Mohon tunggu...
veronica deni
veronica deni Mohon Tunggu... -

smart, simple and fun

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Magical Moments with Coffee Part 1: Coffee Break

8 Maret 2010   08:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:33 1220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Entah sejak kapan “coffee break” dalam sebuah pertemuan, rapat, seminar dan semacamnya itu benar-benar diisi dengan kopi. Sepanjang pengetahuan saya, “coffee break” adalah jeda antara sesi yang satu dengan sesi yang lain dalam suatu pertemuan seperti yang saya sebutkan tadi. Yah, mungkin karena sesaat, akhirnya jeda waktu itu ditambahi dengan acara minum kopi dan sedikit makanan ringan. Hahaha, tapi yang ini malah jadi runyam, akhirnya “Coffee Break” bukan berarti jeda dalam arti mengistirahatkan otak, mata, telinga agar bisa lebih konsentrasi pada sesi berikutnya. Coffee break sekarang berarti MINUM KOPI ! Paling tidak, itu yang saat ini saya alami, minum kopi atas nama “coffee break”.

Terkadang kita terlalu mendengarkan omongan orang. Terlalu sering penasaran terhadap sesuatu yang menurut orang lain bagus, padahal sebenarnya dalam hati kita sudah punya keyakinan sendiri terhadap bagus atau tidaknya sesuatu tersebut. Mengawali tulisan kali ini dengan kata-kata agak filosofis di atas sebenarnya tidak menjamin bahwa tulisan ini juga berbau filosofis, hehehe..seperti biasa, hanya celoteh tak penting untuk teman coffee break saya sewaktu saya masih bekerja di kota Metropolis yang membuat sebagian waktu saya [hampir] habis oleh hingar bingar kota Metro:-D

Kali ini saya ingin menceritakan peristiwa pada Minggu malam beberapa waktu yang lalu. Sayabersama dengan rekan kerja saya, Monik dan Sinta menghabiskan waktu di Plaza Senayan, sambil berusaha menyangkal bahwa keesokan hari adalah hari Senin dimana kami harus kembali bekerja.

Setelah keluar masuk dari beberapa toko, kami memutuskan untuk melepas lelah di kedai kopi Starbuck. Biasanya saya akan memesan salah satu minuman caffe latte hot dan dry ukuran tall, tambah hazelnut sugar-free campur raspberry syrup, ditemani pastry yang lumayan bisa mengganjal perut. Tidak pernah sekalipun saya memesan minuman selain kopi dan variasinya. Karena pada kenyataannya saya sangat menyukai kopi dan beraneka macam variasinya yang menurut saya layak untuk dicoba asalkan tidak melebihi batas takaran.

Tetapi karena saya teringat dengan omongan dari teman-teman saya tentang nikmatnya green tea frappucino, tiba-tiba saya mendadak iseng untuk memesan minuman itu. 1 gelas tall green tea frappucino, yang kalau dihitung-hitung harganya seharga makan seminggu di warung nasi belakang kantorsaya L

Monik memesan citrus mango. Dia memang bukan penggemar (or pecandu?) kopi seperti saya. Sinta menjadi satu-satunya orang waras yang memesan kopi di kedai kopi. Logis bukan? Jadilah kami duduk di pojokan kedai itu, sambil memandang barang-barang simbol hedonis sophaholic yang berada di salah satu display departemen store terkemuka di Plaza Senayan dan membayangkan sepatu idaman para kaum hedon sophaholic seharga 1 juta 975 ribu. Can you imagine the shape of that shoe??? Mungkin karena gara –gara ditempelin sebuah brand terkenal yang membuat sepatu itu jadi super mahal padahal hanya terbuat dari kulit domba [O yeah???]. Semoga ini bukan halusinasi dari pecandu kopi yang kebanyakan minum kafein bermili-mili gram, hehehe..yang jelas saat tulisan ini dibuat, saya sedang tidak mabuk kopi J

Kembali saat saya memutuskan untuk memesan green tea frappucino. Saat saya menikmati satugelas green tea frappucino, kesan pertama cute banget [loh??] tapi bener cute banget, dilihat dari warnanya yang ijo muda. Setelah saya minum, pada awalnya rasanya memang manis. Tapi belakangan rasa green tea-nya nendang banget [jadi inget gayanya Bondan Winarno saat membawakan acara wisata kuliner di sebuah stasiun televise swasta, hehehe..] rasa green tea frappucino persis seperti green tea asli dari Jepang yang pahit itu. Monik yang tadi ikut mencoba minuman ini sempat bilang: "Kok rasanya kayak sari kacang ijo ya Din?" komentarnya singkat. Saya sempat terbelalak saat mendengarnya berkomentar seperti itu. Saya paksain ngehabisin minuman itu, tapi akhirnya tersisa hampir separoh gelas. Saya nggak kuat dengan rasanya yang asing bagi pecandu kopi seperti saya.

Kembali saat Monik memesan citrus mango. Citrus mango,sesuai dengan namanya, minuman ini memang perpaduan jeruk dan mangga. Agak asem, agak manis, agak pahit. saya suka jeruk. Saya juga suka mangga. Tetapi jeruk dan mangga dalam 1 minuman bukanlah ide yang baik menurut saya. Saya heran kenapa Monik ngefans banget sama citrus mango, katanya minuman itu mengingatkan dia pada mantan pacarnya yang dulu pernah melamarnya dengan memasukkan cincin emas putih ke dalam segelas citrus mango [gubrak!!]. Tapi lamaran itu tidak berhasil karena calon istrinya yang lain keburu datang dan melabrak Monik yang disangka telah merebut calon suaminya. Oughhhh, aneh banget deh, masak peristiwa buruk kayak gitu masih juga diingat Monik sampe sekarang? Sampe-sampe Monik nggak pernah absen memesan citrus mango saat kami sedang nongkrong di kedai kopi Starbuck.

Inilah pengalaman yang tidak bisa saya lupakan saat saya melewatkan coffee break di tengah hingar bingar kota Metropolis. Pengalaman ini memiliki kesan tersendiri bagi saya. Karena saya terlalu mendengarkan omongan orang dan terlalu sering penasaran terhadap sesuatu yang menurut orang lain rasanya enak, padahal sebenarnya dalam hati kita sudah punya keyakinan sendiri terhadap enak atau tidaknya sesuatu tersebut menjadikan saya menghabiskan uang makan saya selama seminggu untuk membeli 1 gelas tall green tea frappucino. “Yah, kalau ga dicoba kan lo ga bakalan tahu rasanya Din!” kata Monik dan Sinta. Nah, ini dia satu kalimat yang sering dilontarkan untuk sekedar menepis kekecewaan saat mendapati sesuatu yang terjadi tidak seperti yang diharapkan. Saya hanya mengelus dada sambil berucap syukur untungnya yang saya coba barusan bukan mariyuana atau sabu-sabu…

Karena pengalaman coffee break bersama Monik dan Sinta, saya bisa belajar bagaimana saya mengontrol sisi keingintahuan saya terhadap segala sesuatu yang berbau kenikmatan sesaat yang hanya sekedar ilusi belaka. Monik dan Sinta, I miss you all girls! Kalian adalah teman coffee break yang tanpa sengaja telah membuat saya belajar banyak tentang kehidupan Metropolis. Sayang saya keburu pulang ke Jogja sebelum saya menepati janji untuk mentraktir kalian minum kopi. I miss both of you and our talking-over-coffee moments!

@Katakan Cinta Dengan Kopi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun