Mohon tunggu...
Abdi Galih Firmansyah
Abdi Galih Firmansyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Negeri Malang

Menebar benih kebaikan, menyemai bunga peradaban, panen kebahagiaan.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Antara Menulis demi Mendapat Kompensasi dengan Menulis Tanpa Ingin Imbalan: Lebih Baik Mana?

24 Maret 2022   21:55 Diperbarui: 24 Maret 2022   22:09 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
diambil dari https://yayanmusthofa.wordpress.com/

https://yayanmusthofa.wordpress.com/

Jika kau bukan anak raja, juga bukan anak Ulama besar, maka menulislah!

(Imam Ghozali)

Terlahir sebagai anak muda yang berkutat dalam dunia literasi seyogyanya membiasakan diri untuk menulis merupakan hal yang memang seharusnya menjadi rutinitas. Menulis apa saja: diary, puisi, cerpen, artikel dan segala mecem. Sang legenda sufi mengatakan, Jika kau bukan anak raja, juga bukan anak Ulama' besar, maka menulislah!. Mari coba kita telisik mengapa sang Imam menganjurkan untuk menulis? menulis memang bukan perkara mudah, dibutuhkan semacam keterampilan khusus yang dilatih secara berkala dan juga kiat-kita kesungguhan untuk memulainya. Akan tetapi di balik itu semua terdapat hikmah-hikmah baru yang membuat akal dan hati saling bersinergi dalam menjalani aktivitas sehari-hari. Membiasakan diri untuk menulis dapat mencerahkan pikiran, meluaskan pengetahuan, juga dapat terhindar dari kelalaian dan kemalasan. 

Agar kualitas tulisan yang kita hasilkan itu bagus, antara menulis dan membaca harus seimbang. Menulis saja, tanpa membaca: karakter tulisan kita tidak akan berkembang. Begitu pula sebaliknya, membaca tanpa menulis juga akan membuat kepenulisan kita kurang terampil. Satu lagi, membaca pun harus seimbang antara fiksi dan non fiksi (karya ilmiah). Fiksi untuk asupan hati, non fiksi untuk asupan akal. Keseimbanngan antar fiksi dan fiksi akan memebentuk karakter yang sersan, serius tapi santai. 

Antara Menulis Demi Mendapat Kompensasi dengan Menulis Tanpa Ingin Imbalan: Lebih Baik Mana?

Akhir-akhir ini saya sering dihadapkan perdebatan antara dua pendapat di atas di otak saya. Kira-kira menurut kompasianer lebih baik mana?

Tentu, kedua pernyataan itu tidak ada yang salah. Menulis demi mendapat kompensasi itu baik, wong menulis memang pekerjaan halal, mulia pula. Begitupun menulis tanpa ingin imbalan, berarti menulis dengan ikhlas toh? itu juga baik. Oke, saya mencoba menarik benang putih di antara kedua pernyataan di atas. Memang keduanya baik. Tapi untuk keberlangsungan proses menulis itulah yang nantinya dapat memberikan pengaruh dan dampak yang berbeda.

Menulis demi mendapat kompensasi merupakan hal yang wajar, pun tak salah. Lalu kira-kira pengaruh apa yang akan dialami penulis ketika memilih sikap tersebut? 

karena di awal sudah berkeinginan mendapat kompensasi, orientasi menulis pun akan bergantung pada selera para pembaca. Apa yang viral saat ini, ya itulah yang ditulis. Sikap ini membuat si penulis tidak dapat bebas mengekspresikan ide yang ia mau, karena tidak semua ide yang ditulis dapat dilahap nikmat oleh pembaca. Itulah salah satu kekurangan sikap menulis pertama. Kemudian, dalam konsistensi menulis juga berdampak. Ketika keinginan menulis untuk meraih kompensasi maka kiat-kiat kepenulisan akan menjadi mohon maaf, agak kotor. Karena, menulis sendiri merupakan kegiatan mulia juga terpuji, maka kemurnian kepenulisan itu dapat jadi mohon maaf sedikit kotor jika dikaitkan dengan keinginan di luar menulis. Misalnya ingin dapat kompensasi, dipuji orang, ingin dipandang keren dan sejenisnya. 

Menulis Tanpa Ingin Imbalan

Memilih untuk menjaga kemurnian amal tentu sangat baik sekali. Menulis karena Allah SWT, menulis untuk membagikan kemanfaatan, menulis untuk berbagi pemikiran, menulis untuk menjadi manusia literasi. Intinya menulis yang benar-benar menulis. Itu bagus. 

Bukankah, ketika menulis memakan banyak waktu, pikiran, dan tenaga? lantas apa yang menjadi pengganti?

Benar, menulis memang melelahkan, memakan banyak waktu, pikiran, dan tenaga. Lantas apa yang membayarnya? tenang, menulis tak se-ngeri itu, jangan membayangkan pekerjaan menulis sama dengan tukang bangunan yang bekerja seharian tanpa digaji. Tidak. Menulis punya magis nya sendiri yang dapat membuat puas si penulis dalam dunia rekaannya. Tanpa dibayar pun tak akanlah mereka merasa rugi, justru sebaliknya kebebasan-lah yang digenggam meski dalam kesendirian. Seperti halnya baca Qur'an itu. Satu surat yang dibaca dengan angen-angen maknanya, jangankan satu surat, satu ayat saja. Waah itu nikmat sekali. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun