Pada tahun 2019, Italia menjadi negara pertama di antara anggota Kelompok Tujuh (G7) yang menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) untuk bergabung dengan Belt and Road Initiative (BRI), proyek ambisius Tiongkok untuk membangun jalur perdagangan global yang terhubung. Pada saat itu, langkah ini dilihat sebagai upaya berani untuk membuka akses pasar bagi barang-barang Italia di Tiongkok, meningkatkan ekspor, dan menarik investasi dari Tiongkok. Namun, harapan besar ini belum terwujud. Menteri Luar Negeri Italia, Antonio Tajani, pada tahun 2023 menyatakan bahwa BRI gagal memberikan manfaat ekonomi yang signifikan bagi negaranya.
Proteksionis
Italia memasuki Belt and Road Initiative (BRI) pada tahun 2019 dengan harapan besar. Sebagai satu-satunya anggota G7 yang bergabung, Italia melihat BRI sebagai peluang strategis untuk meningkatkan hubungan ekonominya dengan Tiongkok. Pemerintah Italia berharap inisiatif ini akan menjadi katalisator utama untuk memperluas ekspor barang-barangnya, khususnya produk-produk unggulan yang telah menjadi identitas nasional, seperti barang mewah, anggur, serta makanan khas Italia. Dengan meningkatnya akses pasar, Italia membayangkan pertumbuhan signifikan dalam perdagangan bilateral yang dapat mendukung perekonomian domestiknya.Â
Namun, kenyataan selama periode 2019–2023 menunjukkan hasil yang jauh dari ekspektasi. Berdasarkan data perdagangan, kontribusi ekspor Italia ke Tiongkok tetap kecil jika dibandingkan dengan negara-negara besar Uni Eropa lainnya seperti Jerman dan Prancis. Jerman, misalnya, secara konsisten menjadi mitra dagang terbesar Tiongkok di Eropa, sebagian besar berkat hubungan dagang yang telah lama terjalin dan skala ekonomi Jerman yang lebih besar. Prancis juga memiliki pangsa pasar yang lebih besar di Tiongkok melalui sektor seperti teknologi, pertanian, dan aviasi.
Sebaliknya, Italia menghadapi tantangan struktural dalam menembus pasar Tiongkok. Produk-produk Italia seringkali bersifat niche, dengan target pasar kelas menengah atas hingga premium, yang meskipun tumbuh di Tiongkok, tidak cukup signifikan untuk menciptakan lonjakan ekspor. Selain itu, kurangnya kehadiran merek Italia di pasar Tiongkok dan hambatan regulasi yang diterapkan Tiongkok terhadap produk impor menambah kesulitan tersebut.
Di sisi lain, impor Italia dari Tiongkok justru tumbuh secara signifikan selama periode yang sama. Barang-barang seperti elektronik, tekstil, dan produk manufaktur mendominasi pasar Italia, menciptakan ketidakseimbangan perdagangan yang mencolok. Pada 2023, defisit perdagangan antara kedua negara semakin melebar, memperlihatkan ketergantungan Italia pada barang impor dari Tiongkok. Situasi ini tidak hanya memperburuk neraca perdagangan Italia tetapi juga menimbulkan kekhawatiran tentang dampaknya terhadap sektor manufaktur lokal, yang harus bersaing dengan produk-produk Tiongkok yang lebih murah.
Selain itu, investasi langsung Tiongkok ke Italia, yang diharapkan menjadi salah satu manfaat utama dari partisipasi dalam BRI, tidak meningkat secara signifikan. Meskipun ada beberapa investasi strategis seperti di sektor pelabuhan dan infrastruktur, nilai total investasi Tiongkok di Italia tetap kecil jika dibandingkan dengan negara-negara lain seperti Jerman atau Inggris. Hal ini mengindikasikan bahwa meskipun BRI menawarkan janji-janji besar, implementasinya tidak mampu menarik modal dalam jumlah besar ke Italia.
Ketergantungan Italia yang semakin besar pada impor Tiongkok, tanpa diimbangi dengan pertumbuhan ekspor atau investasi, menciptakan dinamika ekonomi yang tidak seimbang. Banyak pihak di Italia mulai mempertanyakan apakah keputusan untuk bergabung dengan BRI benar-benar menguntungkan negara tersebut, atau justru membuka pintu bagi ketergantungan ekonomi yang tidak sehat terhadap Tiongkok. Situasi ini menjadi latar belakang penting bagi Italia untuk mengevaluasi ulang keputusannya terkait inisiatif tersebut, terutama di tengah meningkatnya ketegangan geopolitik antara Barat dan Tiongkok.
Kebutuhan Strategis Geopolitik
Keputusan Italia untuk menarik diri dari Belt and Road Initiative (BRI) mencerminkan pergeseran mendalam dalam strategi geopolitik negara tersebut. Langkah ini diambil oleh pemerintahan Perdana Menteri Giorgia Meloni yang memprioritaskan penyelarasan Italia dengan blok transatlantik, terutama Amerika Serikat dan NATO. Dalam lanskap geopolitik yang penuh ketegangan, langkah ini tidak hanya bersifat simbolis tetapi juga strategis, menegaskan kembali posisi Italia sebagai sekutu yang dapat diandalkan bagi Washington dan bagian integral dari aliansi Barat.
Pemerintah Meloni memanfaatkan momentum untuk menunjukkan komitmennya terhadap pendekatan global yang dipimpin oleh Amerika Serikat. Salah satu langkah konkret adalah partisipasi Italia dalam Nota Kesepahaman terkait Koridor Ekonomi India-Timur Tengah-Eropa, sebuah inisiatif perdagangan baru yang dipandang sebagai alternatif strategis bagi BRI. Koridor ini tidak hanya dirancang untuk memperkuat konektivitas antara Asia, Timur Tengah, dan Eropa tetapi juga untuk mengurangi ketergantungan pada jalur perdagangan yang dikendalikan oleh Tiongkok. Dengan berpartisipasi dalam inisiatif ini, Italia menunjukkan dukungannya terhadap visi perdagangan global yang lebih terdiversifikasi, sejalan dengan kepentingan Barat.