Sore itu jalan raya tampak tidak terlalu padat oleh kendaraan yang melintas, tidak seperti hari-hari biasanya yang selalu penuh sesak oleh berbagai jenis kendaraan yang berlalu lalang. Hanya sesekali saja terlihat mobil melintas dengan cepat membelah keheningan. Bau segar air hujan masih tercium jelas, memang beberapa saat lalu hujan mengguyur sangat deras hingga meninggalkan genangan-genangan air yang seakan menunjukkan jika jalan itu tidak rata. Beberapa pengendara motor juga terlihat masih mengenakan jas hujan, meskipun ada juga yang terlihat menggigil basah kuyup sambil memacu motornya dengan kecepatan sedang. Tampak seorang anak jalanan berjalan pincang menyusuri trotoar yang masih basah tanpa mengenakan alas kaki, terlihat balutan kain kotor di kaki kirinya mungkin untuk menutupi lukanya. Dari raut wajahnya tergambar dengan jelas beban hidup yang harus dia tanggung sejak dia berusia masih sangat muda.
Sebuah halte tua kumuh yang berada tidak jauh dari jembatan penyeberangan tampak cukup sepi, hanya ada beberapa orang yang berada disitu. Seorang penjual rokok keliling yang berdiri diujung halte tengah berbincang dengan seorang kakek berkacamata yang kira-kira berusia lebih dari setengah abad.
“Sudah lama jualan rokok bang??”. tanya kakek berkacamata.
“Waahh saya mah udah lama banget pak jualan rokok seperti ini, sekitar sebelas tahunan dari mulai saya lulus sekolah”. jawab penjual rokok dengan logat sunda yang masih kental.
“Hmmmm berarti sudah lama banget ya bang, kenapa tidak cari pekerjaan yang lain saja?? Kan sekarang banyak sekali lowongan di koran”. kembali sang kakek bertanya.
Sambil meletakkan dagangannya di bawah si penjual rokok berkata, “Sudah kesana kemari saya melamar pekerjaan pak, tapi dengan ijazah SMP yang saya punya hanya ini pekerjaan yang pantas dengan saya”.
Perbincangan hangat antara penjual rokok dan kakek berkacamata itu tidak berlanjut, keduanya kembali terdiam. Disebelah dua orang yang sedang berbincang tersebut duduk seorang pengamen yang tengahsibuk menghitung hasil jerih payahnya seharian, ia seakan tak mempedulikan obrolan antara penjual rokok dan kakek. Diujung lain halte tampak dua orang anak sekolahan sedang duduk terdiam karena kedinginan. Selang beberapa saat kemudian salah seorang anak sekolahan yang memakai topi mengeluarkan sebuah kantong plastik hitam besar yang cukup kusut dari dalam sakunya, ia pun melepaskan sepatunya lalu memasukkannya kedalam kantong plastik tersebut, selanjutnya mengeluarkan sepasang sandal jepit dari tas sekolahnya.
“Lengkap juga yang kau bawa fer”. Kata Bayu
“Ya buat jaga-jaga saja bay, ada manfaratnya juga kan”. Jawab Ferry (anak sekolahan yang mengenakan topi).
Setengah mengejek bayu menyahut, “hahahahaha kamu kayak anak SD aja fer hari gini masih bawa-bawa beginian, kita kan udah SMP masak masih ..”.
“Memangnya salah ya kalo anak SMP bawa beginian, aku juga belum pernah denger tu pemerintah buat peraturan yang tidak memperbolehkan anak SMP bawa sandal jepit sama kantong plastik ke sekolah .. lagian gak ada yang merasa dirugikan juga”. Firman memotong ejekan bayu.
“Iya juga sih .. memang ada benernya juga katamu, tapi kamu gak malu apa kesekolah bawa-bawa sandal jepit sama kantong plastik jelek gitu”. Sambung bayu.
“Yeee .. kenapa harus malu coba, lagian jelek-jelek gini ada manfaatnya juga kan bay kantong plastikku ini”. terang firman.
“Terserah kamu aja lah man”. Kata bayu sedikit kesal.
“Itu lihat sepatumu sudah lumayan kotor kena becek, apalagi nanti pas sampai rumah .. mungkin bisa ditanami jagung bay”. timpal firman sambil menahan tawa.
Bayu hanya diam saja sambil memandangi sepatunya yang memang sudah sangat tebal karna lumpur yang menempel di bagian bawah sepatunya. Sekilas Bayu tampak seperti orang yang baru saja pulang dari sawah atau berkebun. Beberapa saat kemudian keduanya terdiam. Suara kondektur bus yang terdengar berat khas perokok memecah keheningan.
“Man kok lama banget ya angkotnya”. Bayu membuka kembali percakapan.
Sedikit terkejut firman menimpali, “eh .. iya nih bay sudah setengah jam lebih kita duduk disini, gak biasanya angkotnya telat lama gini”.
“Mana dingin banget lagi udaranya”. Sambung bayu.
Firman membalas ucapan bayu hanya dengan mengangguk pelan, rupanya mata firman tertuju pada tukang becak di seberang jalan yang mengayuh becaknya dengan nafas terengah-engah melintasi jalan raya yang lengang. Beberapa saat kemudian sebuah mobil pick-up berhenti tepat didepan mereka berdua. Mobil itu tidak mengangkut barang atau semacamnya, namun mengangkut beberapa anak yang memakai seragam SMA lengkap dengan tas dan perlengkapan lain yang basah kuyup. Kemudian dua orang anak turun dari mobil pick-up itu, lalu mobil tersebut kembali berjalan dan perlahan-lahan menghilang di antara gedung-gedung bertingkat.
Satu per satu orang yang berada di halte itu mulai pergi dengan bus maupun angkot hingga tinggal menyisakan pengamen dan dua orang anak SMP yaitu bayu dan firman. Beberapa menit kemudian sang pengamen yang tampak telah selasai menghitung uangnya naik sebuah bis antar kota dan menghilang bersama bus itu diantara tetesan air hujan yang kembali berjatuhan menghujam bumi dengan derasnya. Firman dan bayu yang sudah mulai gusar pun akhirnya memutuskan untuk menghentikan laju sebuah taksi yang tengah melintas pelan dan meninggalkan halte itu, mungkin mereka mulai tidak sabar menunggu angkot yang tidak pasti kapan akan datang menjemput mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H