Pria paruh baya dengan kumis yang melintir dua senti dekat kehidung itu sedang gusar. Sejak tadi ia hanya bolak-balik tidak karuan sambil menempatkan tangannya dikepala. Sesekali dia menengadahkan kepalanya ke atas lalu kembali bolak-balik sambil kembali berpikir. Lalu, dia duduk disebuah kursi kayu tanpa sandaran. Kursi itu terbuat dari pohon jati kualitas nomor satu. Tidak ada yang berani duduk dikursi itu selain dia. Orang yang boleh duduk dikursi tersebut hanyalah para anggota dewan. Siapa saja yang berani duduk dikursi tersebut ia akan langsung dipenjara karena berarti dia tidak menghargai para wakil rakyat.
Seorang perempuan yang berparas cantik meski sudah berumur datang mendekat kepadanya. Konde yang rapih dan lipstik warna merah menyala serta dibalut kebaya jawa membuat perempuan tersebut sangat anggun meski sudah berumur. Dia menepuk pundak pria tersebut yang ternyata adalah suaminya. Sebagai seorang istri yang baik tentunya ia harus menemani sang suami dalam berbagai kondisi, termasuk dalam kondisi tidak jelas sekalipun seperti saat ini.
Wangsa melihat sang suami yang benar-benar kebingungan. Wajah suaminya mulai pucat pasi. Jangankah tersenyum, Maja hampir lupa cara bernafas. Lalu, sesekali dia menarik nafas panjang dengan maksud menenangkan hatinya. Namun, detak jantungnya yang tidak karuan membuat nafasnya jadi tersengal-sengal.
"Kampret emang si Tarum, dia tumbalkan aku kalau begini caranya," kata Maja mengumpat.
"Hus, mulut itu dijaga sampean udah jadi wakil rakyat," kata Wangsa.
"Wakil rakyat opo nduk? Semalaman aku tidak bisa tidur hanya memikirkan apa yang aku katakan diupacara nanti,"
"Sabar, kamu sendiri yang menerima pinangan partai politiknya,"
"Manusia-manusia goblok, aku yang wong edan kayak gini bisa juga kepilih jadi anggota dewan,"
"Mungkin orang-orang sudah pusing dan bingung mau milih siapa. Berhubung wajahmu lumayan tampan jadilah mereka memilihmu.
Mereka bahkan tidak peduli pada program-programmu nanti,"
"Jadi mereke milih aku gara-gara aku tampan yah?"