Menengah adalah suatu posisi yang tak menguntungkan di segala macam kehidupan pekerja. Memiliki bawahan, pula  memiliki banyak atasan. Atasan menekan, pula tak berarti bawahan tidak bisa mendesak? Apalagi jika ini tentang sumber kenyamanan yang dipandang dunia. Uang.
Jadi demikian seperti yang mudah disangka banyak khalayak ramai, Bawahan-bawahan tidak suka pada Dia, karena dipikir menghalangi rezeki cuma-cuma bagi Bawahan-bawahan.
Apalagi bagi Komplotan Atasan Kelas Kakap Pula Cembung Perutnya. Ketidaksamaan gerak adalah pelanggaran. Bagaimana mungkin saat para komplotan atasan berkata "iya", ternyata ada seonggok daging --yang bernama Dia-- mencoba ambil langkah sendiri dan berseberangan?
Dan seperti De javu. Ancaman dari Pengusaha Tua Kumis Tebal Berbadan Cembung terjadi sebulan kemudian. Unjuk rasa di tujukkan pada Dia terjadi dalam Kantor Institusi, pelakunya adalah Bawahan-bawahan. Komplotan Atasan Kelas Kakap Pula Cembung Perutnya bernafas lega, celah unjuk rasa ini dijadikan alasan tepat untuk menendang bokong Dia agar terlempar dari Kantor Institusi. Maka terjadilah demikian seperti yang telah direncanakan, disepakati, diketahui oleh Pengusaha Tua Kumis Tebal Berbadan Cembung, Bawahan-bawahan, dan Komplotan Atasan.
--------=360 derajat searah jarum jam=-------
Dia menegakkan kepalanya. Hampir-hampir Dia terjebak pada romantisme penyesalan. Apa yang disesali? Itu hanyalah sebuah romantisme murahan yang coba mempermainkan identitas dirinya sendiri. Satu yang masih dia miliki dan tak dapat direbut oleh masa lalu, adalah tentang Dia yang masih memiliki identitas. Identitas yang tak dipengaruhi oleh tertawaan kejamnya dunia, dan tidak dibentuk karenanya. Identitas yang ada padanya adalah gambaran Dia. Dirinya sendiri. Sendiri dan kepala tegak. Setegak-tegaknya.
Dan ... Dia adalah seorang yang pernah ada di Kantor Institusi tapi beridentitas. Tak menyesal, walau hampir saja terjebak pada romantisme penyesalan.
Hampir,
Nb: salam mesra teruntuk teman-teman yang dahulu kukenal dengan identitas mereka sendiri-sendiri. Semoga masih sama identitas itu. Amin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H