Dalam era conected world (dunia yang terhubung) atau the age of networking, keterbatasan ruang dan waktu tidak lagi jadi masalah. Sekalipun ada pandemi Corona dan WFH seperti saat ini.
Masalahnya, jika cyber space dengan cybernetics disalahgunakan menjadi melampaui batas. Seperti yang dikatakan paracelsus, bahwa segala sesuatu adalah racun, hanya dosis yang membuat segala sesuatu menjadi bukan racun. Begitu juga silaturahmi pun ada dosisnya. Ada ketentuannya.
Bukankah menjalin silaturahmi dengan rekan kerja melalui media sosial rentan kesalahpahaman?. Apalagi jika dalam penulisan chatting kita mengabaikan tanda baca dan ejaan yang benar. Belum lagi soal kata-kata yang bersifat ambigu yang kerap  disalahtafsirkan. Bisa juga typo atau saltik atau kesalahan tipografi. Jadi pada dasarnya soal komunikasi virtual ini sangat kompleks. Tentu saja komunikasi verbal tidak dapat tergantikan kesempurnaannya. Karena intonasi dan eksoresi body language juga menentukan makna.Jangan sampai gara-gara setitik nila dalam berkomunikasi menjadi rusak susu sebelanga. maka dalam komunikasi virtual butuh kalimat sempurna tapi tidak bertele-tele. Tetap menggunakan kalimat efektif. Jangan lupa menggunakan kalimat pembuka sebelum mengutarakan pesan atau maksud. Kemudian diakhiri dengan kalimat penutup dan salam.
Dalam Islam apapun aktifitas harus merasa selalu diawasi Allah. Begitu juga dalam komunikasi silaturahmi. Tujuannya apa?. Agar kita tidak sekehendak hati dalam berpikir, berkata dan bertindak.
Di zaman digital ini, Â komunikasi antar lawan jenis berpotensi semakin liar. Padahal adab berinteraksi pada yang bukan muhrim harus dijaga. Jangan sampai setan terlibat sebagai pihak ketiga yang menjerat kita menuju pendekatan zina. Tidak sedikit modus silaturahmi berujung selingkuh pada rekan kerja. Maka yang dilarang itu pendekatan ke arah zina. Bukankah tidak ada zina tanpa pendekatan?.
Tidak itu saja, Jangan sampai dalam komunikasi silaturahmi menjadi lalai dan lupa waktu, sehingga membuang-buang waktu percuma. Seperti berghibah dan memfitnah.
Jadi, bagiku bersilaturahmi pada kolega pun harus berorientasi pada ikatan kerjasama, koordinasi dan hal-hal bermanfaat terkait profesionalitas dan produktifitas kerja.
Fenomena bermedsos ria saat ini yang hanya sibuk bisnis online, menyebar hoax, dan banjirnya tulisan, sebenarnya sudah diberitakan oleh nabi 14 abad yang lalu
"Sesungguhnya menjelang kiamah (tegaknya Islam sebagai Aturan), akan terjadi pengkhususan salam hanya untuk orang tertentu, maraknya perdagangan hingga seorang istri membantu suaminya berdagang, terputusnya silaturahim, kesaksian palsu, menyembunyikan kesaksian yang benar, dan bermunculannya pena." (HR. Ahmad).
Buktinya sampai ada di Indonesia membuat komunitas yang bernama  comunity pena terbang (kompeter), komunitas penulis antologi menjamut dalam bidang digital preneur.Â
Oleh karena itu etika Komunikasi virtual perlu dijaga.  Harkat dan mattabat manusia harus dijunjung tinggi. Etika harus  bersifat imperatif dalam berrelasi di ruang siber. Dalam konteks itu dalil-dalil Al-Quran ataupun Al-hadits adalah sumber etika tertinggi bagi Muslim dalam bersilaturahmi, termasuk kepada rekan kerja selama diberlakukannya WFH.
4 bulan sudah pandemi ini mengungkung negeri. Aku, masih disini. Dengan semangat yang sama, tekad yang sama, tujuan yang sama. Meski hingga hari ini masih banyak kejadian memilukan, yang terdengar dari surat kabar ataupun berita ditivi tivi.Â
Apalagi Pandemi di negeri Lancang Kuning, tempatku bernaung, sudah berada pada zona merah..
Sebagai perantau di kota ini. Agaknya tidak berlebihan bila aku berkeinginan punya banyak teman. Syukur- syukur bisa dijadiin saudara. Minimal saudara seiman selain teman kolega.
Jadi di tengah wabah mengerikan ini kudu mempetahankan etika sibernetika, untuk menjaga silaturrahmi tidak sebatas pada kolega sesama WFH yang sudah terbangun.