Mohon tunggu...
Adolf Sinaga
Adolf Sinaga Mohon Tunggu... wiraswasta -

Katanya sih ADHD dan INTP.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Budaya kekerasan meningkat. Benarkah?

8 Februari 2012   15:29 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:54 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kalau kita lihat di berita-berita atau di pelbagai talk show akhir-akhir ini banyak orang yang mengambil kesimpulan yang agak miris. Bahwa banyak elemen bangsa ini yang mengambil jalan kekerasan sebagai alternative jalan keluar, atau bahkan satu-satunya jalan keluar; tingkat criminal nampaknya meningkat; perangkat hukum tidak bekerja seperti mestinya. Singkat kata bangsa kita menjadi bangsa yang liar dan penuh kekerasan. Yah, setidaknya kesimpulan-kesimpulan tersebut yang secara langsung atau tidak yang coba ditawarkan oleh media.

Saya tidak bermaksud menampik kesimpulan yang terlalu dini diatas ataupun mengesampingkan fakta-fakta yang ada. Hanya mencoba melihatnya dari sudut pandang yang lain. Dari sisi sejarah, garis evolusi manusia dan peradaban secara holistik dan antropologi. Tapi tentunya dengan uraian yang sederhana dan jauh dari ilmiah.

Dulu, ketika nenek moyang kita masih menjalani kehidupan berburu, mereka tidak mempunyai hukum atau bahkan tempat tinggal yang pasti. Norma-norma yang berlaku pun hampir tidak ada. Dan menurut beberapa penelitian saling bunuh membunuh sesama manusia itu biasa terjadi. Kanibalisme pun bukan sesuatu yang aneh. Alasannya pasti mudah kalau bukan masalah perut maka ada masalah kelamin. Ketika itu manusia sebagai species hanya tahu dua hal jika mendapat ancaman: Fight and Flight. Belum ada opsi negosiasi, lobi, atau apapun namanya. Sebagai info, menurut peneliti jika pada abad 20 kemarin kita (semua umat manusia) masih memakai cara hidup yang sama dengan nenek moyang kita di 15000-25000 tahun yang lampau maka jumlah kematian akibat perang, tindak criminal dan genosida bisa mencapai angka 2 Milyar. Bumi dan langit jika dibandingkan dengan angka sebenarnya yaitu 100 Juta.

Lalu kita loncat lagi ke jaman kerajaan-kerajaan kuno. Sepanjang sejarah Nusantara ada ratusan dinasti dan kerajaan. Ketika ini pasti sudah ada hukum atau setidaknya norma yang berlaku di masyarakat, walau mungkin sederhana. Namun justru hukum dan norma yang berada di masyarakat malah mempromosikan kekerasan. Dari pelbagai tulisan kita tahu kalau hukuman mati karena hal-hal sepele seperti menghina raja, mencuri beras, sampai-sampai sekedar menulis nama seseorang di lontar pun bisa dihukum mati (dianggap santet). Hukuman siksa juga merupakan yang biasa. Salah satu pengkhianat di jaman Majapahit bahkan mati dicincang-cincang. Perbudakan, penyiksaan binatang demi hiburan juga bukan sesuatu yang aneh di jaman ini. Bayangkan jika hukum dan pemerintah Indonesia masa kini mengadopsi hal diatas. Silahkan menerka-nerka sendiri apa jadinya dengan tatanan di masyarakat kita.

Nah setelah itu datanglah agama-agama samawi yang dari dulu berteriak tentang superioritas moral. Apa mereka betul-betul mengubah tatanan kita? Pada akhirnya dan dengan proses yang panjang sekali mungkin bisa dibilang ya. Ya yang agak halus kalo menurut saya. Tapi kita tahu dari sejarah kalau proses penyebaran baik Islam dan Kristen di dunia Nusantara ini tidak melulu penuh pelangi dan kupu-kupu. Darah, kebebasan dan nyawa sekalipun ikut terampok demi menyebarnya agama. Di cerita-cerita dalam kedua kitab suci agama-agama ini juga sering tersurat hal-hal yang saya yakin jika diterapkan dalam masa kini pasti DPR sudah di demo jutaan orang.

Di jaman orde lama dan orde baru bangsa ini juga sudah terbiasa dengan kekerasan yang berlebihan. Ada di catatan sejarah kelam kita, adapula yang diwariskan mulut ke mulut. Sepertinya kedua periode ini masih segar di ingatan kita semua. Tidak perlu rasanya dijelaskan lebih lanjut.

Saya tentu tidak menampikan bahwa ada jaman dan daerah dimana kita sebagai bangsa –atau dalam lingkup yang lebih kecil, komunitas- bisa hidup dengan damai, saling mengasihi, peduli dengan sesame seperti terhadap diri sendiri. Namun potret bangsa ini (bahkan seluruh dunia) dari sejarah penuh dengan darah. Justru di era sekarang kita sebagai bangsa (atau penghuni Bumi) sudah mempunyai kesadaran dan nurani yang jauh lebih superior ketimbang pendahulu kita. Secara pribadi saya miris melihat kekerasan yang kerap terjadi juga tidak memaklumkan. Tapi menurut saya, media dan pada akhirnya masyarakat terlalu meledakkan kekerasan-kekerasan yang terjadi. Jadi terlalu focus ke kejadian-kejadian yang actual dan masa kini saja. Jadi sulit melihat ke belakang dan sejarah kalau kita sebagai bangsa (atau species) telah melalui suatu transformasi yang sukses. Suatu perubahan tatanan social dan kebangkitan nurani individu menuju ke suatu hal yang lebih baik. Walaupun di satu sisi saya juga senang melihat banyak (mayoritas bahkan) yang miris melihat kekerasan yang terjadi di bangsa ini akhir-akhir ini.

Pertanyaannya adalah apa sih yang menjadi faktor-faktor menurunnya tingkat kekerasan dari jaman ke jaman dan meningkatnya kesadaran kolektif kita. Jika pertanyaan tersebut dapat terjawab maka masa depan bangsa ini pasti lebih penuh pelangi dan kupu-kupu. Ada beberapa teori-teori ilmiah tentang hal ini, tapi saya rasa pertanyaan ini perlu dijawab sendiri oleh masing-masing individu.

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun