Tulisan ini sebetulnya sudah ingin saya ketik semenjak siang tadi. Sengaja saya tunda karena jika saya buat siang tadi isinya hanya sumpah serapah sampah. Mungkin kalau anda tahu penyebabnya anda juga akan merasakan silabel go dan blok berjuang keluar dari mulut anda.
“Bisa kita rasakan sesuatu yang rasanya pornografi. Misalnya seperti masyarakat Bali yang menggunakan kemben, walaupun menggunakan pakaian seperti itu, tidak terasa aura pornografinya. Apalagi penari-penarinya, dengan gerakan tarian yang betul-betul artistik, itu tidak eksotik,” itulah penjelasan spektakuler ala Suryadharma Ali, yang katanya Menteri Agama, mengenai dispensasi khusus tentang Bali dan Papua dalam perumusan criteria pornografi.
Saya tidak ingin membahas jauh tentang dampak, cara penanggulangan atau apapun-yang-lagi-panas-tentang pornografi. Setidaknya tidak untuk saat ini. Cuman ingin menyampaikan keprihatinan saya atas terlalu jauhnya jarak sinaps-sinaps di otak si-katanya menteri agama ini. Ohhh, pak Surrr…. Mengertikah anda apa arti dari eksotik? Arti eksotik sebetulnya sederhana sekali. BERBEDA. Lebih lanjut, perbedaan yang memiliki daya tarik yang khas dan seringkali merujuk ke kultur yang belum dipahami dalam. Yang artistic bisa jadi eksotis bisa jadi tidak. Yang eksotis bisa jadi ada unsur pornografi bisa jadi tidak. Kata ini memang sering salah digunakan baik di tingkat pergaulan sampai ke tingkat karya tulis ilmiah.Tapi saya salut kepada pak Surrr, karena pak Surr membawa kesalahan penggunaan kata eksotik ke tingkatan yang belum pernah saya temui sebelumnya. Biasanya kesalahan penggunaan kata ini hanya minor dan tidak sampai berubah arti dan makna. Contoh: masyarakat Barat memang melihat kebudayaan Bali, Jawa, Batak dsb sebagai sesuatu yang eksotis. Tapi kalau saya yang dibesarkan oleh budaya dan nafas Batak seharusnya tidak dapat menggunakan kata ini ketika berusaha menjelaskan impresi saya terhadap kebudayaan yang sudah saya kenal semenjak di ayunan tapi kata tersebut dapat saya gunakan ketika memperkenalkan kebudayaan saya ke orang yang betul-betul asing. Lagi-lagi ini hanya kesalahan minor, dan masih dapat diampuni. Lagipula kakeknya kata ini, yang berasal dari Greco-Roman, saja mempunyai arti diluar. Sama sekali tidak ada juntrungannya dengan pornografi.Lucunya lagi kementerian kita yang lain justru mengkampanyekan betapa eksotisnya negeri kita ini. Dari flora dan faunanya sampai ke makanannya.
Lalu nampaknya Menteri kita/kalian ini adalah penggemar program Dunia Lain. Dia berniat menegakkan aturan anti pornografi salah satunya dengan cara melihat auranya. MADNEESSS!!! Kalau mendengar si Para-Psikolog ngomong tentang aura saja sudah tertawa-tawa apalagi mendengar usaha pak Surrr yang muktahir ini. Mungkin saja betul kalau si Suryadharma ini bisa melihat aura pornografi tapi masak kita semua rela penegakan hukum Negara ini hanya berdasar mata batin pak Surr saja? Atau memang si Suryadharma ini jadi Menteri Agama karena faktor mata batin spiritualnya?
Lalu ia menutupnya dengan sebuah pernyataan yang lebih spektakuler lagi :”Saya yakin ada tolok ukur rasa yang universal (dalam mana yang pornografi dan mana yang tidak),”. Mungkin saja ternyata ada tolak ukur pornografi yang universal (sangat saya ragukan). Tapi pertanyaanya adalah apa betul siap dan berani mengikuti tolak ukur universal? Atau ikut kategorisasi pornografi mata batin anda? Atau siap melihat kasus per kasus berdasarkan 1001 variabel yang mungkin muncul?
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H