Mohon tunggu...
Abdi Galih Firmansyah
Abdi Galih Firmansyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Negeri Malang

Menebar benih kebaikan, menyemai bunga peradaban, panen kebahagiaan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kebisuan

29 September 2024   09:24 Diperbarui: 29 September 2024   09:30 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Malam ini, aku sedang membisu. Hal yang selalu menjadi mimpi buruk kini kembali datang. Entah kenapa, padahal hati bisa gembira, ketika mulut berani bicara. Tapi malam ini, mulutku benar-benar bisu. Setiap hari aku berteman baik dengan sepi. Namun kali ini, ia bukan temanku. 

Sepi dalam ramai memang menyakitkan. Manusia di sekelilingku asyik bicara ini itu. Asyik sekali. Inginku masuk ke dalam atmosfernya, tapi tak bisa. Sehingga aku dilanda kekalutan. Entah apa yang membuatku bisu. Apakah ada trauma masa lalu yang masih kental, ataukah memang mulutku ini sudah tak berfungsi dengan baik. Sehingga aku kesulitan bicara.


Aku bingung, kenapa ia tega menyiksaku seperti itu. Padahal aku tak punya niat apa-apa kecuali kebaikan belaka; ikut merasakan asyik. Barangkali takdir hidupku kala itu, memang itu. Tuhan sengaja membisukan mulutku. Namun, di balik itu aku bersyukur, karena dengan kebisuan aku dapat merasakan kerinduan. Tentang manusia yang mencegahku bisu, merangkul hatiku, dan membantu bicaraku. Orang-orang itu kusaksikan bersama malam dan lampu jalan, serta angin yang tenang.


Aku mengadu kepada Tuhan, tentang kebisuanku tadi. Tuhan mengingatkanku pada ayatnya yang halus merambat ke ubun-ubun lalu menggetarkan tubuh. Bahwa seruwet apapun batin ataupun sebaliknya Tuhan menyuruh hambanya untuk mengingatnya, ya cukup ingat saja, maka bunga hati akan semerbak dengan sendirinya. Itulah sepersekian di antara jutaan percik ayat yang ia turunkan di bumi yang pernah kudengar. 

Bahkan dengan membaca ayatnya yang tak kutahu maknanya sekalipun. Barangkali Tuhan ingin memberi tahu bahwa obat dari kebisuan adalah mengingat yang dirindukan. Aku juga mengadu pada nabi, tetapi belum kutemukan jawaban darinya. Kusebut-sebut namanya lagi, karena dengan menyebut namanya saja aku sudah tenang.


Di tengah perjalanan, aku berangan-angan; Andaikan semua jenis makhluk bisa kuajak bicara, mungkin aku akan sering mengadu kepada pohon, dan belajar darinya tentang kesunyian. Andaikan juga mulutku otomatis bicara sendiri ketika perlu, tanpa harus kusengaja bicara. Pasti hatiku gembiranya tiada main.


Aku menasehati mulut dengan hati. Ia kusuruh memberanikan mulut untuk bicara. Hati mengangguk. Mulut pun agaknya merasa malu lantaran ia gagal dari tugasnya yang satu: bicara. Hati membalas dengan kelembutan, ia tak mau mulut merasa bersalah seperti itu. Ia menyuruh mulut untuk merokok agar ia tak gundah. Hisapan pertama mengingatkan pada monolog dan lamunan panjang.


Aku senang, karena mulut sudah tak gundah lagi. Ia menikmati kerinduan itu. Dalam perjalanan pulang, mulut sudah asyik bicara, ia tak lagi bisu. Aku dan hati melihatnya seperti kicau kenari yang sedang dilombakan. Ia bicara tentang apapun, masa depan yang belum terjadi, bahkan khayalan yang sama sekali tak mungkin. Aku berbisik pada hati "Mulut sok tahu banget!". Hati tertawa cekikikan.
Mulut mengadu padaku kala ia menghisap kerinduan. Ia melihat sosok Ayahku. Kualihkan pandangan ke langit. 

Aku teringat pada apa yang diucapkan Ayah di ruang tamu kala itu bahwa "Seorang lelaki tidak takut gagal". Kuresapi makna ucapan itu. Ayah tak ingin aku jadi lelaki yang takut melangkah, ia tak mau aku berdiam di kamar saja. Memang benar kata Ayah, kegagalan tidak menakutkan, ia menyakitkan. 

Dan bagi seorang lelaki, rasa sakit sudah menjadi bagian dari hidupnya. Maka, tak perlu ditakuti. Ayah mengajarkanku agar menjadi pribadi yang berketerampilan dan bernilai. Tak perlu banyak teori, nilai-nilai itu kuambil langsung dari hidup Ayah sendiri. Bahkan cara Ayah ngobrol kuamati betul. Banyak orang desa menjulukiku fotokopi Ayah saat remaja. Sedangkan keterampilan, aku mencari sendiri. Tak banyak kuambil keterampilan dari Ayah, selain bermain catur. Kenanganku bersama Ayah sering kuabadikan bersama rokok dan malam melalui puisi.


Malam masih kuarungi menuju rumah. Di jalan aku menitipkan kisah kepada lampu-lampu dan aspal. Sesampai rumah, kuketuk pintu dan dibukakan oleh Ayah. Kukecup tangannya yang menyimpan lelah. Seperti biasa ia tak banyak berkata-kata, hanya menanyaiku "nak, sudah makan apa belum?". Kujawab "sudah Yah". Aku pun beranjak ke kamar tidur. Kumatikan lampu lalu kurebahkan badan di atas kasur. Sebelum tidur, kulewati tempat Ayah tidur, kuintip dari sela pintu yang terbuka sedikit, kulihat ia tampak letih. Hati menyuruh mata menyimpan diam-diam gambar wajah Ayah, agar ia punya lebih banyak stok kerinduan kala kebisuan datang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun