#fiktif
#rekaan
,***
Ku pandang Simbah  yang duduk di depanku sambil terus mendengar suara yang keluar dari mulutnya.
"Kamu mau julid bagaimana pun, kamu mau komentar yang menyakitkan sekali pun, seseorang akan tetap mengambil sikapnya. Lihatlah, Putri Diana mungkin di mata banyak orang, mendekati sempurna kurang apa dia? Tapi Pangeran Charles tetap memilih Camilla dan menjadikan dia sebagai ratu. Mungkin kamu akan heran mendapati beberapa laki-laki, dan tidak memungkiri juga terjadi dalam diri perempuan, lebih memilih bersama seseorang yang kita lihat mungkin kurang pas. Kita tidak tahu secara persis, mengapa Pangeran Charles memilih Camilla, tentu hanya Pangeran Charles sendiri yang tahu karena dia yang mengalami dan menjalani. Merasa nyaman mungkin? Nah, di sini pointnya Nduk, usahakan untuk bersama seseorang yang dia sendiri merasa nyaman dan bahagia dengan hal-hal yang baik dan benar, yang menjunjung tinggi nilai-nilai di dalam masyarakat, yang ..., yang ..., "
Panjang sekali penjelasan perempuan ini. Keluar dari pengalaman yang mungkin telah dilaluinya sepanjang usia. Aku tidak mendengar dengan jelas kalimat selanjutnya karena terpaku pada satu hal "bersama seseorang yang dia sendiri merasa nyaman dan bahagia dengan hal-hal yang baik dan benar"
Otakku terus berputar. Iya juga mungkin ya. Jika kita bersama seseorang yang merasa nyaman dengan hal yang kurang baik dan kurang benar, tidakkah itu namanya kenyamanan palsu? Aku jadi ingat dengan besti ku, best of friend ku. "Tenan lho ya, koe kudu galak karo aku, aku kok uring-uring ora popo, kok seneni juga ra popo, sing penting aku tetep ndalan."
Aku tersenyum simpul. Ada juga orang yang iklas diperlakukan begitu untuk tetap ndalan. Lah terus aku ini apa? Tukang nyeneni, tukang ngamuk? Embuhlah!
Tiba-tiba plakkk! Aku kaget, sebuah tamparan mendarat di pipi kiri ku. Ku pandang wanita tua yang duduk di depanku. Dia sudah berhenti bercerita. Gini mukanya tegang memandangku.
"Kulino, kalau njaluk dikandani njuk malah ngalembono dewe, mesam-mesem!" katanya sambil seolah tidak peduli kalau tangannya baru saja menamparku.
"Daripada ngandani koe, mending mangan bakpia. Lumayan isih loro!" kata Simbah lagi saat melihat ada makanan di ujung meja.
"Hehehe, iya Mbah, maafkan Genduk ya :D Â Monggo lho didahar, itu oleh-oleh dari Mboto," kataku cengengesan.