Mohon tunggu...
Veronica Ayuning Putri W
Veronica Ayuning Putri W Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Kedokteran Hewan Universitas Airlangga | Eksplorasi dunia melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Rahasia Gelap di Balik Hidangan Natal dan Tahun Baru

29 Desember 2024   18:51 Diperbarui: 30 Desember 2024   14:51 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto anjing sedang merayakan Natal (Sumber: iStock)

Saat Natal dan Tahun Baru tiba, suasana penuh sukacita dengan kebersamaan dan kehangatan menyelimuti bagi mereka yang merayakan. Momen tahunan ini selalu diiringi dengan hidangan-hidangan istimewa yang menggugah selera. Namun, di balik kemeriahan itu, terdapat fakta pahit yang sering terabaikan bahwa ratusan anjing merintih kesakitan saat hendak dijagal dan dijual sebelum manusia merasakan kenikmatan hidangan di atas meja. Anjing adalah hewan kesayangan dan bukanlah hewan ternak sehingga seharusnya tidak layak untuk dikonsumsi manusia. Kasus penjagalan dan penjualan daging anjing secara ilegal menjadi alasan mengapa kita perlu mewaspadai dampak yang dapat ditimbulkan dari konsumsi hewan bertaring ini. Dalam momen yang seharusnya dipenuhi empati dan kasih sayang, siapkah kita untuk mempertimbangkan kembali pilihan kita dan melihat lebih jauh dari sekadar kenikmatan kuliner?

Mengulik Tradisi dan Konsumsi Daging Anjing di Indonesia

Daging anjing telah menjadi kuliner yang dikenal luas di berbagai wilayah Indonesia, mulai dari Solo, Sumatra Utara, Nusa Tenggara Timur, Bali, hingga Sulawesi Utara. Daging anjing, atau yang biasa disebut B1, umumnya dijual di restoran, baik berskala kecil seperti Lapo maupun di restoran besar, dengan teknik memasak yang beragam seperti sate, panggang, dan tongseng. Dalam budaya daerah tertentu, daging anjing tidak sekedar menjadi hidangan pendamping saat minum tuak, mereka mempercayai bahwa makan daging anjing memberi kekuatan kepada roh manusia. Dengan demikian, daging anjing tidak hanya dikonsumsi sebagai kebutuhan fisik tetapi juga sebagai bagian dari kepercayaan budaya yang dianut. Berdasarkan investigasi yang dilakukan Dog Meat Free Indonesia (DMFI), masyarakat lebih sering mengonsumsinya pada acara khusus atau hari libur seperti Natal. Sayangnya, ketika lapo kehabisan stok daging anjing karena permintaan yang meningkat, praktik penjagalan menjadi lebih brutal, termasuk penculikan anjing liar dan pengurungan hewan dalam kondisi kumuh dan sempit. Penjagalan dilakukan dengan cara-cara sadis seperti ditembak atau diracun demi memenuhi permintaan pasar. Meskipun banyak orang menikmati kuliner tersebut, konsumen daging hewan bertaring ini tidak menyadari bahwa perdagangan ini tidak higienis dan dapat menimbulkan risiko penyakit pada manusia, khususnya penyakit zoonosis. Mengingat tingginya risiko kesehatan yang ditimbulkan oleh perdagangan daging anjing, sangat penting untuk menegakkan regulasi yang tegas guna melindungi masyarakat dan hewan dari praktik yang berbahaya ini.

Foto anjing hilang akibat kasus pencurian anjing untuk dijual ilegal (Sumber: iStock)
Foto anjing hilang akibat kasus pencurian anjing untuk dijual ilegal (Sumber: iStock)

Regulasi  yang mengatur 

Mengetahui banyaknya kasus perdagangan dan permintaan masyarakat dalam konsumsi daging anjing, maka dari itu pentingnya payung hukum yang kokoh untuk melarang perdagangan daging anjing demi kesejahteraan dan keberlangsungan hidup hewan yang layak. Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner, Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian (Kementan), Syamsul Maarif menjelaskan bahwa daging anjing bukan bagian dalam produk pangan, karena bukan termasuk peternakan dan kehutanan sehingga tidak ada dasar hukum yang kuat untuk daging anjing diproduksi dan diedarkan, hal ini dapat ditinjau dari aspek definisi pangan, berdasarkan UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Sementara itu, jika dilihat dari aspek zoonosis dan keamanan pangan, Syamsul Maarif menambahkan bahwa memang terdapat mitos yang masih dipercaya masyarakat akan manfaat kesehatan melalui konsumsi daging anjing. Namun, ia juga mengingatkan bahwa mengkonsumsi daging anjing dapat meningkatkan risiko penyakit Rabies, E. coli, Salmonella spp, kolera, dan Trichinellosis.

UU No. 18 Tahun 2009 dan UU No. 18 Tahun 2012 secara tidak langsung melarang penjualan daging anjing karena hewan tersebut tidak termasuk dalam kategori pangan. Meski telah diatur dalam regulasi nasional yang tersedia, perlu adanya regulasi khusus untuk menangani masalah ini. Pada kenyataanya, masyarakat tak segan untuk melanggar meskipun telah mengetahui aturan yang ada. Maka dari itu, diperlukan regulasi khusus yang lebih spesifik untuk menangani masalah ini dengan terus mengawal RUU usulan Non Governmental Organization (NGO) seperti Dog Meat Free Indonesia (DMFI) terkait "Pelarangan Kekerasan terhadap Hewan Domestik dan Pelarangan Perdagangan Daging Anjing dan Kucing". Dalam perjalanannya, usulan mengenai aturan pelarangan perdagangan daging anjing dan kucing sudah pernah masuk ke dalam program legislasi nasional jangka menengah 2025-2029 (long list) namun ditolak oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR RI. Ditolaknya RUU ini oleh (Baleg) DPR RI yang memiliki alasan dengan mempertimbangkan kentalnya budaya masyarakat di sebagian wilayah yang masih mengkonsumsi daging anjing dan dipercayai dapat menyembuhkan penyakit oleh masyarakat tersebut, maka dari itu RUU tentang Larangan Kekerasan terhadap Hewan Domestik dan Pelarangan Perdagangan Daging Anjing dan Kucing harus tetap dikawal sampai menjadi Undang-Undang yang sah dan diberlakukan bukan hanya sebagai rancangan saja.

Upaya pendekatan kolaboratif 

Mengonsumsi daging anjing memiliki pengaruh yang besar terhadap kesehatan manusia, oleh karenanya diperlukan upaya pendekatan kolaboratif dari berbagai pihak untuk menangani serta mencegah tindakan tersebut. Pendekatan ini melibatkan pemerintah, tenaga kesehatan, dan masyarakat. Salah satu langkah yang dapat diambil adalah memilih hidangan alternatif yang lebih aman dan beretika, seperti makanan berbasis sayuran atau daging hewan lain yang telah terjamin kesehatannya. Selain itu, penting untuk meningkatkan kampanye penolakan terhadap konsumsi daging anjing dengan melibatkan masyarakat dalam penyuluhan tentang bahaya kesehatan yang terkait, termasuk risiko rabies dan penyakit zoonosis lainnya. Dalam hal ini, pemerintah dan tenaga kesehatan perlu berperan aktif dalam memberikan edukasi dan promosi kesehatan kepada masyarakat. Masyarakat juga didorong untuk melaporkan praktik penjagalan atau penjualan daging anjing kepada lembaga seperti Dog Meat Free Indonesia (DMFI) atau organisasi sejenis yang berkomitmen pada kesejahteraan hewan. Terakhir, pengusulan undang-undang pelarangan konsumsi daging anjing harus menjadi prioritas untuk melindungi kesehatan masyarakat dan hewan. Dengan langkah-langkah ini, kita tidak hanya menjaga kesehatan diri sendiri tetapi juga berkontribusi pada upaya perlindungan hewan dan lingkungan secara menyeluruh.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun