Mohon tunggu...
Panggil aku, Ve
Panggil aku, Ve Mohon Tunggu... Penulis freelance -

Penulis, reporter, mantan aktivis kampus.\r\n\r\nSeorang yang sangat percaya bahwa masa depan berawal dari sebuah impian.\r\n\r\nMarried to Hasrul Setiawan (Ahmad Wahidi)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Aku, Gelar Sarjana dan Passion

23 Mei 2014   08:10 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:12 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

“Selamat ya, udah Sarjana…” Aku tersenyum. Disalami. Lantas datang lagi, “Cieeee sarjana…kakak kereeennn… udah pinter, aktivis,  IPKnya di atas tiga, bisa lulus cepat pula…”. Puji adik kelasku ketika aku keluar dari ruang sidang skripsi, sembilan bulan lalu. Mereka semua memuji dan mengagumi. Adik kelas, teman, sahabat, saudara, dan… barisan para mantan pacar.

Aku tahu, pujian dari mereka sangat tulus. Bagaimana tidak? Mereka melihatku, memperhatikan bahkan seringkali mencerna tiap butir kalimat yang kudengungkan sejak pertama kali mereka masuk ke kampus ini. Bangga? Alhamdulillah aku bersyukur. Terkadang khawatir dan takut. Sebab detik itu juga aku sadar, sampai kapanpun aku tetap akan jadi contoh. Tidak hanya untuk satu orang, tapi ribuan orang. Berlapis-lapis angkatan.

Sarjana, selayaknya episode akhir perjalanan seorang mahasiswa. Ditempuh dengan berbagai cara. Ada yang merangkak, berjalan, berlari… sedangkan aku, mahasiswa yang berlari mengejarnya. Ya, meski hanya berlari pelan, setidaknya angka kelulusanku terbilang cepat. Tiga tahun sembilan bulan. Bahagia? Pasti. Kebahagiaan terbesar karena telah berhasil menuntaskan janjiku pada orang tua. Aku sudah menyelesaikan apa yang aku mulai. Aku melihat jelas, mata kedua orang tuaku berkaca-kaca ketika wisuda. Walaupun namaku tidak masuk dalam daftar cumlaude, tapi namaku dipanggil sebagai mantan Ketua BEM yang lulus dengan IPK tiga koma dua enam. Kedua, karena mereka melihat bagaimana aku dicintai teman-teman, adik-adik dan sahabatku yang berbondong-bondong datang memberi selamat. Ada juga yang memberi sebungkus cokelat dan sekotak kado cantik.

Jika kamu bertanya seperti apakah perasaanku tatkala itu, sangat bahagia. Flying on the sky… begitulah rasanya. Tak terlukiskan meski ada jutaan pelukis handal di negeri Indonesia. Lega, seakan baru saja keluar dari ruang bernama the center of the earth.

Percaya atau tidak, perasaan itu hanya berlangsung seminggu, dua minggu, tiga minggu, satu bulan. Ya, hanya satu bulan. Bulan kedua, aku mulai gelisah. Sudah sepuluh perusahaan aku sambangi. Tak satu pun memanggilku. Kepanikan datang bertubi-tubi. Aku takut, sangat takut, karena aku melihat masa laluku yang pernah menjabat jadi Ketua BEM. Aku takut tidak bisa memberi contoh yang baik sebagai sarjana peternakan. Dalam pikiran gelapku, mantan Ketua BEM dari sarjana peternakan harus bekerja di bidangnya.

Hatiku terus bergejolak menginjak bulan ketiga. Bukan karena tidak ada perusahaan yang memanggilku, tetapi justru sebuah perusahaan besar dan ternama melirikku. Perusahaan yang sama, tempat dimana dua orang mantan Ketua BEM sebelumku berada. Aku takut, jika aku tak mengikuti jejak kedua orang itu, sama saja aku menghilangkan sejarah kesuksesan Ketua BEM menjadi contoh yang bekerja di bidangnya. Akhirnya, aku meminta saran orang-orang terdekatku. Kakak angkatku, satu orang adik angkatan yang sekarang menjadi penerusku dan seorang sahabat sekaligus mantan tangan kananku di BEM dulu.

Kakak angkatku bilang, “Wes takdirmu nduk, kamu ikuti jejak pendahulumu.”

“Mas yakin?” Aku balik bertanya.

“Yakin. Wes percoyo. Kowe mangkato rono.. Ono wae dalane. Allah punya rencana yang indah buat kamu, nduk.”

Kemudian aku gantian menatap sahabatku, meminta pendapat.  Sungguh mengejutkan, dia hanya memberikan tiga untai kata, “Ikuti kata hatimu.” Aku tertohok. Nyeri menelusup pelan-pelan. Hati kian bergemuruh. Logika terus memaksaku menjalani yang sudah ada di depan mata.

Sementara adik angkatanku? Tidak. Aku tidak bertanya padanya. Mahasiswa semester lima itu selalu percaya, aku bisa melewati dan mengatasi semuanya.

Singkat cerita, berangkatlah aku ke perusahaan itu. Memulai proses dari Semarang, Jakarta, Pontianak, lalu terakhir aku singgah di kota impianku. Kota Palembang. Palembang nan eksotis. Unik dan damai alamnya. Hari-hari pun terasa pendek. Baru saja masuk minggu pertama, tahu-tahu sudah minggu kedua. Ah, Palembang sungguh menghipnotisku.

Rupanya, hipnotis itu tak berlangsung lama. Mungkin karena hipnotis tak sekuat doktrin impian yang sudah membentuk karang raksasa di hatiku. Impian untuk menjadi penulis fiksi ternama dan bekerja sesuai passion. Bulan keempat, aku mulai tak nyaman dengan profesiku di perusahaan. Jika aku mengatakan benar itu menjadi salah dan perkataan salah menjadi benar. Diriku seakan hilang, terhapus oleh tuntutan karakter ke-profesian. Kastil imajinasi tersingkir oleh logika-logika yang tak mau berbagi. Tidak ada ruang untuk mendermakan khayal ke dalam kata-kata. Aku terjebak. Benar terjebak. Entah di mana jalan keluar.

Satu-satunya petunjuk di saat seperti ini adalah Sang Pencipta. Hanya Dia-lah yang tahu jawabannya. Selama bulan keempat dan bulan kelima, aku terus solat istikharah. Meminta yang terbaik di antara gelar sarjanaku dan passionku. Di akhir bulan kelima, Tuhan memberikan jawaban berupa sakit. Aku sakit, terserang typus. Ternyata apa yang dirasakan hatiku direspon oleh fisik sehingga hasilnya berbanding lurus.

Pada detik-detik ini, keputusanku sudah jelas. Hati kecilku sudah tak tahan dan memberontak. Ia berkata dengan lantang, “Jadilah dirimu sendiri! Jalanmu dan pendahulumu berbeda. Jangan takut. Lebih baik kamu memulai dari nol tapi sesuai dengan passion daripada kamu meneruskan sesuatu yang membuatmu tersiksa dan merugikan orang lain!”

Dan inilah jawaban-Nya. Tepat tanggal 28 April 2014, pesawatku mendarat di Bandara Soekarno-Hatta. Saat itu aku merasa lepas. Bebas. Membiarkan mereka tahu siapa diriku. Tak perlu lagi takut menunjukkan diriku yang sebenarnya. Tidak ada yang salah dan perlu dipersalahkan atas keputusanku ini. Semua berjalan seperti apa adanya. Sesuai garis takdirnya. Logika bisa dipaksakan tetapi hati punya aturan sendiri.

“Let it go, let it go

Can't hold it back anymore

Let it go, let it go

Turn away and slam the door

I don't care what they're going to say

Let the storm rage on

The cold never bothered me anyway” (Demi Lovato-Let It Go)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun