merem. Bagaimana regim Soeharto memanfaatkan momen 30 September 1965 untuk menumbuhkan sebuah agama baru, Agama Anti-PKI. Lengkap dengan kitab, hari besar dan situs sucinya juga diajarkan di sekolah-sekolah dengan proporsi yang sama dengan pelajaran Agama lainnya.

Sebuah agama di mana orang-orang seperti Adi Zulkadry mendapatkan biaya untuk keperluan/keinginan istri dan anaknya yang metropolitan. Sebuah adegan di mana Adi dan anak perempuannya sedang dipijat di sebuah pusat kecantikan dengan jitu memotret ini. Sebuah agama di mana orang-orang seperti Anwar disanjung-sanjung oleh banyak orang sebagai pahlawan “yang mengembangkan suatu system yang lebih efesien dalam menumpas komunis, yaitu sebuah system yang manusiawi, kurang sadis, dan tidak menggunakan kekerasan berlebihan. Tapi ada juga yang langsung disikat habis tanpa disiksa dahulu.” Persis seperti yang diungkapkan seorang pembawa acara TVRI dalam film ini.

[caption id="" align="alignnone" width="590" caption="TVRI"]

TVRI
TVRI
[/caption]

Orang-orang seperti Adi banyak sekali bertebaran di nusantara. Orang-orang yang mendapatkan kekuasaan –dan harta, dari perannya dalam sebuah pembantaian masal paling mengerikan sepanjang abad 20. Dan mengutip dari pernyataan Adi sendiri ketika ditanya tentang kejahatan-kejahatannya: “definisi-definisi kejahatan perang adalah buatan orang yang menang. Saya pemenang. Saya membuat definisi saya sendiri…. Besok akan ada konvensi Jakarta untuk tandingan konvensi Jenewa.” Orang-orang ini tidak akan pernah mengakui kesalahan dan dosanya jika petinggi-petinggi Negara ini, khususnya Presiden dan Panglima TNI, tidak meminta maaf secara terbuka dan mengembalikan semua hak-hak keturunan PKI.

Jika orang seperti Adi ada banyak, tidak demikian orang seperti Anwar Congo. Jika kebanyakan pembantai, pemburu dan penjagal PKI bertindak mirip tindakan pasukan Amerika di Irag, Afghanistan, dan Guantanamo yang kerap menyiksa secara psikis dan fisik tahanannya karena adanya dorongan dari atasan atau figur kuasa, Anwar Congo, dari kesan yang saya dapat, dengan hati-hati walau premature, saya anggap adalah seorang psikopat. Apa yang Adi dan para penjagal bahkan mungkin kita sendiri lakukan dahulu adalah sesuatu yang dijelaskan secara detail dan holistic di bukunya Phillip Zimbardo, Lucifer Effect. Sebuah buku yang berisi hasil dan penjabaran dari beberapa penelitian yang dilakukan oleh sang psikolog social terinspirasi dari eksperimen Milgram yang terkenal itu.

Pada mulanya saya pun berpendapat demikian tentang Anwar. Tetapi ada beberapa adegan yang dengan sangat ekstrim mengekspos ke-psikopatan Anwar. Salah satunya adalah ketika ia mengatakan bahwa hati nuraninyalah yang menyuruhnya membunuh dan menyiksa korban-korbannya. Lagi, Anwar membuat sebuah adegan dalam filmnya di mana seorang korbannya berterima kasih untuk telah dibunuh dan ia dapat masuk surga karenanya. Ketika sebagian penonton menunjukkan sedikit tersentuh (nampaknya termasuk Joshua) akan tampang menyesal Anwar sambil menangis di akhir-akhir cerita, saya (dan pacar saya) menganggap kalau itu hanyalah sebuah façade. Lagipula, memang inilah yang psikopat lakukan, ber-kamaleon agar dapat diterima oleh masyarakat. Tapi kesimpulan ini sangatlah premature dan sangat tidak bertanggung jawab bagi saya untuk memaksakannya.

Dan ada kesimpulan tandingan yang seimbang. Bahwa film ini justru menjadi sebuah perjalanan emosi dan spiritual yang kental bagi Anwar. Membawa jiwanya menelusuri masa lalu, mengunjungi korban-korban dan teman-teman lamanya. Sampai pada suatu detik, setelah secara gradual digaruk-garuk, dinding-dinding pelapis nuraninya bocor juga. Sehingga menyebabkan segala macam perasaan yang dimiliki manusia normal berebutan untuk keluar. Pada mulanya penyesalan, lalu kesedihan mendalam dan perasaan jijik akan diri sendiri mengemuka.

Akhir-akhirnya, penonton sendirilah yang mempunyai hak dalam mengambil kesimpulan sendiri-sendiri. Bagaimanakah mereka melihat PKI dan keturunannya, Soeharto dan kroninya, sejarah Indonesia, tokoh-tokoh seperti Yapto, Jusuf Kalla, Gub. Sumut dll, dan pion-pion seperti Anwar, Adi dan Herman, setelah menonton film ini. Satu hal yang pasti, film yang credit akhirnya disaksikan sampai habis oleh semua penonton ini sangat layak dan harus ditonton terutama oleh generasi-generasi yang tumbuh kembang di orde baru, seperti saya, untuk lebih membuka mata dan mulai mengubah stigma yang telah merasuk ke jiwa bangsa Indonesia. Setidaknya dari orang-orang terdekat dahulu.

Catatan:

- menurut info film ini akan segera diedarkan luas setelah beberapa lama hanya untuk kalangan terbatas.

- ada dua versi durasi film: 115 menit dan 160 menit (kalo gak salah dengar). Yang saya tonton yang 160 menit.

- sebagian besar kru dan pendukung dari film ini ditampilkan anonim dalam ending credits untuk menjaga keselamatannya. Errr..what about me??!!

-bagi yang sudah nonton filmnya Mel Gibson dan Sigourney Weaver (bener ga yah?), The Year of Living Dangerously, baiknya nonton kembali sebelum atau sesudah nonton The Act of Killing. Pas momennya. Bagi yang belum: harus nonton!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun