Mohon tunggu...
Vethria Rahmi
Vethria Rahmi Mohon Tunggu... Penulis - Pranata Humas Ahli Muda Kanwil Kemenag Riau

Thalabul Ilmi yang tak berhenti belajar

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Jelang Ramadan/Lebaran, Tradisi Minang Ini Selalu Terkenang

18 Mei 2020   03:59 Diperbarui: 18 Mei 2020   03:51 1057
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Screenshot YouTube: Sapi Betina

Tak terasa, Ramadan sudah tinggal menghitung hari. Aroma Idul Fitri sudah mulai tercium wangi dimana-mana. Walaupun bulan Ramadan tahun ini jauh berbeda sejak wabah corona datang melanda, tapi kita tetap harus menjaga semangat hingga hari kemenangan bagi umat muslim tiba.

Kalau diingat-ingat, setiap tahun ada saja momen berharga yang terjadi saat Ramadan hingga Idul Fitri tiba. Tak jarang pula kita mengingat  momen Ramadan pada masa kecil. Bahkan momen tradisi sambut Ramadan yang penuh kenangan. Tak perlu terlalu larut bersedih, dengan kondisi Ramadan saat ini.

Kendati tidak bisa melakukan kegiatan seperti biasa. Seperti tarawih berjemaah di masjid, menghabiskan waktu ngabuburit, maupun buka puasa bersama kerabat dan handai tolan. Namun bukan berarti kita pasrah tersungkur tanpa rasa syukur. Tutup mata, lalu coba bayangkan sejenak  kenangan seru jelang Ramadan yang pernah kita alami.

Dalam even Samber 2020 hari 22 ini aku ingin berbagi kisah tentang budaya didaerahku menjelang Ramadan tiba. Walau tinggal di perantauan, kenangan tradisi jelang Ramadan kampung asalku di Sumatera Barat, selalu menjadi kerinduan tersendiri. 

Bagaimana tidak, daerah berslogan Adat Basandi Syara', Syara' Basandi Kitabullah ini begitu banyak menyimpan tradisi unik untuk menyambut bulan suci Ramadan.

Ditambah lagi, bulan Ramadan merupakan bulan yang sangat dinantikan oleh seluruh umat Islam. Pada bulan ini para umat Islam akan berlomba-lomba dalam kebaikan, karena setiap kebaikan yang dilakukan saat bulan Ramadhan akan dilipatgandakan, begitu juga jika kita berbuat dosa pada bulan Ramadhan.

Biasanya, di Sumbar satu hari menjelang Bulan Ramadan, banyak kebiasaan yang dilakukan masyarakat Minang ini. Tradisi pertama yang kuingat adalah "Manjalang Mintuo"(mengunjungi mertua). Istilah manjalang ini biasanya diperuntukkan bagi menantu perempuan untuk mendatangi rumah mertua. 

Aku sendiri belum pernah melakukan tradisi ini sejak menikah, karena suamiku bukan bersuku Minang, melainkan suku Jawa. Tapi aku melihat sendiri kebiasaan ini kerap dilakukan adik perempuanku. Manjalang mintuo selain sebagai bentuk penghormatan kepada orangtua. Juga sebagai wadah mempererat silaturrahmi antara menantu dan mertua.

Seingatku, adik perempuanku tidak hanya datang berkunjung dan saling bermaaf-maafan. Namun juga lengkap dengan persiapan masakan yang dikemas ke dalam rantang. Menariknya ia memutuskan untuk belanja sendiri ke pasar, mencari semua bahan masakan yang akan dibawa. 

"Jaaah, yang lagi sibuk masak untuk mertua nih kayanya," ujarku menggoda suatu kali. 

"Namanya juga udah tradisi, sekali setahun ini," katanya seraya membaking kue adonan yang siap dipanggangnya.

Aku melihat bermacam masakan khas Ranah Minang yang dipersiapkannya sejak saban subuh. Katanya makanan yang dibawa itu untuk makan bersama di rumah mertua sekaligus sahur pertama disana. Mulai dari gulai Daing, ayam bakar, kue dan berbagai macam buah-buahan. Walaupun tradisi itu masih melekat hingga sekarang. 

Tak bisa ditampik juga masih ada sebagian masyarakat yang tidak melakukannya. Dengan alasan yang beragam. Entah itu karena faktor ekonomi atau memang tak berniat melanjutkan tradisi tersebut.

Pemandangan lain yang akan terlihat, manakala sudah memasuki satu hingga tiga hari jelang Ramadan masyarakat  akan pergi berziarah ke makam keluarga. Hal ini bertujuan untuk membersihkan makam sanak saudara. Biasanya para pengunjung membawa bunga, air, cangkul, pacul untuk membersihkan rumput liar yang tumbuh di sekitar makam. 

Menariknya, tradisi ini juga bisa menjadi ajang berkumpulnya keluarga jauh dengan keluarga dekat. Menurutku sebuah tradisi yang bermakna dari masyarakat Minangkabau. Tentu saja masa pandemi ini masyarakat setempat lebih memilih tidak melakukan ziarah  menyambut bulan suci Ramadan. 

Screenshot YouTube: Mufia Chanel
Screenshot YouTube: Mufia Chanel
Yang tak pernah ketinggalan itu justru tradisi Malamang dan Marandang. Sahabat kompasiana pernah mendengarkakah dua istilah ini?. Jika belum, yuk sedikit kita kupas ya. Lamang merupakan makanan khas Minang yang berbentuk seperti ketan. Tradisi ini dikenal dengan Malamang, karena mayarakat Minang biasanya membuat lamang dengan bergotong-royong bersama keluarga dekat maupun tetangga. 

Lamang adalah penganan dari beras ketan yang dimasak dalam ruas bambu, yang sebelumnya digulung dengan selembar daun pisang yang dilayukan dengan api. Gulungan yang berisi beras ketan yang dicampur dengan santan kelapa ini dibakar hingga matang. Lamang (lemang) sangat enak bila dimakan dengan segala hal yang manis. Tapi masyarakat Minang kerap menyantap Lamang dengan rending daging, serikaya atau manisan parutan kelapa yang dicampur dengan gula merah.

Tapi kalau menurutku sih nggak kalah enak, lamang itu dimakan dengan tapai pulut hitam dengan cita rasa asemnya fermentasinya yang khas. Apalagi jika dimakannya bareng bareng bersama keluarga. Hmmmm, jangan ditanya rasanya, kekasih hati lewat pun tak kelihatan lagi, hihi.

Yang menarik, tradisi Malamang ini, setelah matang akan dinikmati bersama-sama bahkan dibagikan kepada masyarakat sekitar. Ya, lazimnya mereka yang membuat lamang akan memberikan kepada orang yang disegani didalam adat atau kepada tetua masyarakat.

Screenshot YouTube: Mufia Chanel
Screenshot YouTube: Mufia Chanel
Marandang, merupakan tradisi wajib yang rutin dilakukan setiap memasuki bulan puasa. Sejak dulu kebiasaan ini sudah turun temurun dilakukan keluarga besarku. Hingga aku menikah, meskipun beda budaya dengan suami. Tradisi Marandang tak pernah luput setiap tahunnya. 

Nggak harus banyak, yang penting ada. Kalau di kampung-kampung, tradisi marandang dibuat bergotong-royong. Proses masak hingga kekayaan rasanya yang menjadi kunci membuat kehadiran randang selalu dinanti keluarga. 

Bayangkan saja, bumbu dan rempah yang diolah dan masuk bersama daging, lamanya memasak, membuat randang tidak hanya digemari semua orang Minang. Tapi daerah lain yang ada di nusantara.  

Screenshot YouTube: Yaskur Jamhar
Screenshot YouTube: Yaskur Jamhar
Ettapi, sebelum marandang ini ada juga sebagian besar masyarakat yang melakukan tradisi "Mambantai". Tradisi ini adalah sebagai bentuk syukur masyarakat Minang terhadap bulan Ramadan.

Ada yang pernah dengar nggak?. Mambantai merupakan tradisi memotong hewan sapi atau kerbau dalam rangka menyambut bulan suci Ramadan. Kemudian daging hasil potongan akan di olah untuk dijadikan makanan pembuka pada bulan Ramadan seperti rendang ataupun dendeng balado.

Screenshot YouTube: Mufia Chanel
Screenshot YouTube: Mufia Chanel
Ada tradisi yang cukup membuat ingatan masa kecil begitu segar diingatan. Yup, apalagi kalau bukan tradisi "Balimau". Rutinitas satu hari jelang Ramadan ini selalu menjadi hal yang paling ditunggu anak-anak seusiaku kala itu. Masih basah diingatan, saat aku, abang sulungku dan adik-adikku lainnya merengek untuk mendapatkan IMB (Ijin Mandi Balimau) dari ayah dan ibuku yang cukup disiplin. 

Ada sungai yang cukup jauh dari rumahku, di dekat area persawahan dibagian ujing jalan rumahku. Disanalah anak-anak sebayaku biasa mandi "balimau". Disanalah mereka menghabiskan waktu hingga jelang maghrib. Seingatku, hanya sekali ibuku mengijinkanku pergi ke sungai itu. Tak banyak yang kuingat kenangan di sungai itu, selain dua biduk sampan lapuk, hamparan sawah, juga ladang-ladang sayur masyarakat sekitar.  

Oya, sebenarnya ada satu yang tak luput dari benakku hingga kini. Tentang bagaimana aku traumanya berenang disungai itu sejak nyaris hanyut karena air sungai yang tetiba saja deras. Berkat pertolongan dan kekompakan teman-temanku akhirnya aku berhasil diselamatkan, dengan kondisi sudah lemas kemasukan banyak air.

Jika puasa hampir tiba, teman-teman sebayaku pasti akan sibuk mondar-mandir datang kerumah merayuku ikut bergabung Balimau bersama mereka. Dengan sekantong bunga-bunga untuk kemudian dicampur dengan air hangat lalu diusap ke ubun-ubun kepala. Rasanya indah sekali, membayangkan itu bisa kunikmati lagi. 

Namun ijin itu tak kunjung dapat, sehingga aku harus legowo untuk balimau dirumah saja bersama keluarga. Diawali mandi keramas ba'da ashar, lalu ibuku akan mengusapkan air hangat yang sudah dicampur dengan sejumlah kembang ke ubun-ubun kepala kami satu persatu-satu.

Aku hanya bisa mengintip orang berbondong-bondong untuk pergi ke sungai itu dari balik tirai jendela. Kegiatan balimau tersebut dinilai sebagai salah satu cara untuk mensucikan diri dengan mandi menggunakan jeruk nipis dan bermacam kembang. 

Banyak yang mengartikan Balimau sebenarnya adalah membersihkan kita dari dosa yang tidak di sengaja. Mengingat untuk menghadapi bulan Ramadan harus dalam keadaan suci dari setiap kotoran jiwa. Ada pula yang berpendapat jika Balimau ini merupakan mandi wajib masyarakat Minang ketika sudah melakukan dosa besar. Wallahua'lam Bishshawab.

Kadang jujur, aku juga sempat bingung dan bertanya-tanya hingga kini, apa manfaat tradisi ini? Tapi yang pasti, yang aku ingat hanya keseruan dan indahnya melihat masyarakat berkumpul dengan penuh suka cita.

Namun, tersebab Ramadan tahun ini bertepatan di saat kita harus berjuang menghadapi pandemi. 

Sejumlah daerah di Indonesia pun harus merombak aturan hingga melakukan penyesuaian tradisi yang berjalan setiap bulan puasa akan tiba. Dengan kata lain tentu saja tradisi-tradisi tersebut ditiadakan demi mengutamakan keselamatan.

Tradisi lainnya yang sering aku temui adalah membersihkan masjid. 10 meter di depan rumah ada Masjid Raya yang berhadapan langsung dengan jalan utama jantung kota kecil itu. Aku ingat betul, di masjid itu kami sering sholat wajib berjamaah, tarawih hingga tadarusan berjamaah. Nah, jelang Ramadan biasanya marbot (penjaga mesjid) dan para ulama mesjid akan mengundang seluruh masyarakat bergotong royong membersihkan seluruh masjid. 

Kemudian di akhir acara akan ada makan-makan dan silaturahmi dengan seluruh masyarakat sekitar. Hampir tiap tahun aku mengikuti kegiatan bersih-bersih di masjid itu bersama  teman-teman. Masjid yang tak begitu luas, disampingnya kirinya ada 3 ruangan MDA, halaman yang cukup luas, tempat kami bermain petak umpet dipagari beton.  

Di seberang jalan ada toko bunga dan alat jahit. Aku lupa hidangan apa yang kami makan saat itu. Aku juga samar mengingat siapa teman-teman sebayaku waktu itu. 

Oya, ada satu kenangan yang tersisip saat bersih-bersih masjid. Anak-anak laki yang sibuk main seluncuran di atas air pel dilantai masjid. Ada pula yang sibuk mengintai makanan yang baru tiba dimasjid. Ya, aku ingat keriuhan itu hingga kini. Tumpukan sampah usai makan-makan, antrian mengambil nasi dan lauk yang terkadang diselingi dorong-dorongan. Hingga usiaku menginjak remaja, seingatku masih ada tradisi itu.

Tradisi-tradisi diatas juga berlaku bagi masyarakat Minang dalam menyambut hari kemenangan Idul Fitri. 

Semoga tradisi ini menjadikan masyarakat tetap berbudaya dan beradab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun