[caption id="attachment_318860" align="aligncenter" width="396" caption="Septinus George Saa (wikipedia)"][/caption]
Keinginan untuk menjadi pilot sudah tertanam kuat sejak usia dini. Namun ketika impiannya hampir menjadi kenyataan, kondisi matanya yang minus 3,25 memaksa ia harus mengubah orientasi. Itu tergambar dari pernyataan singkatnya :
''Kalau nggak bisa menerbangkan pesawat, saya harus bisa membuat pesawat. Setidaknya, memahami teknologi pesawat terbang.''
Dialah Septinus George Saa. Pemua Papua kelahiran Manokwari, 22 September 1986 yang sejak kecil biasa dipanggil Oge. Ia sudah menyelesaikan pendidikannya di Florida Institute of Technology jurusan Aerospace Engineering. Sebuah Kampus di pesisir timur Amerika di Brevard County. Kampus itu berdekatan dengan Kennedy Space Center dan tempat peluncuran pesawat NASA (National Aeronautics and Space Administration). Ia sedang bekerja di sebuah perusahaan internasional bidang Migas. Selanjutnya, ia akan mengabdikan ilmu yang dipelajarinya di bidang industri pesawat terbang.
[caption id="attachment_318861" align="aligncenter" width="315" caption="Foto: zonadamai.com"]
Beruntung bagi Oge karena bisa diterima di SMU Negeri 3 Bumi Perkemahan (Buper) Jayapura. Ini adalah sekolah unggulan milik Pemda yang menjamin semua kebutuhan siswa, mulai dari seragam, uang saku, hingga asrama. Karakter Oge yang haus pengetahuan itu seakan menemukan oase di sini. Ia mulai mengenal internet. Dari jagad maya ini ia mendapat macam-macam teori, temuan, dan hasil penelitian para pakar fisika dunia.
“Saya tertarik fisika sejak SMP. Tidak ada yang khusus kenapa saya suka fisika karena pada dasarnya saya suka belajar saja. Lupakan saja kata fisika, saya suka belajar semuanya…Saya suka kimia, sejarah, geografi, matematika, apalagi bahasa Indonesia. Saya selalu bagus nilai Bahasa Indonesia,” tuturnya penuh bangga.
Kebrilianan otak mutiara hitam dari timur Indonesia ini mulai bersinar ketika pada 2001 ia menjuarai lomba Olimpiade Kimia tingkat daerah. Karena prestasinya itu, ia mendapat beasiswa ke Jakarta dari Pemerintah Provinsi Papua. Namun mamanya melarang putera bungsunya berangkat ke Ibu Kota.
Tapi rupanya, prestasi memang membutuhkan sedikit kenakalan dan kenekatan. Dibantu kakaknya, Frangky, Oge diam-diam berangkat ke Jakarta. Ia baru memberitahu niatnya kepada mama tercinta sesaat sebelum menaiki tangga pesawat. Mamanya menangis selama dua minggu menyadari anaknya pergi meninggalkan tanah Papua. Di Jakarta, Oge digembleng khusus oleh Bapak Fisika Indonesia, Profesor Yohanes Surya. Hasilnya, tahun 2003 menduduki peringkat ke-8 dari 60 perserta Lomba Matematika Kuantum di India. Tahun yang sama, Oge berhasil menggenggam emas untuk prestasi atas hasil riset fisikanya yang dilombakan di ajang lain. Tahun 2004 Oge memenangkan lomba First Step to Nobel Prize in Physics. Makalahnya berjudul Infinite Triangle and Hexagonal Lattice Networks of Identical Resisto. Bahkan rumus Penghitung Hambatan antara Dua Titik Rangkaian Resistor yang ditemukannya diberi namanya sendiri yaitu “George Saa Formula”. Para juri yang terdiri dari 30 jawara fisika dari 25 negara hanya membutuhkan waktu tiga hari untuk memutuskan Oge sebagai pemenang, karena temuannya itu memang orisinil dan luar biasa Dengan prestasi itu, setidaknya Oge yang baru menginjak usia belia 18 tahun kala itu, bisa membuktikan kepada ibunya bahwa kepergiannya meninggalkan Tanah Papua bukan sesuatu yang sia-sia. Tangis sedih mamanya telah berganti menjadi tangis haru.
