Perkembangan internet yang semakin pesat berdampak besar terhadap aktivitas perekonomian masyarakat. Saat ini semakin banyak aktivitas transaksi bisnis maupun perdagangan menggunakan media internet.Â
Perdagangan elektronik dengan media internet, atau yang lebih dikenal dengan e-commerce, didefinisikan sebagai transaksi pembelian dan penjualan barang dan jasa secara fisik menggunakan peralatan komunikasi elektronik, seperti telepon, komputer pribadi, online kiosk, Automatic Teller Machine (ATM), smart card atau smart phone, melalui saluran telekomunikasi seperti jaringan telepon publik tradisional, jaringan komputer, jaringan komputer yang bergerak, dan sejenisnya (Mustika, 2008).
Semakin berkembang dan tersedianya teknologi internet telah memicu pertumbuhan e-commerce secara signifikan di Indonesia. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh IlmuOne mengenai posisi dan pertumbuhan e-commerce barang konsumsi di Indonesia selama triwulan satu dan dua 2017, rata-rata pertumbuhan marketplace mendekati angka 100%, sedangkan e-commerce mencapai angka 289% (idntimes.com). Pertumbuhan tersebut dikarenakan penggunaan smartphone yang semakin bertambah ternyata sejalan dengan peningkatkan trafik mobile terhadap situs toko online setiap tahunnya.
Dalam tingkat penjualan, Industri e-commerce memiliki potensi yang amat besar untuk berkembang. Berdasarkan grafik 1, terlihat bahwa pada tahun 2016 tingkat omset penjualan Industri e-commerce mencapai US$5,8 miliar dan pada tahun 2018 omset penjualan e-commerce mengalami peningkatan hingga mencapai US$8,6 miliar (databoks.katadata.co.id, 2018). Peningkatan penjualan ini ditopang oleh pesatnya kemajuan teknologi yang memberikan kemudahaan berbelanja bagi konsumen.Â
Di sisi lain, Berbelanja secara online juga telah menjadi salah satu aktivitas yang menarik karena memberikan pengalaman baru dalam berbelanja bagi para konsumen. Ini merupakan salah satu alasan konsumen mulai beralih dari sebelumnya harus ke pasar untuk membeli suatu barang (offline), dan sekarang mulai beralih secara digital dengan hanya mengunjungi situs belanja.
Berdasarkan hasil riset Google Temasek nilai transaksi (Gross Merchandise Value/GMV) E-commerce di negara-negara kawasan Asia Tenggara. Kawasan tersebut Diprediksi pasar e-commerce di Indonesia akan terus mengalami peningkatan dan lebih tingggi dibandingkan negara ASEAN lainnya seperti Malaysia, Thailand, Singapura, Vietnam, dan Filipina. Di Kawasan Asia Tenggara, Indonesia memimpin nilai transaksi e-commerce dengan nilai US$ 1,7 miliar pada 2015. Nilai tersebut akan melonjak 94% (CAGR) menjadi US$ 12,2 miliar pada 2018 dan tumbuh menjadi US$ 53 miliar pada 2025 (databoks.katadata.co.id, 2018).
Meningkatnya jumlah pengguna internet yang berdampak pada meningkatnya omset perdagangan elektronik ini nyatanya menimbulkan beberapa masalah dalam bidang keuangan, salah satunya adalah pajak penjualan internet (Rao, Leena, & Morgan, 2011). Adanya perdagangan elektronik yang tidak mengenal batas geografis tentunya juga menimbulkan pertanyaan mengenai bagaimana peraturan perpajakan dalam mengantisipasi adanya penghasilan dari transaksi e-commerce.Â
Tanpa adanya regulasi perpajakan yang tepat atas transaksi e-commerce, potensi penerimaan pajak atas transaksi e-commerce dapat menjadi hilang. Padahal potensi penerimaan pajak atas transaksi e-commerce sangatlah besar mengingat banyaknya transaksi e-commerce yang terjadi di Indonesia
Ada banyak permasalahan yang dihadapi dalam penagihan pajak atas transaksi ecommerce. Transaksi ini terjadi dalam waktu yang singkat, sehingga sangat sulit untuk melacak siapa saja pelaku transaksinya. Bentuk barang atau jasa yang diperdagangkan kebanyakan berformat digital (nonfisik) seperti software, video, musik, e-magazine, sehingga cukup menyulitkan dalam penentuan obyek pajaknya. Di samping itu, bukti transaksinya adalah bukti elektronis sehingga membuat transaksi e-commerce semakin susah untuk dideteksi.Â
Dan kendala yang terakhir adalah bahwa transaksi online tak hanya terjadi di dalam wilayah pabean Indonesia saja, namun terkadang menembus batas geografis negara lain (Mustika, 2008). Karena sifatnya lintas negara, banyak perusahaan e-commerce yang menjalankan bisnis secara online di suatu negara, meskipun tidak ada keberadaan secara fisik perusahaan di negara tersebut. Hal ini tentu akan menimbulkan kesimpangsiuran mengenai negara mana yang berhak memungut pajaknya, dikarenakan pengenaan pajak hanya mencakup sebatas di wilayah teritorial suatu negara.
Model bisnis berbasis elektronik atau e-commerce sangat berbeda dengan bisnis konvensional. Misalnya seperti amazon, ini memiliki markas tapi tidak punya outlet fisik. Beda dengan toko buku konvensional yang memiliki gerai di banyak tempat untuk menjangkau pasar (Irmawati, 2011). Untuk melakukan bisnis seperti rantai ritel, pelaku e-commerce dapat menikmati jaringan yang ada. Ini berarti melibatkan pihak ketiga yang menunjang pelaksanaan jaringan.Â
Proses pembelian bisa dilakukan secara online, namun pengirimannya dilakukan secara offline. Model lain dari produk dan layanan e-commerce yang ditransformasikan menjadi format digital (digital), umumnya berupa artikel, buku, lagu dan sebagainya dan dikirimkan ke perusahaan lain atau pengguna akhir. Model ini lebih sulit untuk refabrikasi dari mana ia pergi dan dimana disampaikan. Artinya, dibutuhkan cara untuk membangun lebih dari sekedar cara konvensional yang ada. Akibatnya, produk dan layanan yang didigitalisasi tidak hanya rawan penggelapan, tapi juga sulit menerapkan pajak apapun.
Dalam Pasal 2 Ayat (5) Undang-Undang PPh, dijelaskan mengenai pengertian Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang salah satunya mencakup adanya keberadaan fisik tempat usaha berupa tanah, gedung, peralatan, mesin, dan komputer, agen elektronik, atau peralatan yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik.Â
Dari definisi BUT di UU PPh tersebut, perusahaan e-commerce di luar Indonesia sulit untuk dikategorikan sebagai BUT, kecuali ada server yang terletak di Indonesia. Pasalnya, beberapa perusahaan e-commerce beserta seluruh asetnya tidak terletak di Indonesia dan tidak melaksanakan kegiatan yang secara fisik di Indonesia. Padahal bisa saja pendiri dan pemegang saham perusahaan e-commerce tersebut adalah orang Indonesia, dan notabene target konsumennya adalah orang Indonesia sendiri (Budilaksono, 2011).
Permasalahan lainnya yang muncul saat ini adalah Pemerintah belum maksimal memecahkan masalah anonimitas data pelaku e-commerce. Beberapa permasalahan yang dihadapi seperti sulitnya mengetahui pemilik sebenarnya dari situs e-commerce, sulitnya mengetahui lokasi sebenarnya dari pelaku yang banyak menggunakan domain dot com, mudahnya membuka dan menutup usaha melalui e-commerce, pelaku e-commerce di luar negeri yang tidak diwajibkan membuka kantor cabang atau perwakilan di Indonesia, keterbatasan dalam mendeteksi data transaksi e-commerce, mudahnya pelaku e-commerce menghapus informasi ataupun memberikan informasi yang dapat terjadi kesalahan dalam bertransaksi, metode pembayaran yang sebagian dilakukan secara tunai (cash on delivery), dan melalui banyak payment gateway yang berbeda-beda (Aprilia, 2014). Beberapa hal ini tentunya dapat menyebabkan sulit mengetahui nilai transaksi yang sebenarnya.
Beberapa negara telah memiliki regulasi perpajakan yang tegas terkait dengan transaksi e-commerce. Uni Eropa, misalnya, mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) atas setiap produk yang dapat diunduh, yang dikirimkan ke bisnis atau institusi pengguna akhir. Pengenaan pajak, di satu sisi, hal itu bisa berakibat melorotnya daya saing produk atau jasa serupa kepada pesaing luar negeri.Â
India dan Filipina tampaknya telah secara serius mempertimbangkan kebijakan pajak e-commerce di masa depan. India adalah salah satu kandidat raksasa teknologi informasi (TI) produk dan layanan yang mengekspor banyak e-commerce. Sebagian besar produk dan layanan seperti itu selama ini tidak dikenai pajak, sehingga negara rugi dalam hal penerimaan. Jika itu terjadi terus menerus, jelas negara akan kehilangan potensi pendapatan yang sangat signifikan di masa depan (Cockfield, 2006)
Banyak upaya yang dapat dilakukan oleh Pemerintah untuk meningkatkan efektivitas pengawasan transaksi e-commerce seperti memberikan sistem administrasi pajak yang sederhana dan efisien, perluasan definisi BUT dalam peraturan perpajakan domestik dan internasional, melakukan kerjasama dengan institusi keuangan, meningkatkan sumber daya petugas DJP dan melakukan pengawasan terhadap perusahaan ISP di Indonesia. Pemerintah juga dapat mencontoh langkah-langkah negara lain dalam menangani kasus perpajakan e-commerce ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H