Pangandaran! Siapa yang tidak kenal dengan tempat yang sangat terkenal dengan keindahan pantainya ini dan tempat dimana pernah hancur akibat terjadinya Tsunami. Saya pun teringat untuk pertama kalinya datang ke Pangandaran sekitar tahun 2010 yang lalu. Saya berada di tepi pantai timur melihat munculnya kemegahan matahari pagi yang sungguh eksotis dan menawan dari balik bukit. Tak bisa pernah lupa keindahannya!
Perjalanan kali ini bukan hanya melihat keindahan pantai Pangandaran saja, melainkan berkunjung ke sebuah cagar alam. Mungkin bagi sebagian orang yang pernah berlibur ke Pangandaran, pernah mendengar ataupun mengetahui ada sebuah cagar alam disini. Nah, saya bersama teman-teman yang tergabung dalam Komunitas Jelajah Budaya ingin melihat , merasakan dan menjelajahi suasana seperti apa sih ketika berada di cagar alam yang memang masih hutan.
Ketika dipintu masuk gerbang utama cagar alam, seorang pemandu menceritakan sedikit mengenai
- “Mengangkat kedua tangan ketika ada kera yang datang menghampiri. Mereka akan mengerti kalau pengunjung tidak membawa makanan.”.
- “Tidak menenteng plastik berisi makanan yang dapat terlihat oleh kera , lebih baik disembunyikan di dalam kantong/saku. Karena kera-kera tersebut akan mengambilnya”
- “Jika kera tersebut menggigit , maka digigit balik?”
Saran yang terakhiraneh ya? Tapi itulah cara pemandunya mendekatkan diri dengan kami. Saran lelucon yang diberikan oleh pemandunya supaya kami bisa lebih santai hehe.. Tahu tidak, ternyata kera-kera tersebut tidak suka air aqua l
Sesampainya disebuah tempat yang terdapat papan informasi tentang cagar alam ini, mulai deh si pemandu memberitahukan isi cagar alam. Ternyata di dalam cagar alam terdapat beberapa goa yang masih alami ,lalu ada air terjun dan bunga Rafflesiajuga ada di sini Bahkan petualangan yang lebih ekstrim juga ada! Karena waktu yang terbatas karena harus melewati trekking yang panjang dan melelahkan , maka cukuplah kami menjelajahi goa-goa yang terdapat di cagar alam ini. Oh ya, karena ketika menjelajahi goa , tempatnya pasti gelap dan membutuhkan cahaya sebagai penerang jalan.Bagi yang tidak membawa senter, bisa menyewa dengan harga RP 5.000 per senter. Kalau mau gratis lebih baik bawa sendiri.
Saat berjalan menuju lokasi goa, sepanjang kiri dan kanan jalan masih banyak pepohonan yang tinggi dan besar. Jalan yang dilaluipun sudah bagus dan tertata seperti trotoar. Goa-goa yang dijelajahi adalah, Goa Jepang, Goa Panggung dan Goa Pahat. Masing-masing goa tentunya memiliki keunikannya sendiri-sendiri. Setiap
Berjalan cukup lama akhirnya sampai juga dilokasi sebuah goa. Goa Jepang adalah goa pertama yang kami datangi. Pintu masuknya sangat tersembunyi dibalik akar pohon dan tertutup. Tingginya tidak lebih dari 1,5 meter, bagi yang mempunyai tinggi badan lebih dari itu akan menunduk untuk menyusuri sepanjang lorong goa.Satu persatu antri masuk ke dalamnya sehingga membentuk bak rangakain kereta. Karena tempatnya yang gelap, kami berjalan sambil meraba pada dinding goa. Goa Jepang ini adalah goa buatan. Bahkan dindingnya tidak terbuat dari tanah melainkan dari batu karang yang dipahat. Jika diraba akan terasa licin seperti menyentuh marmer, diatas Goa Jepang
Ada yang unik lainnya, yakni ketika sampai sampai dimulut goa yang terakhir yang merupakan pintu keluarnya. Ada sebuah tangga yang terbuat dari akar-akar pohon yang merambat. Satu persatu kami menaiki tangga tersebut lalu keluar melalui sebuah celah yang kecil diantara akar pohon. Lebar celah itu cukup dilalui satu orang saja. Waah, baru goapertama saja sudah seperti ini apalagi selanjutnya, serasa caving kembali!
Dari Goa Jepang, kami diajak ke sebuah tempat yang berada didalam hutan. Pemandunya memperkenalkan kami terdapat sebuah pohon yangbesar dengan akar pohon berbentuk seperti roket. Sampai-sampai di papan keterangan dekat pohon tersebut tertulis “Menurut Anda , apakah struktur roket terinspirasi oleh akar pohon Manir?” Karena kalau dilihat lebih teli
Tidak jauh dari pohon tersebut, dikenalkan juga sebuah situs peninggalan Kerajaan Pangandaran. Ada sebuah batu yang berbentuk seperti anak sapi yang sedang duduk. Batu itu dinamakan Batu Kalde. Dihadapannya ada juga sepasang batu yang lain yang dinamakan Linggayoni. Lingga untuk sebutan laki-laki dan Yoni untuk sebutan wanita. Disebelah batu kalde yang dipagari oleh kayu ini , terdapat sebuah makam bernisan batu. Dugaan pemandunya makam tersebut hanya makam simbol dari penguasa Kerajaan Pangandaran yang beragama Hindu yang telah masuk Islam. Diketahuinya dari cara orang tersebut dikubur di dalam tanah.
Ketika perjalanan dilanjutkan dengan menyusuri hutan mahoni , disambut dengan bunyi yang bersahutan seperti bunyi jangkrik. Agak menyeramkan sih. Uuh seandainya berjalan sendirian tanpa ada yang memandu bisa tersesat
Akhirnya saya dan teman-teman tiba juga disebuah bibir pantai setelah keluar dari hutan. Untunglah, cuaca sangat cerah dan langit berwarna biru sehingga pemandangan pantai terlihat sangat cantik dengan perahu-perahu nelayan yang sedang menepi. Di depan pantai tersebut juga ada sebuah goa yang masih alami yang bernama Goa Panggung. Ketika tiba di depan mulut goa, sekilas saya teringat ada kemiripan dengan Gua Maria Tritis yang ada di Jogja. Bentuk goa sangat terbukadengan batuan stalagtitnya
Di dalam gua ada sebuah tempat yang agak tinggi seperti panggung, sehingga tempat ini diberi nama Gua Panggung. Tangganya pun terbuat dari batuan karang dan ada pengangan ketika menaiki/menuruni anak tangga tersebut. Cukup licin karena pasir yang sudah mengendap sebagai dasarnya. Di sana juga ada sebuah makam yang disimbolkan sebagai makam dari Mbah Jaga Lautan. Agak pengap kalau saya rasakan karena bagian panggung dekat makam tidak terkena cahaya matahari secara langsung. Deburan ombak terdengar jelas dari atas panggung ini. Keindahan karang-karang yang menjaga goa ini dari ombak laut serta batu-batuan stalagtit akan menakjubkan bagi siapapun yang melihat. Pemandu kami juga memberitahukan ada
Gua yang terakhir dijelajahi adalah Gua Parat / Keramat. Waah apa yang menyebabkan gua ini menjadi keramat ya? Ternyata ada sebuah legenda setelah melalui pertapaan di dalam goa inilah akhirnya dapat menemukan anaknya hilang. Ada yang unik dan sangat berbeda dengan goa-goa yang sebelumnya. Selain tempatnya yang lebih gelap , pintu masuk goanya sangat pendek. Untuk dapat masuk ke dalamnya , kami harus membungkukan badan dan kepala agar tidak terkena batuan goa diatas punggung. Setelah sampai di dalam goa, ternyata tempatnya sangat luas dan langit-langit goanya pun sangat tinggi sehingga tidak perlu lagi menunduk dan membungkukan badan.
Keunikan yang pertama yang dilihat dari Gua Parat ketika sudah berada di dalam adalah sebuah batu yang berbentuk unta yang sedang duduk dan dibelakangnya terdapat batuan seperti yang ada di gua panggung akan berkilauan ketika diberi cahaya. Namun sayang , hanya sebagia saja yang mengkilapkarena sudah tersentuh telapak tangan para pengunjung, sehingga memudarkan kilauan cahayanya. Keunikan kedua adalah sebuah batu yang membentuk lubang yang besar. Lubang yang sebesar pot bunga tersebut terbentuk karena terlalu sering ditetesi air dari masuk kedalam goa. Sekian lama akhirnya membentuk cekungan yang lebar seperti itu.
Pemandunya mengatakan itu adalah Kaca Benggalanya Mak Lampir sewaktu sembunyi di dalam goa. Ia adalah
Keunikan yang keempat masih di dalam Gua Pahat ini yakni sebuah batuan yang menggantung menyerupai sebuahpangkal paha ayam dan keunikan yang kelima adalah sebuah batu yang dapat mengeluarkan bunyi gong ketika dipukul sehingga disebut Batu Gamelan. Selain bebatuan yang unik di dalam goa, juga masih terdapat keluarga hewan landak yang tinggal dibawah celah batuan goa dan puluhan ekor kelelawar yang bergantungan di langit-langit goa. Ketika cahaya senter saya arahkan keatas, banyak sekali kelelawar hitam bergantungan memenuhi langit goa. Saya sungguh terpana dengan keunikan dari isi Goa Parat ini. Siapa saja yang melihat pasti sungguh tertarik!
Penjelajahan Goa Parat ini berakhir di tepi pantai. Tiba-tibakami didatangi beberapa ekor kera. Spontan saja
Sayup terdengar pemandunya mengatakan“Kera yang betina itu yang memiliki brewok dimukanya sedangkan yang jantan tidak ada.” Namun karena sudah takut didekati oleh kera-kera tersebut, penjelasannya tidak jadi dilanjutkan. Menyenangkan dan ada lucunya ketika sampai dibus hal ini malah jadi bahan tertawaan karena tingkah kami saat mengangkat tangan mengikuti apa yang dikatakan oleh
Sebenarnya masih banyak yang ingin dijelajahi dari semua yang ditawarkan oleh cagar alam Pangandaran , namun belum dapat kami lakukan. Setidaknya ada kenangan yang dapat dibawa setelah menyusuri , melihat dan mengenal setiap kegelapan dan isi goa dan situs peninggalan Kerajaan Pangadaran. Mungkin di lain hari ada cerita lain dari tanah Pangandaran.
Pangandaran, 06 Maret 2011
Veronica Setiawati
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H