Senang rasanya ketika saya menonton siaran ulang Mata Najwa episode Membaca Penguasa. Di episode tersebut, seorang grafolog diundang sebagai narasumber. Apakah ini artinya grafologi sudah mulai diperhitungkan sebagai ilmu serius di negeri ini?
Di negara-negara barat grafologi sudah lama memberikan bantuan kepada penegak hukum, psikiater, konsultan SDM, dan beberapa bidang lainnya. Namun, patut digarisbawahi bahwa grafologi bukanlah sains pasti, bahkan banyak pihak menganggap grafologi bukanlah sains sama sekali karena lemahnya bukti-bukti konsisten empiris. Menurut saya, seburuk-buruknya, grafologi adalah quasi-sains yang didasarkan pada studi-studi serius dan dengan disiplin ilmiah seperti ilmu-ilmu lainnya.
Deborah Dewi yang menjadi narasumber di Mata Najwa, sebetulnya sudah sangat baik dalam menganalisa tulisan tangan SBY dan Bu Ani. Tapi, ada beberapa catatan yang perlu saya tambahkan.
Yang pertama adalah grafologi sulit untuk menjelaskan karakter seseorang (atau menjelaskan apapun) jika hanya diberikan beberapa kalimat tulisan tangan sebagai bahan analisa. Untuk mendapatkan baseline yang jitu saja memerlukan beberapa paragraf. Analisa grafologi yang mendalam, setidak-tidaknya memerlukan dua lembar tulisan tangan yang ditulis di kertas A4 polos.
Yang kedua adalah bukan hanya dari panjang (kuantitas) tulisan tapi dari segi konteks isi tulisan juga harus dilihat. Jika ingin melihat karakter dan motivasi seorang pelamar kerja di perusahaan asuransi tentunya grafolog tidak bisa menganalisa dari tulisan sang pelamar tentang tumbuh-tumbuhan. Ya bisa juga sih, tapi akan cenderung tidak relevan. Jadi, panjang tulisan akan menunjukkan konsistensi dan memperdalam analisa, konteks tulisan akan membantu relevansi pada suatu tujuan analisa tertentu.
Di luar kritik-kritik di atas, Deborah Dewi sudah berhasil dengan jelas memperkenalkan ilmu ini ke masyarakat luas. Analisanya ke tulisan Bu Ani dan SBY juga saya setujui semua walau masih ada beberapa yang sebetulnya bisa diangkat. Hal ini mudah dimaklumi karena durasi yang diberikan kepadanya tentu tidak banyak dan mungkin ia sedikit berhati-hati dalam menganalisa tulisan tangan kepala negara di televisi nasional. Maka izinkan saya, bukan grafolog tapi hanya penggemar, mencoba menambahkan sependek yang saya kuasai.
Tulisan Tangan SBY
Lagi-lagi, karena bahan yang hanya sedikit maka sangat sulit membaca secara makro tulisan tangan SBY dan beberapa yang bisa dibaca sudah diterangkan oleh Deborah Dewi. Hanya dua yang luput, yaitu kemiringan tulisan ke kanan bukan hanya berarti orang tersebut lebih banyak menggunakan perasaan tapi juga bisa menunjukkan orang tersebut cenderung ekstrovert, suka bertemu orang-orang baru dan menikmati interaksi dengan orang banyak. Dan tulisan tangan SBY cenderung mojok ke kanan, (tidak menyisakan banyak margin di kanan) bisa berarti bahwa dia adalah orang yang takut dengan ketidakpastian dan masa depan.
Secara mikro, ada beberapa yang mencolok tapi belum disinggung oleh Deborah Dewi. Yang paling mencolok tentunya adalah bagaimana SBY menitikan “i”, jauh ke kanan garis awal “i”. Ini menggambarkan bahwa ia adalah orang yang tidak sabaran dan ingin cepat bertindak. Tentunya ini berlawanan dengan persepsi orang kebanyakan yang menganggap SBY itu lelet bin lambat dalam mengambil keputusan. Tetapi, seperti yang disampaikan oleh Najwa, selalu ada dua sisi mata uang dalam karakter seseorang. Dan, karakter ketidaksabaran SBY muncul ketika beberapa kasus-kasus yang menerpa pribadinya.
Selanjutnya tulisan huruf “t” SBY menunjukkan bahwa dia adalah orang yang mempunyai determinasi dan kemauan kuat. Tapi juga sekaligus keras kepala dan susah mengiklaskan sesuatu hal. Selain itu, huruf “t” SBY juga lagi-lagi menggambarkan bahwa dia adalah orang yang tidak sabar. Huruf “s”-nya SBY juga menarik untuk ditelaah karena huruf “s” cukup banyak terlihat di tulisan tersebut dan tidak konsisten. Tapi, karena saya masih belum yakin dan mungkin juga karena belum ahli maka perbedaan huruf “s” pada kata “studi” (lebih besar) saya anggap sebagai penekanan terhadap arti kata tersebut dalam konteksnya.
Yang terakhir, yang bisa dilihat dari tulisan SBY yang super pendek ini, adalah bagaimana caranya ia memulai suatu kata. Dari caranya memulai suatu kata, SBY terlihat seperti orang yang mudah kesal, tersinggung, bahkan marah jika kehilangan muka, disindir, diganggu, atau disuruh mengerjakan sesuatu hal yang sebenarnya tidak dia inginkan. Untuk analisa ini sebetulnya lebih baik jika kita melihat konteks. Dan walaupun konteksnya kurang sesuai, cara SBY memulai kata cukup konsisten untuk disimpulkan (hampir semua kata dimulai dari baseline mengarah ke atas).
Tulisan Bu Ani
[caption id="attachment_292906" align="aligncenter" width="300" caption="Tulisan Bu Ani"]
Tulisan Bu Ani sedikit lebih sulit dianalisa ketimbang SBY. Hal ini dikarenakan, tulisan lepas sejatinya lebih memendam perasaan daripada tulisan sambung, setidak-tidaknya itu yang saya alami. Tapi, marilah, kita coba saja telaah.
Secara umum, saya setuju sepenuhnya dengan Deborah Dewi bahwa Bu Ani adalah orang yang jeli dan logis yang terlihat dari spasi, kemiringan tulisan dan pola bagian tengah huruf-hurufnya. Dari margin kiri dan kanan juga terlihat kalau Bu Ani adalah orang yang ekonomis dalam batas wajar (bukan pelit). Jika hanya dilihat dari makro saja, sepertinya Bu Ani lebih cocok jadi presiden ketimbang suaminya.
Dari cara Bu Ani menulis bagian bawah huruf “y”, “g” dan “j” terlihat bahwa ia adalah orang yang proporsional di kehidupan pribadinya, tidak berat sebelah dan mampu menjaga harmoni. Sedangkan dari cara Bu Ani menuliskan bagian atas huruf “t”, “l” dan “h” terungkap bahwa ia adalah orang yang berbangga diri dengan sedikit kecenderungan ke arah angkuh atau merasa superior.
Yang paling menarik bagi para pembaca mungkin adalah bagaimana Bu Ani menuliskan huruf “i”. Jika SBY secara ekstrim menitikkan “i” jauh ke kanan, Bu Ani malah menitikkan “i” dengan terukur dan tepat. Masalah “i” Bu Ani bukan pada peletakan titik tapi bagaimana caranya ia menitikkan “i”. Bu Ani menitikkan “i” dengan sedikit memberikan aksen garis atau dengan gaya menyabet seperti ketika ingin menulis tanda kutip(‘). Hal ini berarti bahwa Bu Ani mudah terganggu dengan kesalahan-kesalahan minor, mudah habis kesabaran untuk orang-orang yang “gagal paham” atau yang tidak bisa belajar dari kesalahan. Bu Ani juga cenderung berlebihan dalam mengritisi dirinya sendiri jika ia berbuat kesalahan.
Dari kedua tulisan tangan, ada beberapa analisa lagi yang sebetulnya bisa saya angkat, tetapi karena minimnya bahan (atau minimnya pengetahuan) saya masih agak ragu dalam mengambil kesimpulan. Wong, kesimpulan-kesimpulan di atas juga sebenarnya cenderung prematur dan dapat berubah jika ada bahan tambahan.
Salah satu di antara yang menarik untuk diangkat adalah membaca tanda tangan kedua orang ini. Di dunia grafologi, tanda tangan dianalisa terpisah dengan tulisan tangan. Tanda tangan menunjukkan bagaimana seseorang ingin dilihat oleh dunia atau orang lain. Saya belum cukup “semedi” untuk dapat menganalisa tanda tangan dengan baik. Sayangnya, Deborah Dewi tidak membahas hal ini.
Terima kasih untuk Mata Najwa yang memberikan panggung untuk grafologi dan Deborah Dewi yang sudah membawa grafologi ke audiens yang lebih banyak.
Salam...
edit: setelah menonton ulang Mata Najwa, ternyata Deborah Dewi juga menyinggung tentang pribadi SBY yang ekstrovert dan mudah bergaul.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H