Mohon tunggu...
Abdi Galih Firmansyah
Abdi Galih Firmansyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Negeri Malang

Menebar benih kebaikan, menyemai bunga peradaban, panen kebahagiaan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Malam Itu

13 Juni 2023   00:16 Diperbarui: 13 Juni 2023   15:42 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kurang empat ratus meter lagi aku akan tiba di pesantren itu. Dari pojok pertigaan ujung selatan rumahku lantunan Ratibul Haddad kudengar kurang tiga sampai empat tawassul-an saja, sementara di sana teman-temanku bersimpuh khusyuk menyahuti tawassul dengan fatihah- fatihah sejak ba'da maghrib tadi. Ku ayuh secepat mungkin laju sepedaku, dengan harapan menangi doa nya pak Kyai atau paling tidak, berhasil mengecup telapak tangan beliau sebelum beranjak dari sajadah menuju dalemnya. Dengan tergopoh-gopoh ku berlari sekencang mungkin menuju musala, tanpa sadar menyusur masuk melalui pintu sebelah timur kawasan santri putri berduduk duduk santai sebelum mengikuti pengajian sorogan. Tepat kuinjakkan kaki di lantai dengan sekonyong-konyong wanita berparas manis yang belum pernah kulihat menyela masuk di depanku. "Ah mungkin saja santri baru", gumamku. 

Akupun bertanya-tanya kepada mas mas di sekitarku perihal perempuan berparas manis tadi.  "Eh mas, mbak yang itu siapa?" dari luar jendela dengan sedapat mungkin kusembunyikan badan di balik puggung teman-teman agar tak terlihat olehnya, sambil kutunjukkan arah jari tepat pada kerudung perempuan itu. "Oh itu mbak Siti, perempuan dari kedungkudi, desa seberang asal pak kyai sebelum berpindah ke sini" ujar mas Isna. Memang pak kyai bukanlah warga asli Lontar, kata Ayahku beliau adalah santrinya kyai mahfudzi, sang pemuka agama yang pertama kali mendirikan pesantren di desaku "Raudlatul Qur'an" hingga kemudian pak kyai mempersunting istri dari warga sini dan mendirikan pesantren sendiri "Darul Muwahidin". Oleh karena Kyai bermukim disini, maka banyak anak-anak dari desa seberang itu dikirim orang tuanya untuk mengaji di pondok sini, salah satunya mbak Siti tadi.

Ia tergolong perempuan yang suka guyon sekaligus rendah hati, mudah baginya berakrab dengan santri lama disini tanpa ada rasa canggung atau sungkan. Aku mengagumi wataknya yang kritis terhadap persoalan keagamaan yang selalu ia bertanya duluan dikala sesi tanya jawab dibuka. Meskipun terhalang satir aku tetap bisa menyaksikan betapa ia sangatlah tlaten mencatat apa apa yang didawuhkan oleh guru di tengah suasana sorogan yang begitu seksama. Usianya yang terpaut jauh di atasku, membuatku tak bisa seakrab seperti santri yang lain. Hari demi hari berganti, mbak Siti semakin dikenal oleh para santri. Tak hanya dikenal, ia juga terpandang ketika ditunjuknya ia sebagai badal dikala pak guru berhalangan hadir mengajar. Tak pernah sekalipun aku menjumpai ia absen. Selalu datang lebih awal dan duduk paling depan. Sungguh santri yang begitu teladan. Bacaan qur'an nya fashih, makhraj dan sifat huruf nya matang, ingatan nya kuat, teori teori tajwid juga dikuasainya.

Setelah aku memasuki jenjang SMP Ayah memindahkanku ke pesantren lain, masih satu kabupaten cuma beda kecamatan saja, sekitar lima belas kilometer dari rumah. Jika waktu liburan tiba, kusempatkan berkunjung ke pesantren untuk ikut pengajian atau hanya sekadar sowan saja. Pesantren yang mewarnai masa kecilku dulu semakin berkembang, santrinya bertambah, pengajarnya pun juga. Mbak Siti tetap berada pada posisi ter atasnya meskipun berbondong-bondong datang santri baru ia tak tergeserkan. Tetap teguh menyandang gelar santri teladan. Bahkan ia pula mengajak teman-teman desanya untuk iku ngaji disini. Setelah sekian tahun kemudian, banyak kawan-kawan ku sudah tak mengaji disitu, santrinya baru baru semua. Hanya beberapa saja yang kukenal. Mbak Siti pun sudah tak tahu kabarnya entah kemana. Setiap kali aku sowan tak kulihat parasnya lagi. Aku bertanya kepada santri santri baru itu, dan tak seorangpun kenal mbak Siti. Berarti ia sudah lama meninggalkan pesantren, pikirku.

Hingga kemudian menginjak bangku kuliah, semakin jarang aku sowan ke pesantren. Kunikmati masa muda dengan teman teman baruku dengan hiruk pikuk kota yang penuh hingar bingar. Aku sudah jauh dengan kultur pesantren. Hanya setiap ramadan saja kusempatkan ikut ngaji kilatan di pesantren dekat kontrakan untuk sekedar ber-nostalgia. Kota ini merubah karakter dan sikapku, kota ini juga merubah mindset dan pandanganku. Pengajaran pesantren yang pernah menghiasi tak lagi kujumpai di bangku kuliah ini. Dulu, guru itu merangkap banyak posisi kadangkala menjadi guru, kadangkala menjadi ayah, kadangkala menjadi teman. Kepatuhan adalah yang nomor satu. Namun, pandanganku sudah berubah. Guru tak boleh dibantah dan harus dipatuhi segala tutur katanya bagiku adalah kuno. Guru disini adalah pengajar dan merangkap sebagai pegawai saja.

Disini, sering ku habiskan waktu malamku di kedai kedai kopi, sendirian tak ada teman. Kunikmati malam dengan segala keheningannya untuk sekedar membaca buku, menulis cerpen, hingga mengingat ingat masa kecilku untuk kuambil ide cerita. Semua keresahan menjadi sirna kala aku bertalu dengan malam. Berpendar pendar ide, berjejer jejer hikmah terpampang jelas di benak. Semuanya selalu keluar di waktu itu. Sembari menunggu pesanan kopi datang, beragam informasi terbaru ku tonton i termasuk keresahan hati kawan media sosial yang diumbar umbar, yang terpampang di beranda. Kadang berupa celotehan singkat, kadang pula panjang berbait-bait. Sudah seperti penyair saja. 

Lama aku melihat berita berita itu hingga akhirnya membuatku jenuh. "Ah kututup saja handphone ini, beritanya membosankan, politik semua".  Sebelum kumatikan daya, mendadak aku terbelalak melihat postingan video seorang bocah yang masih berusia kisaran empat tahunan, melantunkan ayat qur'an bil qhoib alias tanpa melihat qur'an, menakjubkan. Aku pun penasaran, lantas kucari cari akun yang memosting video itu. Akhirnya ketemu juga, kulihat foto profilnya seperti aku kenal orang ini. Pria berbaju putih, bersongkok hitam, dengan simpul senyum di bibir, wajahnya tak asing. Ternyata pria itu adalah putra kiaiku waktu di pesantren dulu, yang biasa kupanggil "gus" . Terakhir aku berjumpa dengannya yaitu saat aku masih menginjak kelas delapan SMP, "sejauh kamu berlayar jangan sampai lupa akan tempat kembali" kata kata terakhir sebelum berpisah lama yang masih kuingat, diucapkannya di dalem saat kami ngopi di waktu malam seperti ini, dan bocah yang terlihat di video adalah putranya, cucu kiaku. Akupun tersentak hebat. Bocah sekecil itu menyadarkanku akan sebuah keterpurukan jiwa. Ayat suci yang dulu kusimak dan kubaca tak lagi mewarnai kehidupan. Ayat ayat yang telah kuhafal sedikit demi sedikit hingga akhirnya merata semua hilang dari ingatan. Sholat ku yang selalu jama'ah menjadi kenangan yang terlalu manis untuk dilupakan, sekarang sudah sholat sendirian kadang telat telat bahkan terlewat. Sorogan yang begitu seksama hanya kurasakan setahun sekali saja. Kelakuan ku sudah tak santri lagi. Sejenak kutundukkan wajah ke bawah. melihat kembali segala pernak pernik hidupku sejak aku menginjak kota.. Wajahku muram, hatiku bergetar. Aku seperti manusia yang penuh penyesalan.

Aku masih melanjutkan penjelajahan di beranda dengan setumpuk sesal yang tersisa, sontak kulihat foto remaja perempuan dengan segala umbaran pada badan, berpose menggelikan. Seketika itu juga langsung kumatikan handphone tanpa pikir panjang. "Ah postingan begini muncul lagi". gumamku kesal. Sekelibat sebelum layar HP itu mati, ingatanku menerbangkan menuju masa laluku, "seperti aku pernah melihat wajah perempuan itu", ucapku dalam batin. Aku pun dengan sesegera mungkin menghidupkan kembali layar HP itu. Berharap postingan tadi belum hilang dan...

Mata ku terperanjat melihat sinar HP yang masih tetap menyorotkan foto perempuan tadi menjadi sangat jelas bahwa ia adalah perempuan yang pernah kukenal, tidak salah lagi.

Handphone kubiarkan terjatuh dari genggaman tangan, ku biarkan tergeletak begitu saja di atas meja. Dengan mata terbelalak hanya bisa kupandangi foto itu sambil menghisap sisa rokok ku yang masih ada . Dengan suara parau aku berucap "Ya Allah..."

Mbak Siti. Sang santri teladan yang sudah hilang kabar bertahun tahun lamanya yang pernah ku kenal semasa di pesantren dulu sudah tak berjilbab lagi, rambutnya diwarna macam macam, pakaian nya ketat, rok nya minimalis, auratnya diumbar kemana mana. Entah dasar apa yang melandasi keberanian nya mengumbar kesucian itu. Aku tak tahu

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun