“Apa nggak ada yang mau tukeran sama aku” gumamku, aku berjalan menuju bangku itu. “Cie…ciee….cia…cia… Nandi sama Nindy. Cie…cie…cie..” kupingku panas. Pak guru, apa kau tidak mau menyelamatkan aku? kenapa ikut senyum-senyum?
“Emang ada apa antara Nandi sama Nindy?”
“Pasangan baru pak” celetuk anak yang duduk di belakangku. Rasanya ingin ku bakar itu bibir monyong.
“ Wah..wah.., sudah mau ujian bukannya di putus malah baru membangun. Nandi dan Nindy, tolong berkonsentrasilah. Kasmarannya bisa di turunkan levelnya.”
“Huu.., cia..,cia…, yang lagi kasmaran di larang.”
“Sudah, kita lanjutkan pada bab selanjutnya.”
Mendidih ini hati, muka merah merona, hati berkecamuk. Rasanya ingin berteriak sekeras mungkin. Pikiranku melayang, terbang kesana kemari menertawai hatiku yang sedang terkepung setan bersenjata pensil.
“Kenapa, cuma diam aja sih? setidaknya, kamu katakan kalau semuanya itu salah.” Ku tulis di buku catatanku lalu ku sodorkan ke dia. Tanpa menuliskan jawaban, di kemablikan lagi bukuku. Mukaku garang, tanganku gatal.
“Ini aku pinjami bolpoint buat nulis.” Masih ku tulis di buku dan ku sodorkan lagi. Dia tetap diam, sok memperhatikan.
“Bisa nulis nggak sih?” aku kelepasan. Semua mata tertuju kepadaku.
“Ada apa, Nindy?” tanya pak guru.