Saya ingin jadi ilmuwan. Sebenarnya ilmu itu untuk mempermudah hidup. Ilmu pengetahuan dan teknologi itu membuat hidup manusia menjadi nyaman. Saya berharap kalau saya menjadi ilmuwan, saya dapat membuat hidup manusia menjadi lebih nyaman,” ujar Oge.
Tibalah saatnya Oge memancang tonggak baru buat masa depannya. Awal November 2006, difasilitasi Yohanes Surya Institute, Oge harus mempresentasikan hasil risetnya di depan ilmuwan fisika di Polandia. Ia harus membuktikan bahwa risetnya tentang hitungan jaring-jaring resistor itu adalah orisinil gagasannya. Setelah itu, ia akan mendapat kesempatan belajar riset di Polish Academy of Science di Polandia selama sebulan di bawah bimbingan fisikawan jempolan. Belajar semua hal tentang Pesawat Terbang Setelah menerima penghargaan dari Polandia itu, Oge dibanjiri banyak fasilitas. Menteri pendidikan saat itu, Malik Fadjar, meminta Oge memilih perguruan tinggi mana pun di Indonesia tanpa tes. Kampus tempat dia kuliah juga diwajibkan memberikan fasilitas belajar. Oge sempat bingung memilih kampus, hingga utusan Direktur Eksekutif Freedom Institute Rizal Mallarangeng mendatangi dirinya. ”Saya diminta menemui Pak Aburizal Bakrie,” ungkap Oge. Dalam pertemuan itu, Freedom Institute menawari Oge kuliah di luar negeri. Memilih negara mana pun akan dikabulkan. Mau di benua Amerika, Eropa, bahkan Afrika sekali pun, terserah George. Beasiswa tersebut bukan hanya uang kuliah, tapi juga uang saku serta biaya hidup. Pria penghobi basket itu sempat bingung memilih negara. Oge disarankan memilih Amerika. Sebab, negara pimpinan Barack Obama itu bagus untuk belajar dan melakukan riset. Oge lantas mendaftar diri ke jurusan Aerospace engineering di Florida Institute of Technology. Kampus di pesisir timur Amerika di Brevard County. Kampus itu berdekatan dengan Kennedy Space Center dan tempat peluncuran pesawat NASA (National Aeronautics and Space Administration). Di jurusan aerospace engineering alias teknik dirgantara itu, George mempelajari semua hal tentang pesawat terbang, baik pesawat terbang di angkasa maupun luar angkasa. Dia juga mempelajari ilmu yang supersulit di jagat aerospace, yakni rocket science. ”Saking sulitnya, orang Amerika sering bilang, you don’t need rocket science to figure it out,” ujar Oge dalam bahasa Inggris yang fasih, sambil lantas terkekeh. Di antara 200-an mahasiswa seangkatan, hanya 40 orang yang lulus. Oge mempelajari semua hal tentang pesawat terbang. Mulai struktur pesawat, aerodinamika, daya angkat, hingga efisiensi berat dalam teknologi pembuatan burung besi itu. Kagum pada Habibie Ada alasan khusus dirinya suka pesawat terbang. Ia adalah seorang pengagum berat mantan presiden Indonesia B.J. Habibie yang gandrung pesawat itu. Ia sebetulnya ingin menjadi pilot. Namun, karena kedua matanya minus 3,25, dia harus mengalihkan impiannya. ”Kalau nggak bisa menerbangkan pesawat, saya harus bisa membuat pesawat. Setidaknya, memahami teknologi pesawat terbang,” tegasnya. George lulus pada akhir 2009. Selama lima tahun ini, Oge sementara bekerja di tengah laut, di sebuah perusahaan internasional yang bergerak di bidang migas sambil terus membantu lembaga yang memberinya beasiswa, Freedom Institute. Selanjutnya, Oge yang masih terobsesi dengan teknologi pesawat terbang itu belum tahu akan mengabdikan ilmu yang dipelajarinya di lembaga mana. Ia mempercayakan sepenuhnya kepada lembaganya.[***]
Referensi :
http://id.wikipedia.org/wiki/Septinus_George_Saa
http://www.astrodigi.com/2010/08/septinus-george-saa-anak-petani-papua.html
http://falahluqmanulhakiem.wordpress.com
http://www.fisikanet.lipi.go.id/utama.cgi?cetakartikel&1085284643
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H