Kulihat ibu-ibu petani desaku menebar benih kebaikan di pagi hari
Keesokan harinya mereka mulai menyemai bunga-bunga peradaban di sore hari
Bocah pengembala kambing melayangkan mimpinya tanpa arah di tengah sawahÂ
Suatu hari nanti aku ingin jadi sarjana.
Kalo aku jadi presiden.
Ku ingin punya rumah mewah bergaya spanyolan.
aku ingin jadi petani desa saja.
beragam mimpi-mimpi terdengar di telinga, walau nurani nampak apatis belaka.Â
Sementara perhatianku tetap terpesona melihat ibu-ibu menyemai bunga
Sesekali kubantu menyiram tirta kehidupan di atas bunga-bunga.
mawar melati melambaikan indonesianya
bunga matahari selalu pancarkan kasih sinari pulau papua
kupu dan kumbang beterbangan ratakan kesenjangan ekonomi
Kemari nak, mari makan sini!.
panggil ibu itu yang memancar kasih di bibirnya
singkong rebus kita makan bareng-bareng jauh dari terik kesenjangan kota yang hingar bingar.
Ibu-ibu itu senyumnya tuluuus sekali...
Pagiku kuhabiskan bersama mereka, bersilaturasa, bersuka cita...
Hingga sampai di akhir cerita, sang ibu menghadiahkan sebuah buku tebal dibungkus selembar kain katun.
Ambil ini nak, bacalah, simpan baik-baik! Wajahnya penuh cerah mentari dibalut kepercayaan.
Kalau sudah beres jangan lupa mampir ke desa lagi yaa!Â
ku buka kain itu, dan kulihatlah sebaris judul: "Membangun Peradaban dari Pojok tradisi".
Malang, 16-Desember-2021.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H