Mohon tunggu...
Via Cheria
Via Cheria Mohon Tunggu... -

Namaku Lutviah, atau biasa dipanggil Via. Lahir di Rangkasbitung, 05 November 1991. Menamatkan sekolah di TK Nurul Barokah kemudian melanjutkan Sekolah Dasar di SD N MCT XV. Selepas SD menyelesaikan Sekolah Menengah Pertama di MTS N Pasir Sukarayat, kemudian melanjutkan di SMKN 1 Rangkasbitung jurusan akuntansi. Saat ini sedang menyelesaikan study S1 di Universitas Paramadina program studi Ilmu Komunikasi. Ikut serta dalam beberapa organisasi baik dalam maupun luar sekolah. Diantaranya ESC, IKRAMA, dan FKRML. Aktif sebagai Speaker, Debater, Writer, dan Blogger.Namaku Lutviah, atau biasa dipanggil Via. Lahir di Rangkasbitung, 05 November 1991. Menamatkan sekolah di TK Nurul Barokah kemudian melanjutkan Sekolah Dasar di SD N MCT XV. Selepas SD menyelesaikan Sekolah Menengah Pertama di MTS N Pasir Sukarayat, kemudian melanjutkan di SMKN 1 Rangkasbitung jurusan akuntansi. Saat ini sedang menyelesaikan study S1 di Universitas Paramadina program studi Ilmu Komunikasi. Ikut serta dalam beberapa organisasi baik dalam maupun luar sekolah. Diantaranya ESC, IKRAMA, dan FKRML. Aktif sebagai Speaker, Debater, Writer, dan Blogger.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Hiduplah Anakku, Ibu Mendampingimu

3 April 2010   11:29 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:01 286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku benar-benar menangis. Setelah terpana dengan buku “Aku terlahir 500 gr dan Buta” karya Miyuki Inoue, hari ini aku membaca buku karangan ibunya yang menceritakan perjuangan hidupnya dalam membesarkan dan mendidik Miyuki. “Hiduplah anakku, Ibu mendampingimu” adalah buku yang menjawab semua kisah yang Miyuki ceritakan dalam bukunya terdahulu. Jika di buku Miyuki kita menyaksikan lika liku kehidupannya yang penuh perjuangan untuk bisa tetap hidup, maka di buku ini kita menyaksikan bagaimana kasih sayang tulus mengalir dari seorang ibu, baik dalam bentuk pelukan, ciuman, maupun omelan. Kedua buku itu memperlihatkan kolaborasi indah antara kasih sayang seorang ibu dan anaknya. Perjalanan Rangkasbitung- Jakarta benar-benar tak terasa dengan membaca halaman demi halaman buku ini. Tak terasa, aku sering kali menangis, tertawa, dan merenung ketika membacanya. Tanpa kusadari, ternyata banyak yang memperhatikan mungkin mereka aneh karena aku menangis, tertawa, lalu senyum-senyum sendiri. Jangan-jangan mereka menyangka aku gila, amnesia, atau insomnia . Ah, tapi aku tak peduli, yang penting buku ini harus selesai kubaca, harus ada sesuatu yang aku dapat, dan akan aku tulis disini. Dalam bukunya, Michiyo Inoue menceritakan ketegarannya dalam menjalani hidupnya yang kalut dan penuh kabut . Menjalani kehidupan keras sejak kecil, ditinggal orang tua, ditinggal mati calon suami, hingga melahirkan anak cacat (Sungguh malang nasibmu bu ) membuat ia lebih tegar dan kuat dalam menjalani hari-hari bersama anak semata wayangnya. Sebagai single parent, ia berhasil membesarkan dan mendidik Miyuki dengan baik, memberinya semangat, hingga menjadikan anaknya menjadi sesukses sekarang. Begitu banyak yang ia korbankan untuk anaknya, kasih ibu memang tak terhingga ya Ketika membaca buku Miyuki, aku seperti mendengar suara hati anak-anak yang diperlakukan cuek oleh ibunya. Rasa marah, kesal dan sebal bercampur menjadi satu. Dan di buku ini, semua rasa itu terjawab sudah. Lewat kata-kata penuh perasaan dan ungkapan kasih sayang yang tersembunyi dibalik sikap ibunya yang keras dan ganas, ternyata tersimpan sejuta kasih, cinta dan sayang untuk anaknya. Semua yang ia lakukan tak lain dan tak bukan hanya untuk menjadikan anaknya madiri, kuat dan hebat. Ketika membaca buku ini, aku seperti berkaca pada kehidupanku sendiri. Ibuku yang dingin, cuek, dan seperti tidak memperhatikanku. Kadang –kadang aku juga berfikir, apa ibu tidak sayang padaku? Tapi ternyata tidak! Michiyo Inoue meruntuhkan semua fikiran jelekku. Ternyata, dibalik sikapnya yang acuh, cuek, dingin dan terkadang nyebelin itu menyimpan sejuta kasih sayang untukku. Aku mengerti bahwa semua perlakuannya padaku tak lain agar aku bisa mandiri dan bisa berdiri sendiri. Aku dapat merasakan kehangatan kasih sayangnya lewat doa yang selalu ia panjatkan untukku, tangisnya ketika lama tak bertemu, dan tatapan matanya ketika aku jatuh sakit. Sungguh, banyak sekali hal kecil yang aku lewatkan untuk merasakan lembut kasihnya. Maafkan aku, bu :(

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun