Mohon tunggu...
Veronika Ratnawati
Veronika Ratnawati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Bola Voli

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Perempuan Inspirasi

7 Januari 2024   12:00 Diperbarui: 7 Januari 2024   12:04 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Rumah sibuk berbenah. Kabarnya, Robiman, laki-laki tua yang akan jadi algojoku itu, orang lain menyebutnya sebagai calon suamiku, adalah agen surat di kota. Pekerjaannya membantu, begitu istilahnya, pada  orang-orang yang butuh surat, surat apa saja, yang resmi atau tidak resmi, dari KTP sampai Ijazah, dari surat motor sampai surat nikah. Dengan bisnisnya itu, ia akan mampu mendatangkan organ tunggal dan penyanyi dangdut kabupaten untuk pernikahan kami. Orang tua mana yang tidak bangga. Pak Lurah sampai Pak Polsek diundang, aku sendiri berharap tidak diundang, seperti Bang Ardan yang kata Bibi tidak mau pulang.

Aku menyuruh adikku untuk mencari kacang jarak di ladang, dengan imbalan dua kue manis bagianku. Dengan gesit ia berlari, dan tak lama kemudian telapak tangganya ada di depanku penuh dengan kacang jarak. Aku gembira dan langsung memberikan tiga roti bagianku. Aku menyimpan kacang jarak untuk nanti sore, di saku tas penganten kecilku yang kuning mengkilap. Senyumku saat membayangkan rencanaku, ditangkap ibuku sebagai  tanda bahagia.

Diarak ke depan penghulu, aku membayangkan makan. Aku akan makan semuanya, tanpa minum, supaya perutku benar-benar penuh. Tak ada seorang pun yang menyaksikan pernikahan ini sebagai keanehan, aku yang masih kecil, disandingkan dengan laki-laki tua peyot itu. Bagaimana tamu-tamu itu bisa membayangkan aku akan tidur satu ranjang dengannya, sementara tidur dengan si botak, sepupu laki-lakiku saja, mereka sudah berpikir macam-macam.

Aku hampir saja tidak mengucapkan bersedia karena menangis. Aku ingin pingsan tapi tidak bisa pingsan. Satu persatu mereka menyalami dan menciumku, seperti memberi selamat orang mati. Untungnya acara makan yang kutunggu tiba. Aku makan sebanyak-banyaknya. Sepertinya ini makanan terbanyak yang bisa kutelan selama hidupku. Nasi, opor ayam, sambal goreng daging, tahu, tempe, sayur urap dengan kelapa muda, perkedel kentang, kacang bawang, emping, pepaya, semangka, dan kue penganten bertingkat tiga dari kota. 

Sore setelah organ tunggal dan dangdut selesai. Aku dibawa kekamar penganten. Algojo itu datang dan mengganti bajunya. Aku berkata, “boleh lihat jam tangannya ?” Ia pun menyeringai, mencopotnya dan memberikannya padaku, “Ini jam paling mahal.” Katanya sambil mengelus daguku. Ia pun pergi meninggalkanku di kamar. Aku segera mengunci kamar, membuka tas pengantinku dan menelan semua kacang jarak yang kusimpan.

Setengah jam kemudian, perutku mulai bergejolak. Laki-laki itu datang mengetuk, “Bukakan pintu untuk abah dong”. Aku menjawab, “Mau istirahat dulu, biar nanti seger.” Aku seperti melihatnya menyeringai di balik pintu dan ia pun pergi. Perutku semakin meronta-ronta. Yang kuharapkan terjadi, aku pun muntah. Kacang jarak kalau dimakan akan bikin muntah dan mencret. Aku mengepaskan muntahan itu di bantal pengantin. Kepalaku juga mulai berputar, Aku mencari barang milik laki-laki itu dan menemukan koper pakaiannya. Aku pun membukanya dan pas akupun muntah disana. Cairan hijau kekuningan berbau itu pun membanjiri baju-bajunya. Semangka yang kutelan cepat-cepat juga terlihat kemerahan, meski tak lagi berbau wangi semangka. 

Aku berpegangan di tempat tidur dengan lemas, belum selesai rasanya aku bernafas aku ingin mencret. Aku pun membuka celana, mengeluarkan surat-surat dari koper laki-laki itu dan berak disana.  Aku menutup muka dengan selendang karena tak tahan sendiri dengan bau berak campur muntah yang kuperbuat. Semakin lemas, dengan mata berkunang-kunang aku mengambil jam tangan yang dibanggakannya itu meletakkannya di lantai dan memencretkan berakku tepat disana. Lalu aku beranjak ke bawah jendela, satu-satunya tempat yang belum kuberaki, dan mencoba tertidur disana dengan selendang di hidungku. Aku tidak lagi berdaya, laki-laki itu datang lagi, mengetuk keras, memanggilku dan akhirnya mendobrak pintu. Menyadari barang-barangnya yang berbau itu, ia pun menendang pantatku dan berteriak-teriak memanggilku setan, sementara dia sendiri seperti kerasukan setan.

Laki-laki itu berlari keluar dan. Tak pernah kembali. Aku membebaskan diri dari pernikahan, untuk selamanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun