Mohon tunggu...
Panggil aku, Ve
Panggil aku, Ve Mohon Tunggu... Penulis freelance -

Penulis, reporter, mantan aktivis kampus.\r\n\r\nSeorang yang sangat percaya bahwa masa depan berawal dari sebuah impian.\r\n\r\nMarried to Hasrul Setiawan (Ahmad Wahidi)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sandiwara Cinta Andini

13 Januari 2015   03:34 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:16 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pucuk dedaunan berkilauan oleh embun. Di sudut tiang, seorang kawan yang cantik terus menggodaku. Aku marah, “Siapa yang ingin dininabobokan pesakitan? Apalagi ini masalah sakit hati. Tapi, sejak kapan aku merindukkannya. Sejak kapan aku mencemburuinya. Dia, aku baru mengenalnya. Setahun lalu. Tentu di cakrabirawa. Diam-diam merah jambu itu merasuk. Aku tergelepar. Jatuh pada pesonanya. Senyumnya. Matanya. Tutur katanya. Ah, alangkah menggoda.”

Hei, ini bukan kisah dua sejoli. Aku hanya memerankan sebagai… Andini. Putri seorang politikus dari Jakarta. Awalnya, aku tak mau memainkan peran ini karena Andini bukan aku. Aku pun bukan Andini. Beda jauhlah, antara aku dan Andini.

Kalau Andini, dia gadis dengan gengsi tingkat tinggi. Angkuh, tetapi cukup cerdas. Dia juga putri dari sosok yang sangat dibenci…ayahku. Tentu saja! Ayahku tak suka politikus pengerat uang rakyat. Ah, sialnya, di naskah ini aku harus memerankan sebagai putrinya.

Kau lihat? Pria berkacamata dan kharismatik itu. Dia lawan mainku, sebagai Narendra. Bagiku, dia biasa saja. Baru dua hari aku mengenalnya. Mahasiswa baru pindahan dari Jakarta. Mereka, para sutradaraku, ingin aku berkenalan dengannya. Tapi aku malas. Gayanya angkuh.

“Andini!”

Aku menoleh, “hei kau Luna! Jangan panggil aku Andini, namaku Sinta,”

Luna tertawa. “ Kau lucu. Memanggilmu Andini, supaya kau menghayati peranmu. Memang sih…waktu pementasan masih akhir tahun, tidakkah sebaiknya kau persiapkan lebih awal?”

“Diam kau! Lihat Raka?”

“Dia sedang mengurus berkas pencalonan Presiden BEM,”

Aku terdiam. Jantungku berdebar sangat cepat. Entah bagaimana perasaan ini terkuras untuk Raka. Dia tiba-tiba saja mengundurkan diri dari pementasan. Narendra kemudian menggantikannya.

“Sinta… kau jadi maju?”

“Entahlah… yang jelas aku tak mau membuat kekacauan di negeri ini,”

“Kau aneh. Ini hanya kompetisi tingkat universitas, bukan Negara.”

“Universitas adalah elemen Negara, tidakkah kau mengerti? Kau bisa lihat demo BBM kemarin. Yang melakukan mahasiswa, tapi yang terkena dampaknya seluruh Indonesia. Berikan aku waktu. Toh, aku lebih menyukai peran di pentas ini,”

“Baiklah, katakana saja yang kau butuhkan untuk kampanye, aku akan menyiapkan,”

“Lebih baik kau siapkan pakaian pentasku dan lawan main pengganti Raka.”

“Narendra?”

“Tak ada feel-nya…”

Feel?? Apa kau jatuh cinta pada….?”

“Oh..maksudku, aku baru mengenal Narendra, belum tentu bisa menghayati peran. Aku segera kembali,”

“Sinta tunggu…”

“Ada apa lagi?”

“Jangan katakan, kau tak sanggup menjadi rival Raka…”

**

Pementasan masih lama. Tetapi, rasa-rasanya peran Andini melekat dalam diriku. Andini, putri seorang politikus yang mengikuti jejak ayahnya. Dia naik ke tahta presiden mahasiswa. Mengalahkan sang pujaan jiwa.

Sedangkan aku? Aku tak bisa memilih. Entah kenapa Luna begitu memaksaku. Dia tahu aku benci politik. Politik seperti bunglon. Bermuka dua. Politik kejam. Membunuh hati siapa saja. Politik memecah belah. Tak mengertikah Luna akan hal itu? Jujur saja, tak siap jika aku menjadi rival Raka.

“Sinta…”

Aku masih sibuk membaca naskah dialog. “Ada apa?”

“Bisakah kau tinggalkan naskah itu sebentar saja? Aku ingin mengatakan sesuatu…”

“Nanti saja kalau soal Raka, biarkan aku konsentrasi dengan peranku ini,”

Aku beranjak. Tapi kulihat mata Luna sembab.

“Sudah lama ayahku terbaring di rumah sakit. Ibundaku telah tiada. Kini, hanya aku seorang harapan ayah satu-satunya…”

Langkahku terhenti. “Apa maksudmu?”

“Aku sangat mengerti perasaanmu. Aku mengerti kebencianmu pada politik. Aku mengerti ketidaksukaanmu pada perpecahan. Aku tahu kau sangat cinta perdamaian. Aku pun tahu…kau mencintai Raka...”

“Apa yang kau katakana? Hentikan. Hati-hati kalau bicara.”

Tiba-tiba Luna bersimpuh di depanku. Airmatanya deras mengalir. “Kumohon Sinta… gantikan aku… demi ayahku… kumohon…”

“Luna…”

**

Raka, kau seperti riak yang memenuhi samudera. Terombing-ambing laju gelombang. Kau tergoda karang-karang. Meninggalkan pelabuhan.

Ya, aku terpaku. Masih di ujung dermaga itu. Aku marah. Bukan, bukan pada matahari yang kemerahan saat senja. Tetapi kepada luka yang mencabikku. Aku sepotong duka, tetesan airmata. Izinkan aku membasahi bumi lebih deras daripada sang hujan.

Kemudian kakiku melecut lari dalam sengatan malam. Gelap mendesak nyeri tak tertahan. Hatiku meringkuk ngilu di tempat kau meninggalkan jejak indah. Nampak pendaran cahaya putih dari rona matamu. Kau lantang, bersigap membelaku dari pasukan penentang. Tatkala itu, di mataku bertunaslah kembang setaman. Bintang-bintang bertaburan di langit siang. Semuanya begitu istimewa. Sebab hanya aku yang menyaksikannya. Kau memberiku sayap. Melambungkan aku, terbang di alam bebas.

Kita selalu sama. Kita selalu bersama. Aku pun senantiasa sama, untukmu. Menimbun lentera paling terang agar kau tak merasa gelap. Tapi, mengapa kau matikan lentera itu? Hingga aku pun tak bisa menjaga nyalanya. Ah,kau membuat pendaran cahaya putih itu lenyap begitu saja. Namun, dian ini membatu.

Sebenarnya, hatiku lelah menjadi batu. Sebongkah batu berwarna merah jambu. Tak pernah warna itu memudar. Aku ingin mengamplasnya hingga tak bersisa. Atau sekedar membakarnya lalu membuangnya ke lautan. Tapi, lautan terlalu berbahaya untuk sebuah batu mungil. Lantas, apa kau akan terus menjadi hantu, monster, gurita? Yang harus kulawan dengan sepasang tombak?

Tidakkah kau tahu Raka? Sungguh aku tak inginkan peran ini. Terdampar dalam dua rasa. Luna dan kau adalah butiran permata. Bila tak kujaga kilauannya maka akan hilang kemilaunya. Tapi, bagaimana aku menjaganya? Sedang aku harus memainkan dua peran.

Tiba-tiba saja aku ingin berhenti dari pementasan ini. Aku semakin membenci Andini. Aku benci menjadi Andini. Andini telah terpahat di kulitku. Tulang-tulangku bersatu dengan tulangnya. Kini, aku pun seorang rival. Rival Rakaku.

**

Aku masih memikirkan Luna. Aku juga tak berhenti memikirkan Raka. Mana yang harus kukorbankan? Luna atau Raka? Ah, aku tak bisa memilih lagi. Namaku sudah terpampang di pagelaran calon Srikandi kampus. Susah untuk menghindarinya. Sementara panggung pementasan telah dimulai. Aku kembali sebagai Andini dan Narendra adalah rivalku.

Kau berkata, “Aku tak tahu soal dian ini, apalagi dianmu. Yang ku tahu, adalah inti dari ideologi. Kau tak usahlah mengajariku, ini pilihanku”.

Masih dengan hormat kutatap bola matamu, “Apa yang kau anggap ideologi? Aku tak ingin menjadi rivalmu. Jangan kau mau dikendarai ambisi yang menyalak-nyalak. Tidakkah kau sadar telah berpolitik? Bukankah kau membenci itu? Mengapa kau berseberangan denganku?”

“Politik? Hanya kotor jika dimainkan oleh orang-orang kotor. Aku tak berambisi, kawan-kawanmu itu yang seperti api. Kau yang memilih jadi rivalku, tak perlu salahkan aku. Aku sudah dewasa!”

“Kau tak tahu aku…Kau tak tahu isi hatiku...aku mencintaimu…!”

“CUT!”.

Luna memotong aktingku. “Dialog terakhirmu tak ada dalam naskah…”

“Maaf…”

“Kita break!” Luna nampak kesal.

“Kau sangat membenci perpecahan…tapi kau telah menciptakannya…”

Narendra mendadak berdiri di sampingku. Menyodorkan sebotol minuman.

“apa maksudmu?”

“Kau tahu? Mengapa seni diciptakan?”

“Pria aneh.”

“Dalam seni ada keindahan. Dalam seni ada kedamaian, kita damai memainkan peran apapun. Pertengkaran dan perselisihan hanya sebuah sandiwara, selepas itu? Kau dan aku biasa saja…”

“Maaf aku tak punya waktu,”

“Kau sangat egois, gadis… Tidak pantas kau ada di pagelaran ini. Aku lihat kau tak pantas pula memerankan tokoh Andini.”

“Sialan! Apa maksudmu??”

“Dengar gadis… Andini memang angkuh, tetapi dia tidak egois. Dia tidak membenci perpecahan, tetapi dia berusaha mencintai perdamaian. Dia memainkan politik tetapi dia tidak memusuhi lawan politiknya. Sedangkan kau? Seolah menyalahkan Raka. Apa kau tahu? Ini keinginan Raka atau bukan?”

“aku tidak butuh omong kosongmu. Urus saja peranmu. Kau tak tahu apa-apa tentang Raka.”

“Urus juga pencalonanmu, jangan buat orang lain kecewa dengan keputusan palsumu.”

**

14 Desember 2011

Surya tenggelam. Temaram wajah pemimpin mahasiswa remang dihimpit cahaya. Aku terperangkap duka mendalam. Dia, Raka. Rivalku. Tidakkah kau mengerti? Sakit ini menghujam.

Ketika mereka bicara tentang kerusuhan demonstran, maka aku bicara tentang perpecahan para intelektual. Perpecahan yang semula adalah kumparan kawat sederhana, kini membesar.

Raka dan aku sama. Namun, kita berbeda. Sungguh pun hati ini telah terikat, kepentingan-kepentingan mampu melepaskan ikatannya. Aku dan Raka, adalah Andini dan Respati dalam pementasan. Aku benar-benar menjadi Andini. Menangis seperti Andini. Dilukai seperti Andini. Dilema seperti Andini.

Aku tetap pentas. Tetap memainkan peranku. Peran yang nyata. Kalimat-kalimat yang terukir di dalamnya bukan sekedar mencari titel popularitas dan jabatan yang lebih tinggi. Bukan ambisi yang menyalak-nyalak dari persaingan politik. Hingga aku sampai di bukit peradaban. Mau tidak mau harus memberikan kemajuan bagi peradaban itu. Walau sebenarnya pun ada ribuan pisau yang menikam jantungku. Ini bukan lagi masalah perebutan kekuasaan atau sekedar ratu kedamaian. Tetapi, bagiku, pementasan adalah corak seni dunia nyata yang akan dipertanggungjawabkan secara vertikal dan horizontal.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun