Dengan keceriannya sepulang dari kunjungan ke Taman Makam Pahlawan, sang anak menunjukkan buah tangan yang di tangan mungilnya. Sedang sang ayah sedang mengikat bendera pada tali tiang bendera, berniat menerbitkan bendera di atas tiang bendera di pekarangan rumahnya. Ini bukanlah cerita tentang seorang anak dan ayahnya yang nasionalis, anti komunis, dan tak bernyawa liberalis. Tidak! Ini tidaklah tentang ada atau tidaknya jiwa nasionalis pada diri mereka, atau tidak adanya paham liberal pada sisi pemberontakan seorang anak kecil --yang bahkan tak dia tau apa yang hendak disuarakannya dalam nilai berontaknya itu--, atau bagaimana tentang umumnya seorang ayah yang mengagungkan kesejahteraan sosial dalam kisah sosialis sejurus dengan komunis. "Papa lihatlah apa yang kubawa" "Ya, ayah melihat apa yang kamu bawa, anakku" Sang ayah masih mencoba menguatkan simpul ikat bendera yang dibuatnya. Bendera yang hanya terbuat dari kain semata. "Aku membawa bendera dari taman makam pahlawan. Kurasa bendera yang kupunya ini lebih hebat dari bendera yang ada di tangan ayah" Sang anak membanggakan replika bendera yang terbuat dari triplek, buah tangan pengalaman pertama kunjungan dari Taman Makam Pahlawan. Ayah yang telah berhasil membuat simpul pada tali tiang bendera, lalu melanjutkannya mengerek bendera yang terbuat hanya dari kain. Sang anak mengadah ke atas, mengikuti laju bendera yang terkerek menuju ujung tertinggi dari tiang bendera. Tak berbicara lagi kini keduanya. Tak ada suara, tapi bukan juga karena mereka sedang apel layaknya apel PNS, atau upacara kibar bendera di sekolah. Sesampainya bendera --yang hanya terbuat dari kain-- di ujung tertinggi, kedua manusia ini mengakhiri keikutsertaan pandangan mereka pada tiang bendera. Bukankah bendera sudah sampai di atas sana, apa lagi yang dapat menghentikan keeratan dua manusia satu darah itu untuk saling bercengkrama layaknya seorang ayah dan anak? Dan bukan layaknya seorang nasionalis. "Lebih hebat katamu, anakku?" Sang ayah mencoba memulai kembali pembicaraan yang sempat terhenti tadi. "Iya ayah. Coba perhatikan betapa bendera yang kupunya begitu kokoh, terpaan angin tak sanggup menggoyangkannya. Karena memang bendera yang kupunya terbuat dari kayu. Lebih kokoh kulihat. Dan juga, warna yang melekat pada benderaku tak akan luntur sebagaimana yang biasa terjadi pada bendera yang hanya terbuat dari kain semata" celoteh sang anak. "Hmmm... benar adanya yang kau bilang anakku. Bendera yang kau punya takakan bisa melambai-lambai sewaktu diterpa angin. Juga tak bisa luntur, karena warna yang menghiasinya begitu menyerap di antara serat-serat kayu benderamu itu" "Kalau ayah pun setuju dengan yang ku katakan, lalu kenapa tidak dari sekarang mari kita gunakan bendera yang kupunya ini kita gunakan sebagai ganti bendera kain ayah itu? Lihatlah, warna yang mulai pudar yang ada padanya. Dan mengapa pula bendera kain yang ayah punya hanya melambai-lambai saja, padahal baru saja angin yang menghampiri keberadaannya. Melambai-lambai, seakan sedang mengajak orang untuk mendekat, dan mengagumi tarian dari hasil terpaan angin yang meniup keberadaannya." "Namun anakku, apalah arti ketidakmelambaian yang dipunya bendera kaku-mu itu? Dia tak dapat melambai, sehingga benderamu itu tak bisa menari dalam terpaan angin. Dan akankah orang mendekat dan memperhatikan keberadaan bendera seandainya saja tak dapat dia melambai-lambai kepada orang?" Sang ayah memperhatikan lambaian bendera kain yang berada di ujung tertinggi di tiangnya itu. "Juga mengenai betapa kaku bendera yang kau miliki, tak bergeming saat angin menghampiri. Perlukah lagi suatu ketidakbergerakan yang dimilikinya, kekakuan benderamu itu, bisa menjadi panutan karena tak sanggup benderamu itu menyesuaikan keadaan yang sedang terjadi di sekitarnya" "Maksud ayah?" "Saat angin datang menerpanya, entah itu angin sepoi ataupun deras angin, dia tetap saja tak bergerak. Sama seperti tak bergeraknya benderamu saat tak ada angin sekalipun juga. Jadi bagaimana orang-orang dapat melihat bahwa di sekitar bendera sedang terjadi peristiwa-peristiwa yang sedang mengancam keberadaan si bendera" "Justu itulah yang kumaksud, ayah. Bendera yang kupunya sanggup tegak berdiri setegak-tegaknya, saat apapun yang sedang menerpanya" "Anakku,. Bendera yang kupunya, yang terbuat dari kain, mampu mengajak orang untuk tahu bahwa apa yang sedang terjadi disekitarnya. Bahwa saat bendera melambai artinya sedang ada sesuatu yang terjadi di sekitarnya, bahwa ada angin yang menerpanya. Saat angin begitu derasnya menerpa, dia akan segera begitu lincahnya melambai-lambai kepada orang banyak, dan orang banyak akan segera mawas tentang keadaan benderanya. Sedang jika angin sedang menerpa dengai sepoi semata, dia akan memberitahu dengan lambaian kecil, sekadar memberitahu ancaman kecil yang sedang diterimanya dari angin." "Apakah baiknya jika dia memberi tahu kesemuanya itu kepada semua orang, ayah?" "Bagi mereka yang menghormati bendera, maka orang itu akan mendekat dan segera menerima pertanda yang sedang diberikan oleh benderanya itu" sang ayah memandang tiang bendera, lalu hormatnya teruntuk bendera di ujung tertinggi. Melambai-lambai dengan begitu lincahnya bendera di ujung tertinggi tiang kala itu. Sang ayah menerima pertanda dari benderanya. Bendera yang terbuat hanya dari kain itu. Karna jikalau bendera adalah tonggak pertama dari suatu eksistensi suatu bangsa, mampukah dia memberitahu bahwa angin sedang menerpa dengan sedemian rupa? Benderakah dia, jikalau hanya berdiri setegak-tegaknya di atas ujung tertinggi tiangnya? [caption id="attachment_97893" align="aligncenter" width="427" caption="Melambai-lambai dengan begitu lincahnya bendera di ujung tertinggi tiang kala itu."][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H