Mohon tunggu...
Abdi Galih Firmansyah
Abdi Galih Firmansyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Negeri Malang

Menebar benih kebaikan, menyemai bunga peradaban, panen kebahagiaan.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kaligrafi Buat Apa?

21 Februari 2022   00:13 Diperbarui: 21 Februari 2022   00:28 597
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dewasa ini, kita sering dibuat resah, bingung, ataupun stress oleh adanya informasi yang membludak di platform media sosial. Kevalidan data pun terkesan diabaikan oleh si penulis ataupun si pembaca. Bahkan setelah kita mencoba naik satu leval di atasnya, yaitu di ranah kemanfaatan, kebermanfaatan, serta kebaikannya pun belum nyampe juga. Membuat kita tiba-tiba jadi terbuai, hilang fokus dari kesadaran penuh. Fenomena ini terjadi bertahun-tahun lamanya tanpa ada solusi nyata dari kita atupun pemerintah, ibarat mbah kakung yang lagi marah-marahnya ketika menyuruh sang cucu beli rokok, sedangkan sang cucu tebuai asyik chattan sama ayangnya. Keresahan ini butuh pelarian yang memang benar-benar jauh dari dunia retorika. Sifatnya, harus keterampilan !

Salah satu jalan pelariannya, saya biasa lari ke Kaligrafi. Khususnya Kaligrafi Klasik. Pelarian ini, bagi saya merupakan kedamaian tersendiri, walaupun terkadang kemurinan kedamaian itu kecipratan kotoran dikit, tapi masih bisa diusahakan-lah. Lalu, kenapa kok milih Kaligrafi klasik? justru kata "kenapa" sama sekali tak pernah terlintas di benak saya ketika memulai menulis Kaligrafi. Entah...

"Kenapa", setelah berjalannya waktu, akhirnya bisa merasakan manfaat hebat dari seni Kaligrafi. Mulai dari tangan, kaki, kepala, sampai hati. Dan ternyata sekujur tubuh pun kok merasakan? Ya Alhamdulillah. Mungkin ini suatu hal baru yang perlu didengar, bahwasannya teori itu bukan dicari. Teori itu harus kita dapat dari pengalaman hidup. Ya, harus rajin-rajin aja melatih kepekaan.

Di paragraf ini, saya akan menjabarkan lebih luas dikit di ranah Kaligrafi. Subjektivitas nomor satu. Intinya, Kaligrafi itu seni menggores, bukan menulis. Untuk menulis itu urusan nanti. Yang pertama harus dirasakan adalah "menggoresnya" bukan "menulisnya". Goresan tinta itulah yang mengantarkan kita ke alam ketelitian. Yaitu, alam dunia lain yang hanya bisa dimasuki oleh para kaligrafer klasik khususnya. Dan para seniman, umumnya. Kegiatan menggores tinta di atas kertas yang dilakukan secara terus menerus, akan melatih tangan untuk lebih berkutat pada kebaikan. Dari tangan mengalir ke kaki, kepala, mata, mulut. Sampai akhirnya, sekujur tubuh-pun full naluri kebaikan. Hal baru ini tidak akan pernah didapat oleh mereka yang mencari teori. Mereka yang mau mengalir saja yang dapat menemukan.

Dalam Kaligrafi, antara pena/Handam dan tinta harus konsen. Tingkat kesedaran seorang kaligrafer itu dapat dilihat seberapa hebat ia menjaga kebaikan pena dan tinta-nya. Pena yang bagus akan melahirkan kepribadian yang bagus. Tinta yang sesuai dengan selera, akan mengalirkan naluri kebaikan di sekujur tubuh. Menggores syair-syair karya ulama akan membuat cerah pemikiran, walaupun tanpa mengerti apa arti sya'ir tersebut. Karena pada dasarnya, tulisan arab itu mengandung sastra yang bisa didapat sekalipun tak faham sastra Arab. Untaian kata-kata, tidak serta merta ditulis tanpa adanya penghayatan, dan perenungan-perenungan sedemikian rupa. Yang jelas, belajar balaghoh itu sulit, tapi pasti paham.

Satu lagi, "Kepedulian". Kaligrafi mengajarkan manusia untuk lebih peduli terhadap apapun yang disekelilingnya. Baik manusia ataupun non manusia. Mereka yang sudah menyatu dengan tarkib-tarkib akan membikin tarkib itu ke dalam hubungannya dengan manusia lain. Manusia lain akan dibuatnya indah oleh mereka yang sudah menyatu dengan tarkib. Langkah mereka pun akan disesuaikan dengan huruf-huruf yang sudah menyatu dengannya. Untuk konsisten atau kegiatan yang sifatnya serius, mereka biasa melihat alif Riq'ah. Tapi untuk hal yang santai, sifatnya gurauan, mereka biasa pakek kalau nggak Ya' ya Ba'. Dan masih banyak lagi pilihan huruf yang bisa dipakai. Dan untuk menyatu dengan huruf-huruf itu, dibutuhkan latihan yang terus menerus serius.

Bukankah variatif sekali kehidupan mereka.

Kaligrafer biasanya mereka disebut Khattath. Dan tulisannya itu Khat. Seorang Khattath memiliki kepribadian yang mulia, mereka mengabdikan dirinya hanya untuk kaligrafi. Kehidupan mereka sangat sederhana dan jauh dari dunia. Ciri khas dari mereka adalah suka guyon, sering tertawa, dan melanggengkan senyumnya di hadapan orang lain. Mereka lebih menekankan syukur daripada istighfar. Seberapa besar kesulitan yang dihadapi, akan hilang digoresnya. Kehidupan di mata mereka dibuat gampang saja. Hal yang sepele, akan dibuat indah oleh mereka, dengan kemampuan tarkib kehidupannya. "Mereka itu orang yang santai tapi punya kualitas dan seringkali keluar dari konteks kehidupa normal". Sangar wis pokok e

Plato mengatakan: Al-Khatt 'Aqolul 'Aqli. "Kaligrafi itu diatas orang berakal".

Sekian dari saya, nggak perlu panjang-panjang

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun