Mohon tunggu...
Abdi Galih Firmansyah
Abdi Galih Firmansyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Negeri Malang

Menebar benih kebaikan, menyemai bunga peradaban, panen kebahagiaan.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Memulai Perubahan

20 Desember 2021   23:51 Diperbarui: 21 Desember 2021   08:47 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Hidup di alam dunia ini banyak orang yang bilang singkat, singkat saja, paling-paling cuma 60-an tahun. Nabi Muhammad wafat di umur 63 tahun, umatnya ya kemungkinan besar nggak jauh dari itu. Tapi entah kenapa, saya justru merasa sebaliknya, 60 tahun bukan waktu yang sedikit, 60 tahun itu lama. Coba bayangkan para penghafal quran yang intensif ditempa di pesantren, hari-harinya hanya disibukkan untuk qur'an, qur'an, dan qur'an, butuh waktu 2 sampai 3 tahun saja untuk mengkhatamkan-nya, ada yang menyelesaikan hanya dalam waktu 1 tahun bahkan masih ada yang lebih cepat daripada itu, kurang lebih 6-7 bulan. 

Misal kita ambil sampel 63 tahunan lah, dipotong usia kanak-kanak kira-kira 15 tahun, berarti kita masih punya waktu 48 tahun untuk berintensif  pada bidang-bidang disiplin ilmu yang lain. Bukannya masa berkeluarga juga dipotong ? masuk akal, akan tetapi menurut hemat saya, masa berkeluarga bukanlah suatu alasan yang cukup dijadikan alasan untuk tidak menekuni bidang-bidang keilmuan, berkarya, berinovasi, menonton film, membaca buku, dan lain lain. Yang membedakan hanyalah kadar keintensifannya saja yang sudah tak se-fokus di kala masih muda dulu. 

Banyak, para musisi, seniman, novelis, ataupun pelukis di luar sana yang masih istiqomah menelurkan karya fenomenal meskipun sudah berkeluarga. Itukan bidang seni, kalau yang berbisnis gimana? yang menjabat DPR? yang menjadi buruh pabrik? yang kerja kantoran?  Jawabannya sama, tetap itu bukan suatu alasan yang tepat, karena pada hakikatnya seni itu luas sekali, seni tidak hanya melukis, menggambar, bersastra, ataupun bermusik. Seni lebih luas daripada itu. Selama masih dapat ditangkap oleh kelima panca indra, maka hal apapun itu, bisa dijadikan objek seni. 

Sampai sekarang pun saya pribadi belum menemukan definisi konkrit daripada seni itu sendiri apa?. Ya, karena memang seni itu luas, tak terbatas tempat dan waktu di ruang kehidupan nyata, kalau toh sudah kehabisan bahan di situ meski mustahil terjadi ya, kan masih ada ruang imajinasi yang sangat tidak terbatas untuk mengeksplor objek seni, malahan kita sendiri yang merakit objek itu sebebas keinginan kita.

Artinya, sisa waktu 48 tahun itu masih bisa dimanfaatkan sebaik mungkin untuk menekuni bidang kesenian atau keilmuan.

Sudah saatnya untuk memulai perubahan, pembenahan, revolusi, pembangunan, dan pengembangan-pengembangan pada karakter, pikiran, jiwa, dan fisik sedini mungkin guna membentuk integritas. Mumpung masih ada waktu untuk berbenah diri.

Unek-unek itu tiba-tiba muncul di benak saya, dikala kebosanan akan pengalaman hidup yang itu-itu saja. Bosan akan asap rokok yang selalu mengepul di kamar tidur membuat bibir dan jantung menjadi kurang normal, awalnya berdalih untuk kesegaran pikir, refleksi otak, dan instrumen berinspirasi. Akan tetapi lama-lama secara tidak sadar, merokok membuat ketegaran mental menjadi lemah serta membelenggu diri sendiri. 

Dimana ketika dulu waktu menghadapi berbagai macam kegagalan dapat bangkit seketika walau tanpa rokok. Sekarang? ya harus menyulut dulu baru bisa bangkit. Untuk menyelesaikan pekerjaan yang dapat diselesaikan hanya dalam sepersekian menit saja bisa molor sampai berjam-jam karena disibukkan menghisap rokok disela-sela bekerja.

Kemudian ada lagi yaitu sosmed (sosial media). Entah kenapa ketika dihadapkan oleh suatu kemajuan teknologi seolah-olah keangkuhan seketika muncul dalam masing-masing pribadi. Dahulu, waktu sosial media belum gencar-gencarnya, Tak ada itu yang namanya susah, gelisah, bahkan kecurigaan akan hal-hal yang masih asumtif. Sinyal jelak susah, sepi chat susah, melihat kebahagiaan teman di laman story susah. Seolah-olah kita hanya hidup di depan kotak persegi panjang 20 sentian yang melelahkan mata.

Kehidupan yang menyediakan luasnya lingkungan canda tawa di manapun itu, di perkebunan, persawahan, kamar kos, pondok pesantren, bahkan di pinggiran jalan tetap bisa digaungkan walaupun dengan bahan yang sangat sederhana sekalipun. Akan tetapi, semenjak kehadiran medsos, ruang-ruang itu seolah sudah tak dianggap lagi kemurniannya. Dimana rasa alam yang khas sudah tergeser oleh sulapan foto-foto yang berdampak pada keegoisan, dan bangga diri.  

Karesahan-keresahan itu yang membuat saya ingin memulai kehidupan baru, yaitu dengan merumuskan formula-formula unik sarat akan kesehatan pikir, jiwa, kebersihan hati, yang berbeda dari kebanyakan orang, demi meraih kemurnian kehidupan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun