Mohon tunggu...
Adolf Sinaga
Adolf Sinaga Mohon Tunggu... wiraswasta -

Katanya sih ADHD dan INTP.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Mengapa Manusia Menguap

9 Februari 2012   13:06 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:52 1422
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="aligncenter" width="190" caption="menguap"][/caption]

Entah mengapa, pagi ini ketika baru bangun, saya ingat perkataan Miyamoto Musashi di dalam novel karangan Eiji Yoshikawa yang saya baca 10 tahun silam. “Ada dua macam uapan. Uapan kantuk dan uapan malas”. Kira-kira kata-kata itulah yang dituturkan oleh Musashi.

Sudah naturnya sebagai manusia untuk menanyakan tentang asal-usul dan sebab-akibat. Jadi, mengapa manusia menguap?

Pada dasarnya, menguap adalah proses pendinginan otak. Otak kita memerlukan temperature yang sangat spesifik untuk bekerja dengan maksimal, dan menguap meningkatkan alirah darah ke otak. Mungkin bisa dibilang bekerja seperti radiator. Menguap juga sering kali mengundang kita untuk melemaskan atau melenturkan badan. Jadi, dengan menguap bukan hanya otak kita yang siap untuk beraksi tapi badan kita pun siaga.

Penjelasan di atas juga bisa menjelaskan banyaknya orang yang mengaku menguap sebelum melakukan sebuah penampilan di depan umum, terutama yang bersifat kompetitif. Saya beberapa kali melihat pemain sepak bola menguap ketika masih di terowongan sebelum memasuki lapangan. Saya sendiri ingat beberapa kali pernah menguap sesaat sebelum presentasi di depan kelas ketika masih mahasiswa dulu. Jelas-jelas, keadaan-keadaan di atas tidak dapat disebut membosankan dan sepertinya baik sang pesepakbola dan saya juga tidak mengantuk.

Dapat juga kita imaginasikan nenek moyang kita dulu, ketika masih hidup sebagai pemburu-pengumpul, tidur di alam tanpa ada proteksi dari binatang buas atau ancaman lainnya, dengan menguap memberikan mereka rasa kesiagaan dan/atau semacam alarm ke tubuh dan otak agar tetap siaga. Terkadang bahkan sampai keluar air mata agar kita semakin siaga.

Tapi ini tidak menjelasakan fenomena yang disebut social yawning (contagious yawning). Yaitu ketika menguap itu dapat "menular." Keadaan di mana ada orang lain menguap lalu tanpa kita sadari dan inginkan kita pun ikut menguap. Social yawning paling menular di antara anggota keluarga, teman dekat atau kerabat. Social yawning juga sering timbul di lingkungan baru/asing jika setiap individu merasa satu nasib dan sepenanggungan. Contoh: ketika di lift, ketika menunggu di rumah sakit, ketika mengantri di teater dll. Yang menarik, semakin tinggi empati seseorang, semakin tinggi kemungkinan seseorang tersebut "tertular" menguap. Jadi, kalau ingin menguji seberapa tinggi empati teman, atau bahkan pasangan hidup anda, coba deh menguap dan liat apakah dia ikut menguap atau tidak. Riset akhir-akhir ini bahkan menemukan hasil yang lebih spektakuler. Social yawning juga terdapat di anjing dan beberapa kucing. Tetapi tidak terdapat di mamalia seperti serigala, harimau, kucing hutan, rusa dll. Tidak serta-merta juga terdapat di hewan hasil domestikasi lainnya seperti domba, kambing atau kuda.

Lagi-lagi, hal ini juga ada jejak evolusinya. Pernah kah anda mendengar The Chameleon Effect? Intinya adalah kita cenderung meniru gerak tubuh orang lain (termasuk menguap) agar lebih dapat diterima dan disukai. Untuk lebih lengkap soal ini bisa baca hasil penilitian Chartrand and Bargh (1999).

Dalam lingkup sastra dan kata, Musashi (atau Eiji Yoshikawa) ada benarnya. Tetapi, dilihat dari perkembangan ide dan teori-teori psikologi dan evolusi sekarang-sekarang ini, Musashi sepertinya hidup di jaman tanpa empati karena gagal mendeteksi adanya jenis uapan yang lain.

Lain kali anda terasa ingin menguap ketika seseorang sedang bercerita jangan menolak atau mencegahnya. Kalau tidak mau terlihat boss, klien atau pasangan, yah setidaknya bisa disembunyikan atau samarkan dengan tangan. Dan kalaupun mereka-mereka ini menganggap anda tidak sopan anda bisa berkilah dengan satu dari dua alasan ini: anda justru sedang waspada dan memperhatikan cerita mereka atau anda adalah orang yang sangat empatis.

Salam.

Gambar dari Google, Hasil penelitian dari bbrp jurnal psikologi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun