[caption id="attachment_142586" align="alignleft" width="600" caption="Pantai Lebih, Gianyar"][/caption]
Keindahan Pantai Kuta sudah melanglang sampai ke negeri seberang. Ombak yang tetap indah, pemandangan yang masih menakjubkan dan pasir putih yang ternyata tak lepas dari eksploitasi pantai lain. Ironis!
Kondisi ekosistem Bali, terutama lingkungan pesisir kini sudah sangat memprihatinkan. Menurut data Badan Lingkungan Hidup (BLH) Bali, sekitar 47 persen dari 430 km panjang garis pantai Bali telah rusak. Sementara dari data Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup Universitas Udayana (PPLH Unud), sekitar 200 km pantai di Bali telah digerogoti abrasi.
“Banyak faktor penyebab, diantaranya dampak pemanasan global. Juga pembuatan pengamanan pantai secara perorangan yang tidak mengikuti aturan teknis. Pengambilan karang laut untuk kepentingan hiasan bangunan, serta penambangan pasir secara polaris pun menjadi penyebab abrasi,” papar Ardana, Kepala Sub-bidang Tata Ruang dan Instrumen BLH Bali. Ditambahkannya, potensi abrasi pantai sulit diukur karena sifatnya yang alami.
Kini banyak kegiatan masyarakat yang kurang mengindahkan keadaan pesisir Bali. Seperti halnya pengambilan pasir di pesisir Sawangan oleh PT. Gora Gahana dan PT. Pembangunan Perumahan (PP) secara bersamaan. Pengambilan pasir ini diadakan secara berkala dan dikhawatirkan akan berdampak akumulatif. Berdasarkan pemantauan berkala PPLH, pada minggu keempat setelah dimulainya kegiatan pengerukan pasir, di kawasan Pantai Sawangan Utara terjadi abrasi dan Pantai Sawangan Selatan terjadi akresi. Sekitar 15 petani di pantai sawangan Timur mengeluhkan rumput lautnya rusak akibat tertimbun oleh longsoran pasir pantai yang abrasi. Kelompok nelayan Sari Merta Segara pun mengeluh lantaran hasil tangkapan ikan menurun.
“Bukan hanya nelayan yang menjadi korban terhadap pengerukan pasir ini. Biota laut pun menjadi korban, contohnya terumbu karang. Semua ini dilakukan dengan alasan pariwisata. Agar pendapatan negara meningkat tapi terkadang tanpa melihat aspek ekonomi, aspek sosial, budaya dan bahkan aspek lingkungan,” ujar Dek Gus, salah seorang relawan Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Bali. Selain itu, ada pula pantai yang dikeruk pasirnya untuk menambah sempadan pantai lain. Misalnya pengerukan pasir di Pantai Geger yang digunakan untuk menambah sempadan Pantai Kuta dan Pantai Sanur. Pengurangan tebal pasir antara 8-16 cm terjadi pada bagian pantai yang dekat dengan air laut.
“Pada tahun 2008, pasir diambil dari Pantai Geger untuk dibawa ke Pantai Kuta karena ada acara di Kuta. Tapi setelah acara berakhir, sepertinya ya.. sudah selesai urusan mereka, padahal bagaimana dengan pasir yang di ambil dari Pantai Geger?” tanya Dek Gus saat ditemui di kantor sekretariat WALHI Bali.
Hal senada juga dinyatakan Ardana. Menurutnya, penambangan pasir dilakukan 25 mil dari Pantai Geger dengan cara disedot sehingga gelombang laut terus bergerak dan mengisi lahan yang diambil pasirnya. Kalau terlalu sering diadakan penambangan bisa jadi berpotensi abrasi. Namun dinas Kelautan Bali tidak banyak berkomentar ketika dikonfirmasi mengenai pengerukan pasir di beberapa pantai di Bali.
“Kegiatan pengambilan pasir biasanya dilakukan di salah satu tempat penggalian khusus, yaitu Galian C. Memang di tempat itulah pasir dapat diambil untuk menunjang kebutuhan atau kegiatan yang lain,” tutur Dewa Dwipa, salah seorang staf Dinas Kelautan Provinsi Bali. Namun pernyataan ini ditepis Ardana dan R Suyarto secara terpisah.
“Pasir memang bergerak dinamis, resultante arus yang menghasilkan gelombang sejajar pantai menggerakkan pasir dalam suatu pola dan akan kembali ke tempat semula pada periode tertentu. Sifat dinamis pasir pantai ini merupakan bemper utama yang melindungi pulau dari abrasi. Abrasi akan terjadi bila pasir yang dibawa arus tidak kembali lagi ke tempatnya,” ujar R. Suyarto, salah seorang Staf PPLH Unud. Lebih lanjut ia mengungkapkan, abrasi pantai di Bali menjadi lebih parah karena pasir yang dikeruk untuk pembangunan tak lagi bisa dikembalikan. Gunung berapi di Bali sudah lama tidak lagi memuntahkan pasir, sedangkan pasir yang telah ada terus-menerus dikeruk untuk pembangunan.
“Karena adanya pengerukan pasir ini, di Bali sudah ada 140 titik abrasi. Pasir dari pantai lain misalnya, diambil untuk memenuhi pasir di Pantai Kuta. Beberapa tahun ke depan pasir di Pantai Kuta juga pasti berkurang. Lalu mau mengambil pasir dari pantai mana lagi?” papar Dek Gus yang juga menjabat sebagai Manager Divisi Program WALHI . Ia juga menyesalkan sikap pemerintah yang tidak adil membangun semua kawasan yang memiliki potensi wisata namun hanya fokus di satu tempat seperti Kuta atau Sanur.
Undang–Undang No. 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 masing-masingmengatur Otonomi Daerah dan Pembagian Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Dalam UU tersebut, pemerintah kabupaten diberi kewenangan mengatur daerahnya masing-masing. Namun menurut R. Suyarto, UU tersebut justru memungkinkan pengelolaan yang dapat mengubah klasifikasi pantai. Oleh karena itu, kegiatan pemantauan pengambilan pasir laut sangat perlu dilakukan. Sementara mengenai peran pemerintah dalam upaya menyelamatkan pantai dari abrasi dengan membangun dinding-dinding pantai dan groin-groin, dosen jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Unud ini mengungkapkan tak banyak berpengaruh.
“Daerah yang dibangun beton dalam bentuk dinding pantai dan groin memang tidak terkena abrasi. Namun daerah yang tidak dibeton akan terabrasi karena terkikis oleh arus tersebut,” ungkapnya dalam sebuah diskusi lingkungan bersama sejumlah mahasiswa Unud. Ia menambahkan, pernyataan bahwa pemerintah telah memperbaiki 75% pantai di Bali harus jelas ditinjau dari mana. Jika memang 75% pantai di Bali telah dibangun dinding pantai dan groin untuk perlindungan, perlu dipertanyakan apakah hal tersebut memang telah mengurangi dampak abrasi.
Mengenai pembangunan dinding pantai, Iwan Dewantama, seorang aktivis lingkungan juga mengungkapkan hal serupa. Menurutnya, meski telah diperbaiki sebanyak 75%, 25% sisa wilayah Bali akan mengalami dampak abrasi yang lebih parah.
“10% perbaikan di pantai Buleleng dengan dinding pantai misalnya, akan merusak sebesar 40% di tempat lain,” ujarnya dalam sebuah diskusi lingkungan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H